Pilihan untuk jadi mahasiswa sejatinya merupakan keputusan yang luar biasa berat. Namanya jadi mahasiswa itu, ya lekat dengan stigma sekaligus harapan. Mereka dianggap cerdas, cakap, tangguh, ulet dan berbudi santun. Mahasiswa adalah kelompok sosial elite.

Namun nyatanya, tidak semua mahasiswa punya karakteristik seperti itu. Ada pula mahasiswa yang tak acuh, tidak peka akan permasalahan sosial, bahkan tak sedikit yang cenderung hedon.

Itulah dinamikanya. Idealitas tak selalu sejalan dengan realitas. Seandainya semua mahasiswa jadi baik, lantas apa tugas pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa? Kan semua sudah cerdas.

Pertanyaannya kemudian, standar kecerdasan macam apa yang layak digunakan untuk menilai kadar intelektualitas mahasiswa. Tentu saja terlalu naif jika kita menggunakan standar kecerdasan siswa Esema, Esemka, atau Esteem.

Sebab kebanyakan sekolah dasar hingga menengah di Indonesia menyandarkan kadar intelektualitas pada kemampuan menghafal pelajaran. Sementara kontekstualisasi dan aktualisasinya dikesampingkan.

Siswa Esema yang bisa menyelesaikan soal trigonometri dalam matematika atau hafal nama-nama genus mahluk hidup dalam biologi, dianggap lebih cerdas daripada siswa lain yang punya kemampuan mengorganisir teman-temannya dalam ekskul OSIS.

Dalam menilai kecerdasan mahasiswa, kita tidak bisa melewatkan aspek kognitif. Ragam emampuan untuk belajar berdasarkan pengalaman faktual dan empiris. Sehingga kecerdasan mahasiswa tidak serta merta dinilai dari apa yang mereka lakukan di dalam kelas, malainkan pula kegiatan lain di luar kelas perkuliahan.

Cerdas Pikir ke Cerdas Bicara

Pondasi kecerdasan mahasiswa bertumpu pada cara berpikirnya. Inilah yang disebut sebagai cerdas secara batiniah yang sebaiknya diimbangi pula dengan kecerdasan secara lahiriah.

Konsekuensinya, mahasiswa tidak hanya disunahkan paham terhadap materi mata kuliah, gagasan tokoh, dan ilmu-ilmu lainnya dengan metode ‘pendam sendiri’. Artinya, mahasiswa hanya paham dalam tahap pikiran, tanpa bisa merepresentasikannya dalam bentuk lain.

Ilmu memang tidak cukup berlabuh di alam pikiran. Masih ada tahap menuliskan, menyampaikan, mendiskusikan, dan melaksanakan ilmu yang tak kalah pentingnya. Kalau ada mahasiswa yang cuma modal mikir tanpa mengimbanginya dengan rukun-rukun di atas, perlu dicurigai bahwa guru ngajinya adalah Cak Lontong. Mikirrrrr!

Dalam dunia perkuliahan, aktualisasi pemahaman dalam pikiran menjadi penyampaian yang runtut diwujudkan dalam bentuk presentasi. Metode presentasi yang diberikan dosen kepada mahasiswa adalah jawaban untuk mempertajam kemampuan retorika mahasiswa. ‘Tuntutan yang berbuah tuntunan’, ini yang menjadi goal of method dosen dalam menjiwai the spirit of presentation.

Pertarungan Ideal dan Realita

Presentasi makalah menjadi tugas paling paling populer dalam perkuliahan. Hampir mahasiswa mana pun pernah mengalaminya. Bahkan bagi mahasiswa semester awal, ada yang terjebak permasalahan makalah yang tak kunjung selesai karena berbagai sebab.

Jika kita amati kembali, metode presesntasi ini selalu berulang setiap semesternya. Polanya sudah terbaca jelas; penyampaian silabus oleh dosen, pembagian kelompok mahasiswa, penyusunan makalah, terakhir, presentasi. Selalu saja seperti itu.

Polanya memang masih sama, namun mahasiswa yang menerima tugas presentasi makalah sudah sangat jauh berbeda dari berbagai aspek. Mahasiswa era sekarang memiliki beragam permasalahan personal yang lebih kompleks.

Problem percintaan, gaya hidup instan, dan candu gawai yang mengambil alih kesadaran mahasiswa hanyalah tiga di antara personal problem yang kompleks tersebut. Harapan dan semangat dosen dalam meningkatkan soft skills, hard skills, dan bermacam skill lainnya hanya mengendap di alam ide. Idealitas berseberangan dengan realitas. Sebuah kontradiksi, bukan?

Sesi presentasi sebagai metode andalan dosen akhirnya mengalami degradasi sakaralitas. Idealnya, presentasi makalah menjadi sesi diskusi sehat yang secara tidak langsung akan membentuk paradigma berpikir mahasiswa secara dua arah. Di satu sisi way of thinking mahasiswa yang menyempaikan presentasi akan berkembang. Di sisi lain mahasiswa yang menjadi audien juga mengalami perkembangan serupa.

Namun siapa sangka, ideal tak laebih dari sekadar bualan. Presentasi dalam versi ini hanya berkutat pada kubangan teoritis-normatif. Kata mbah-mbah zaman dulu, muspro. Sedangkan presentasi jika ditinjau dari sudut pandang realita, akan didapatkan data riil yang akhirnya mematahkan argumentasi dari konsep ideal.

Inilah yang sering diajarkan dulu oleh guru Esema; ketika ideal tidak sesuai dengan realita maka yang muncul adalah masalah. Kesimpulan dininya, presentasi makalah sedang dalam masalah.

Penyajian Fakta

Berdasarkan hasil penelitian tidak terstruktur selama delapan semester, ada banyak temuan lapangan yang dapat disajikan kepada pembaca tentang fakta terhadap penurunan kadar sakralitas presentasi makalah yang sering mahasiswa jalani.

Pertama, ‘presentasi makalah’ ternyata sudah sangat nyata berubah menjadi ‘pembacaan makalah’. Ini hampir mirip dengan pembacaan UUD 1945. Perbeddaan salah satunya terletak, pada waktu pembacaannya. Jika UUD dibaca saat upacara, makalah dibaca saat kuliah. Tempat di mana kelompok elite terdidik berkumpul dalam satu ruangan.

Makalah yang sebenarnya belum jelas kadar keilmiahannya, sekarang tidak lagi dipreteli poin-poin pentingnya untuk disampaikan ke mahasiswa lain. Melainkan dibaca utuh dari judul hingga titik setelah daftar pustaka.

Lah, kalau gini caranya, apa bedanya dengan membagikan file makalah di grup WhatsAppkelas? Malah lebih hemat energi dan biaya daripada membacakan lembar demi lembar sebanyak 20 halaman.

Kedua, sesi presentasi makalah seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sungguh, menegaskan kembali argumen sebelumnya, bahwa dunia ini penuh dengan kepentingan. Presentasi (membaca) makalah yang berjalan hampir 30 menit itu diakhiri dengan praktik debat kusir dan upaya saling menjatuhkan, antara audiens dan presentator. Debat kusir yang berkedok sesi tanya jawab.

Wajah Presentasi Makalah Kini

Mahasiswa yang jadi audiens dengan modal nekadnya mengajukan pertanyaan yang ndakik-ndakik, serta tidak bisa dijangkau dengan akal bodoh sekalipun, apalagi dengan akal sehat.

Praktik ini adalah 90 persen mengandung kepentingan. Melalui pertanyaanya, dia ingin menunjukkan, bahwa dia adalah sosok yang sangat pandai dan handal dalam dunia akademis. Sehingga dia merasa layak menyandang predikat cumlaude atau mahasiswa ideal dari dosen.

Selain itu, sesi tanya jawab dalam presentasi juga menuai konflik verbal karena berujung debat kusir, tidak lagi ilmiah, dan tidak sehat didengarkan telinga. Ambisi dari audiens yang tinggi untuk mendapat label cumlaude diadu dengan pemahaman pas-pasan dari presentator (pembaca) makalah.

Kondisi ini menimbulkan ketidaknyamanan belajar hampir 30 menit bahkan satu jam. Parahnya lagi, si presentor kadang kala membawa dalil agama berupa potongan hadis untuk membela diri dari serangan audiens:

“Barangsiapa yang mempersulit orang lain, maka Allah akan mempersulitnya pada hari kiamat”. (HR Bukhari).

Coba perhatikan, durasi satu mata kuliah berkisar 100 menit. Adapun rinciannya: 30 menit pertama digunakan untuk pembacaan makalah, 30 menit kedua digunakan untuk praktik pamer diri dan debat kusir-malah kadang memakan waktu lebih dari itu. Sementara sisanya digunakan dosen untuk memaparkan materi selama kurang lebih 40 menit.

Jika ada pepatah berkata bahwa ‘waktu adalah uang’, maka presentasi makalah adalah cara menyia-nyiakan uang secara sistematis. Hingga hari ini, praktik yang kurang tepat ini masih terjadi dan lestari. Entah kapan presentasi makalah ini menemukan kembali sakralitasnya. Hakikat presentasi yang menjadi ajang dialektika pengetahuan di antara kelompok elite terdidik di negeri ini.

Belum lagi, merebaknya wabah Covid-19 yang mengharuskan proses perkuliahan diselenggarakan secara online. Jika presentasi tatap muka saja seperti ini kondisinya, lantas bagaimana dengan suasana presentasi secara daring. Entahlah. Kita bahas saja ditulisan lain.

Indarka Putra Pratama

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.