“Senyum”, kata yang paling sering saya ucapkan ketika memotret. Atau bahkan selalu. Saya kira tidak hanya saya, tetapi semua yang melakukan aktifitas fotografi. Senyum yang tergaris pada setiap bibir memang unik. Tidak pernah garis itu melengkung pada sudut yang sama, antara yang satu dan yang lainnya.

Dalam satu sesion pemotretan, saya bisa menjumpai senyuman paling lepas dan bebas hingga senyuman yang penuh keterpaksaan. Menjadi hal lumrah karena tersenyum begitu erat kaitannya dengan rasa dan watak. Meski kadang melelahkan, tidak pernah ada kesia-siaan dalam sebuah senyuman.

Satu hal sederhana, tetapi begitu membangkitkan emosi. Senyum bisa menjelma perilaku dan interpretasi penangkapan sebuah makna. Setiap senyum yang terlukis, mempunyai buah pikirnya masing-masing. Senyuman pun bisa bermakna kesopanan. Bentuk ramah tamah paling dasar dalam hubungan sosial kemasyarakatan.

Dalam Fisiologi, senyum merupakan ekspresi wajah yang terjadi akibat gerakan dari kedua ujung bibir dan sekitar mata. Bahkan, di Jepang muncul anggapan bahwa senyum bisa dilakukan dengan mata.

Ada berbagai macam alasan untuk tersenyum. Dalam ajaran Islam senyum adalah ibadah, dikatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa senyum-mu di depan saudaramu, adalah sedekah bagimu. Sehingga, banyak kaum muslim yang menerapkannya dengan tujuan kesopanan dan mendapatkan pahala.

Thich Nhat Hanh seorang Buddha, juga menyatakan bahwa kegembiraanmu adalah senyum-mu, Tetapi terkadang senyumanmu bisa menjadi sumber kegembiraanmu. Seorang penulis buku “Become a Networking Ninja”, Danielle Radin mengatakan, dimanapun berada dan dengan siapa pun berbicara, jangan menunda getaran positif untuk tersenyum.

Di Jawa atau bahkan di Indonesia, orang lebih di sarankan untuk sering tersenyum kepada teman, saudara, terlebih kepada orang asing. Hal ini dikarenakan dalam tradisi Jawa menjunjung tinggi nilai-nilai menghormati sesama manusia. Berbanding terbalik dengan di Rusia, memberi senyum kepada orang lain dianggap bodoh, licik, berniat jahat, dan mencurigakan.

Dalam konteks berbudaya, senyum akan lebih baik diterapkan sesuai dengan budaya yang di jalankan oleh masing-masing suku, agama, ras, dan antar golongan. Selisih atau perasaan tersakiti karena senyum pun bisa dihindari dengan memahami budaya.

Asem Arang, by Nizar Zulfi

Pada tahun 1924, Carney Landis merilis hasil penelitiannya mengenai ekspresi wajah manusia. Landis yang saat itu tercatat sebagai Mahasiswa Psikologi di Universitas Minnesota, mengajak beberapa dosen, teman, dan sejumlah pasien di Departemen Psikologi. Para respondennya melakukan banyak hal. Mulai dari membaca Alkitab, mendengarkan musik Jazz, melihat pornografi, hingga memenggal kepala tikus. Landis mendokumentasikan ekspresi kegiatan tersebut dengan kamera foto.

Dari penelitiannya itu, Landis menulis kesimpulan dalam Journal of Comparative Psychology, dimana senyuman memiliki ciri khasnya masing-masing, dalam situasi apapun. Sehingga senyum tidak selalu menggambarkan suasana hati yang bahagia atau baik. Ada senyum yang terjadi karena rasa sedih, takut, malu, marah, dan bohong.

Penelitian Landis menuai kontroversi karena dianggap melanggar etika. Meski begitu, pada abad 21 ini, dilakukan penelitian lanjutan berdasarkan kesimpulan tersebut. Hasilnya, ditemukan ada 19 tipe senyuman. Hanya enam tipe di antaranya yang diasosiasikan pada kondisi terbaik ketika tersenyum. Yakni bahagia, lucu, tulus, positif, (sebutkan semua zar dari keenam itu). Sedangkan sisanya dalam kondisi buruk.

Sama dengan Landis, Duchene de Boulogne, seorang ahli saraf dari Prancis juga mengabadikan eksperimennya dalam beragam foto yang bersejarah. Duchenne melibatkan pria paruh baya dari sebuah rumah sakit di Prancis untuk menjadi kelinci percobannya. Dari situ, Duchenne menemukan 60 ekspresi wajah. Masing-masing senyumnya melibatkan otot tertentu pada wajah.

Dokumentasi foto yang paling terkenal dari Duchenne yakni foto kondisi tersenyum lebar, hingga menampilkan gigi yang ompong dan pipi yang membusung. Duchenne menamakan ini sebagai yang dinamakan “senyuman”. Hal ini yang kemudian dianggap sebagai karakteristik senyum yang tulus, dan dianggap sebagai ekspresi kebahagiaan.

Natural Smile, by Nizar Zulfi

Yang paling menjadi perbincangan adalah lukisan dari Leonardo da Vinci, salah satu pelukis terhebat sepanjang sejarah. Mona Lisa, lukisan perempuan berambut panjang dengan senyuman penuh misteri. Lukisan ini menarik para Psikolog untuk membedah makna dari senyuman perempuan ber-dress hitam tersebut.

Dan sangat beruntungnya Da Vinci, bisa mengabadikan momen itu. Meski Mona Lisa melakukannya hanya sebentar. Kabarnya, senyum Mona Lisa penuh misteri tersebut tergambar ketika pengasuhnya sedang tersenyum dari kejauhan. Mau tidak mau, Mona Lisa yang sedang duduk tanpa ekspresi harus tersenyum, walau hanya sekejap.

Dari citra yang terbentuk dalam foto maupun lukisan, kita sedikit dapat belajar mengenai kepribadian. Hanya dari bentuk senyuman, seseorang bisa membaca dan terbaca perasaan yang sedang tersirat. Apapun itu, senyuman selalu menjadi benang pengikat keakraban dan kebahagiaan.

Energi positif yang terpancar dari sebuah senyuman, seringkali memberikan energi yang sama untuk sekelilingnya. Anda pasti sering menjumpai, banyak orang ikut tersenyun bahkan tertawa ketika salah satu diantaranya tersenyum maupun tertawa lebih dahulu.

Meskipun sebuah senyuman selalu berharga mahal untuk melakukannya dengan tulus. Namun bukan berarti bisa membuat kita berhenti tersenyum. Bagikanlah suka cita pada dunia, sehingga semesta pun memberkati. Lalu, Sudahkah anda tersenyum hari ini?

Oleh: Moh. Nizar Zulfi, Fotografer dan Online Marketer

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.