Masihkah ingat dengan daftar cita-cita yang diimpikan sewaktu kecil? Atau, pernahkah mengalami kebimbangan ketika diminta menuliskan cita-cita di dalam draft data diri? Beberapa dari kita mungkin mengalami hal tersebut. Tersudutkan ketika ditanya, “Cita-citamu apa?”

Tapi, pernahkah merenungkan perihal “cita-cita” ini yang terus saja membalut ruang kehidupan kita? Ketika di sekolah, dari taman kanak-kanak bahkan hingga duduk di bangku pekuliahan, persoalan cita-cita terus saja menjadi buntut sebagai medium perwujudan eksistensi. Kita, para manusia seperti hidup untuk cita-cita. Menjadi sesuatu yang begitu digembirakan.

Cita-cita, menjadi representasi dari perwujudan bentuk utopis tentang diri di masa yang akan datang. Mengimajinasikan diri dalam wujud terbaik dari yang mampu dipikirkan. Sayangnya, cita-cita yang menghampiri peradaban kita tidak benar-benar datang dalam wujud yang murni. Ia datang bersama sederet agenda yang menuntut kita untuk menjadi “sesuatu”.

Pertanyaan tentang “apa cita-citamu?” adalah pertanyaan mengenai “kamu akan bekerja menjadi apa nanti?” Cita-cita yang seharusnya menjadi samudera tanpa batas yang memberikan ruang terdalam untuk menyelami pengetahuan tentang diri dan semesta berubah menjadi bentuk batasan yang mengikat individu pada pos pos tertentu. Cita-cita menjadi istilah untuk melakoni sesuatu semacam pekerjaan yang dianggap mampu memberikan warna terbaik dalam hidup.

Pekerjaan. Setiap bayi yang terlahir ke dunia sudah pasti dikultuskan untuk mampu menjadi makhluk yang memiliki kemampuan dan punya ruang terbaik dalam berjalannya laju peradaban. Para orangtua selalau mendoakan agar kelak, anaknya memilki pekerjaan yang dipikirkan “lebih baik” dari apa yang orangtuanya lakukan. Meskipun, tidak pernah ada standarisasi paten yang menempatkan satu pekerjaan lebih baik dibandingkan pekerjaan yang lainnya.

Saat ini, lebih baik atau lebih buruknya bentuk pekerjaan hanya dilihat dari satu kacamata “yang mampu menghasilkan uang lebih banyak”. Mindset yang ditanamkan di bangku sekolah misalnya, usulan tentang cita-cita selalu merujuk pada bentuk-bentuk pekerjaan yang berstatus quo, berlabel dan “dipandang”. Seperti Dokter, Insinyur, Guru, Polisi, Tentara, Pilot, Ilmuwan, dan banyak lainnya lagi.

Hal ini juga semakin dikuatkan dengan teks-teks pembelajaran yang dijejalkan pada para siswa. Buku-buku pelajaran disisipi bentuk-bentuk pekerjaan yang dianggap bergengsi tersebut. Para siswa tidak diberikan kesempatan untuk mengimajinasikan sendiri bentuk “pekerjaan” yang diimpikan. Bahkan, dari sitem pendidikan yang berlaku pun mempraktikkan pendisiplinan tentang pekerjaan tersebut.

Pendisiplinan Pendidikan

Di sekolah, tempat yang dikultuskan sebagai sumber pengetahuan, para siswa didisiplinkan untuk tidak keluar dari jalur kotak pengetahuan. Dengan Guru yang bertindak sebagai agen pengawas sehingga kurikulum benar-benar dijalankan dan sampai pada “pengetahuan” para siswa. Di lembaga sekaloh pula, kita mulai dikenalkan dengan sistem hukuman. Sekolah menjadi praktik dari sistem kekuasaan yang menerapkan norma sebagai perpanjangan dari hukum yang berlaku. Peraturan dibuat dan diterapkan pada semua “warga” yang berada dalam lingkungan sekolah tersebut, tanpa terkecuali. Sistem hukuman dijalankan sebagai alat pendisiplinan dan menghindari ketidakpatuhan pada norma yang berlaku.

Mungkin, Michel Foucault akan menyebut ini sebagai praktik nyata dari sistem Panopticonisme. Sistem penjara yang memberikan ilusi kepada para narapidananya sebagai subjek yang berdiri sendiri. Padahal setiap gerakan dan keputusan yang dibuat selalu berada di bawah pengawasan. Semua yang berada di dalam penjara dibuat seolah “membutuhkan” dan secara sukarela melaksanakan sistem yang berlaku. Meskipun sebenarnya, tidak ada satu pun dari elemen yang berada di dalamnya yang luput dari “pengawasan” dan “peraturan”.

Pendisiplinan pendidikan juga begitu kentara dari parade gonta-ganti kurikulum yang sudah seperti lagu wajib di negeri ini. Ganti Menteri, ganti kebijakan.

Belum lagi ketika menilik orientasi pendidikan saat ini. Pendidikan bukanlah medium untuk memberikan jalan kebebasan para siswa menuju “pengetahuan” yang sebagaimana manusia seharusnya peroleh. Pengetahuan, yang menyelami dasar paling dasar dari keberadaan diri sebagai “manusia” serta segala pengetahuan yang membawa diri pada keabsolutan “sumber” pengetahuan. Sebuah pengetahuan yang menyadarkan diri sebagai entitas yang memiliki peranan dalam kehidupan sebagai makhluk yang “hidup” serta “menghidupi”.

Kita bisa melihat bagaimana orientasi pendidikan kita hari ini. Untuk mencari pekerjaan, untuk memiliki pangkat dan status di dalam masyarakat, untuk memperoleh akses menuju kursi kekuasaan, ataupun sekedar untuk dianggap “mampu” bersekolah tinggi. Kita semakin lupa atau mungkin melupa untuk apa sebenarnya kita diwajibkan berpengetahuan. Hasrat berpengetahuan saat ini sudah bercampur dengan segala macam keinginan yang menggoda kita untuk menjadi “sesuatu” di dunia ini.

Seperti yang Iwan Fals lantunkan dalam lagu “Seperti Matahari”, “Keinginan adalah sumber penderitaan, tempatnya di dalam pikiran. …, Ingin bahagia derita didapat, karena ingin sumber derita, harta dunia jadi penggoda, membuat miskin jiwa kita“. Dan, sistem pendidikan kita sudah dari awal mengajarkan untuk “bercita-cita”, sebuah keinginan yang mengikat diri pada “waktu”. Kita dibuat berlomba dengan sang waktu untuk lebih dulu berjaya di dunia sebelum “waktu” menghabisi mimpi menjadi “manusia”.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan “bercita-cita”. Persoalannya hanyalah perspektif tentang cita-cita itu serta bagaimana kita mewujudkannya. Karena tak jarang, cita-cita ada dalam wujud kemilau serta ambisi untuk bereksistensi di dunia, bukan dari dasar pengetahuan serta hidup itu sendiri.

Pengajaran dan Sistem Pelajaran

Seringkali, kita melupkan proses dalam sistem pendidikan yang kita jalani. Selalu mengejar masa depan yang lebih mirip dengan sebuah harapan. Seperti yang juga dituliskan Iwan Fals dalam lagu “Seperti Matahari” di atas, bahwa bahwa “Tujuan bukan utama, yang utama adalah prosesnya“.

Mengacu pada Pedagogi yang Paulo Freire jelaskan misalnya. Sebelum Paulo Freire melaju pada sistem pendidikan, ia lebih dahulu menjelajah ke dua bagian lain dari bentuk pengajaran. Pertama, Alam dan yang kedua, Budaya. Serta yang terakhir, pendidikan.

Alam, memaknai tentang sumber dari kehidupan. Budaya sebagai bentuk menifestasi dari pemahaman tentang alam dan pengalaman, serta pendidikan sebagai bentuk pengajaran yang diteruskan kepada generasi penerus. Sebagai contoh, bulu ayam ialah bentuk dari “alam”, segala hal yang sudah ada dan tersedia. Ketika bulu ayam dibuat menjadi kemoceng, itu adalah bentuk dari “budaya”, hasil pemahaman serta pengayaan manusia terhadap alam. Kemudian, ketika cara membuat kemoceng tersebut diajarkan kepada manusia lain, secara sadar, manusia tersebut sedang mempraktikkan sebuah “pendidikan”.

Sayangnya, saat ini kita lebih sering mendapatkan pendidikan langsung dalam bentuk didikan, bukan proses dari yang membentuk pendidikan tersebut. Seringnya kita dibawa pada tahap ketiga, melalui “kurikulum” serta sistem yang diberlakukan di lembaga pendidikan. Tanpa diberikan ruang serta kesempatan untuk menyelami dasar dari pengetahuan yang diberikan.

Kita dibuat tidak tahu tentang bagaimana proses seharusnya dalam memperoleh pengetahuan. Kita dipaksa menjadi manja dengan segala macam yang ada. Dibuatkan kurikulum, diberikan pilihan kotak-kotak pengetahuan yang katanya akan menuntun pada masa depan, bahkan kita juga disediakan pabrik-pabrik dan perusahaan yang siap memberikan pekerjaan dengan menukar Ijazah terakhir.

Paradigma tentang orientasi pendidikan yang dijadikan ujung tombak sistem industrialisasi bukanlah isapan jempol semata. Di Indonesia sendiri, sudah ada sistem kurikulum yang dibuat oleh Kemenristek Dikti dalam upaya mengutamakan kebutuhan industri dari para sarjana. Waktu itu, pada tahun 2019, Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tingi, Totok Prasetyo, menyatakan bahwa pendidikan vokasi dan studi terkait science, technology, engineering, arts and mathematics (STEAM) lebih utama digalakkan untuk memenuhi kebutuhan industri daripada sarjana sosial.

Ah, si “Bapak” mungkin lupa atau tidak tahu bagaimana kita harus saling sikut untuk bisa masuk ke sana. Belum lagi apa yang dihasilkan kadang tidak mau sedikit beromantis-romantisan dengan tenaga serta waktu yang dikerahkan. Duh si “Bapak”, seandainya bapak tahu tentang hal ini. Mungkin Bapak tidak akan menuntut anak-anaknya untuk menjadi mata rantai sistem perindustrian. Atau bahkan, Si Bapak akan memberikan kita ruang pengajaran yang benar-benar memberikan sebuah “ajaran”, serta bagaimana kita harus survive dan mengetahui tentang kehidupan lebih baik lagi.

Perihal proses, juga membawa ingatan pada konsep pengajaran yang dituliskan oleh Tan Malaka dalam “SI Semarang dan Onderwijs (1921)”. Di sana, Tan Malaka menuliskan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan penuh untuk belajar apapun yang ingin dipelajari. Baik soal hitung-menghitung, bahasa asing, pelajaran umum, belajar Gamelan atau tari-tarian, memasak, membatik, apapun itu yang benar-benar menjadi minat siswa. Para siswa datang ke tempat belajar dengan kesukaannya masing-masing tanpa tekanan harus “sama” dan “seragam”. Sehingga, ketika sudah mendapatkan pengajaran dan memperoleh pengetahuan dari pengajaran itu, juga ada kehendak untuk menyampaikan atau meneruskan pengajaran kepada orang lain.

Matinya dari sistem pendidikan tak lain ketika para alumni pendidikannya tidak mampu memberikan pengajaran kepada orang lain. Dengan melupakan proses pengajaran tentang alam dan budaya, itu juga berarti melupakan tentang dari mana sumber pengetahuan tersebut didapatkan serta bagaimana proses memperoleh pengetahuan tersebut. Selama ini, yang kita dapatkan adalah hasil, kita tidak melakukan pelacakan pada sumber dan prosesnya. Sehingga terlalu sering terjadi kegagapan dalam hal transfer pengetahuan.

Pendidikan bukan lagi tentang bagaimana dialektika dari pengetahuan berlangsung, tetapi sudah menjelma menjadi “pengulangan” serta metode hafalan yang dilanggengkan setiap waktu. Alhasil, keberadaan lembaga pendidikan tidak mendidik para siswanya untuk berpengetahuan, tetapi justru mencetak individu-individu yang bergerak tanpa “nalar”. Hidup dengan kekuatan kepatuhan serta ketundukan oleh “yang sudah digariskan”. Tidak berani keluar dari zona aman ataupun bertarung dengan hidup untuk sampai pada kehidupan yang benar-benar “hidup”.

Ada berjuta kesempatan untuk mengkonsepkan “cita-cita” kita sendiri. Tanpa terantai oleh bentuk cita-cita yang dimimpikan oleh laju “kemajuan”. Dengan berpengetahuan terhadap “pengetahuan”, kita bisa menjadi lebih dari apa yang sudah kita yakini tentang diri sendiri.

Menjadi “bentuk” terbaik dan belum pernah terbayangkan sebelumnya. Serta mengambil peran meski hanya kecil, untuk mengalirkan sungai pengetahuan dari kemurnian sumber mata airnya, menuju celah-celah sempit, dan memberikan sedikit penghidupan pada segala hal yang hidup. Bukankah kita hidup tak lain hanya untuk “hidup” dan “menghidupi”?

Ainun Nafisah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.