Ahmad Munji dalam prolog bukunya ini, Sufi dan Ottoman, menyatakan bahwa selama ini ketika mendengar nama Turki, yang muncul di benak orang-orang adalah tentang sekularisme dan khilafah, yang menurutnya adalah dua idelogi yang bertolak belakang. Yang pertama dinisbatkan kepada Mustafa Kamal Attartuk, sebagai seseorang yang dianggap mengganti khilafah Islam dengan sekularisme. Sedangkan yang kedua merujuk kepada Erdogan, yang oleh sebagian orang dianggap sedang berusaha mengembalikan khilafah.

Dua persepsi itu menurut Munji tak sepenuhnya benar, dan tak juga tak sepenuhnya salah. Namun dengan dua persepsi yang berkembang itu, gerakan Islam tradisional — yang mencakup tasawuf di dalamnya — yang sebenarnya juga lekat dengan masyarakat Turki, bahkan sampai sekarang, tak banyak diketahui oleh publik luar.

Dengan prolognya itu, Munji bermaksud memposisikan buku yang ditulisnya ini, yang mencoba menghadirkan sebuah tradisi yang tak populer itu, dengan harapan bisa menjadi cara pandang alternatif dalam melihat Turki.

Dalam rangka mewujudkan visinya itu, dalam bukunya ini, Munji menghadirkan kisah-kisah para sufi dan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, sains, arsitektur, dan sebagainya.

Salah satu tokoh sufi yang ditulis di buku ini adalah Maulana Jalaluddin Rumi yang masyhur itu. Munji dalam bukunya menghadirkan Maulana Rumi sebagai sumber spiritual Bangsa Turki.

Ia mengisahkan Maulana Rumi hidup di Abad ke 13, yang pada saat itu Daulah Seljuk sedang mengalami krisis, yang dalam bahasa Munji disebut dengan “sekarat”. Hal ini disebabkan lantaran ringsekan dari tentara Mongol yang makin menggila, sehingga memakan banyak korban.

Di saat itulah Rumi hadir sebagai penguat dan penuntun yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam menjalani hidup.

Fenomena ini menurut Munji adalah dinamika spritual terpenting, yang nanti turut membidani lahirnya Kekaisaran Ottoman yang berdiri setelah Seljuk.

Selain Maulana Rumi, Munji juga menghadirkan tokoh sufi lain yang punya pengaruh dalam proses sejarah Turki, khususnya dalam bidang sains dan politik.

Sufi itu bernama Aksemseddin yang hidup antara tahun tahun 1389-1459, atau abad ke 15. Menurut kisah, Aksemseddin adalah guru spiritual Muhammad al-Fatih yang terkenal itu. Selain itu, dan ini yang menurut Munji belum banyak kajian khusus tentang hal ini, dia adalah ahli biologi, bahkan ia adalah orang pertama yang berbicara tentang mikrobiologi.

Dikisahkan, dulu kala tersebar wabah yang menewaskan ribuan orang. Orang-orang panik, sedangkan ilmu medis saat itu kuwalahan menghadapinya.

Dengan berpedoman hadis Nabi yang menjelasalan bahwa segala penyakit ada obatnya, Aksemseddin melakukan penelitian, dan berkesimpulan bahwa wabah ini, yang menular dari satu manusia ke manusia yang lain, tak lain diperantarai oleh benih yang tak terlihat oleh mata, yang di kemudian hari disebut bakteri. Temuan ini oleh Aksemseddin dituliskan dalam karyanya yang berjudul Maddetul Hayat.

Selain Maulana Rumi dan Sufi Aksemseddin, masih banyak tokoh-tokoh lain yang diceritakan Munji dalam buku ini, dan pengaruhnya terhadap sejarah Turki seperti Suleyman Celebi dan kaitannya dengan tradisi Maulid di Turki.

Karena Munji sekarang sedang menempuh progam doktoral di Universitar Marmara Turki, ia berkesempatan melakukan ziarah atau perjalan spritual ke makam beberapa sufi yang ia tulis dalam bukunya. Sehingga referensinya dalam menulis tidak hanya dari buku, tapi juga realitas yang ia jumpai. Dan ini yang membuat Munji mampu menggambarkan bagaimana keadaan makam Maulana Rumi dan respons masyarakat Turki atasnya.

Selain memotret para sufi, Munji juga menulis tentang kota-kota di Turki seperti Konya, Istambul, Bursa dan Ankara. Oleh Munji kota-kota ini juga dijadikan sebagai dasar runtutan ia menulis tokoh-tokoh sufi. Selain itu, lantaran membaca buku ini, kita akan mengetahui ternyata ada beberapa istilah Turki yang akrab dengan kita. Misalnya istilah Medrase yang dalam bahasa kita disebut Madrasah, yang diserap dari bahasa Arab.

Begitulah ulasan singkat tentang buku bersampul merah dan terdiri dari 136 halaman. Yang jelas setelah membacanya keinginan saya untuk melakukan perjalanan ke Turki kian kuat. Mungkin itu juga akan berlaku kepada anda, setelah membacanya.

Zaim Ahya, owner kedai tak selesai

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.