Mungkin lantaran sejak kecil sering diajak orang tua ke toko buku, secara ayah adalah pedagang buku, setiap melihat toko buku saya tertarik untuk “nongkrong” di situ, kendati tak selalu membeli, hanya sekedar lihat dan sedikit bertanya pada penjual.
Tak terkecuali saat di Haram dua tahun lalu. Saya cukup sering mengunjungi toko buku yang letaknya di sekitar Masjidil Haram.
Biasanya sebelum atau sesudah salat lima waktu, sambil jalan-jalan, saya main ke toko buku. Kadang hanya lihat, dan sesekali bertanya kepada penjual.
“Ada kitab ini?, Kitab ini harganya berapa?”
Kendati terkanal dengan mazhab wahabi, ternyata buku-buku ulama yang namanya saya kenal di pesantren dijual pula di sana seperti Tafsir Jalalain, Bujairomi alal Khatib, Raudhatut Thalibin, Waraqot dan lain sebagainya.
Waktu itu saya membeli beberapa Alquran berukuran mini, yang dilengkapi dengan Tafsir Jalalain.
Saya juga menanyakan kepada penjual beberapa buku yang versi Arabnya cukup sulit diperoleh di Indonesia seperti Mukadimah Ibnu Khaldun, Sirah Nabi karya Ibnu Hisyam dan Sirah Nabi karya Ibnu Ishaq
Saya pun membeli dua buku yang disebut lebih awal, karena memang dua hanya buku itu yang tersedia.
Tradisi Titip Buku
Salah satu bentuk dari transfer pengetahuan adalah tersampaikannya buku-buku kepada pembaca. Namun lantaran akses terhadap buku tak selalu mudah, seperti tak ada penjual buku yang letaknya terjangkau, seseorang kadang perlu minta tolong orang lain untuk membelikan buku di daerah tertentu yang di datangi. Istilahnya “nitip buku”.
Yang demikian ini, khususnya dulu kala; saat buku-buku berbahasa Arab sulit diakses di Indonesia, terjadi juga saat salah satu kerabat atau kolega melakukan perjalanan ke Tanah Haram melaksanakan ibadah Haji.
Saya sendiri dulu pernah melihat Paman mendapat oleh-oleh dari kologenya sebuah buku. Ada pula, menurut cerita, kiai yang mengoleksi buku yang jumlah jilidnya tak sedikit dengan membalinya secara terpisah ketika ia atau koleganya ke Haram.
Zaim Ahya, Founder takselesai.com