Nama Ibnu Khaldun dikenal luas sebagai tokoh Islam yang mendunia. Namanya sering disebut-sebut sebagai perintis filsafat sejarah dan ilmu sosiologi. Bahkan tak sedikit dari masyarakat Islam yang membanggakannya. Tapi yang demikian ini tampaknya tak sebanding dengan keseriusan umat Islam dalam mengkaji pemikiran tokoh yang satu ini.

Karya Ibnu Khaldun yang paling populer adalah Muqoddimah, yang dalam bahasa kita berarti “pendahuluan”. Memang, karyanya ini merupakan pendahuluan dari karyanya yang berjudul al-’Ibar. Tapi, walaupun karya ini merupakan pendahuluan, ukurannya cukup tebal, mencapai lima ratus halaman lebih. Mungkin lantaran ketebalannya ini, tak semua orang berminat mengkaji. Kemungkinan lain adalah lantaran ilmu yang dibahas oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya tidak terlalu familiar, dibanding ilmu-ilmu keislaman lainnya.

Oleh karena itu, tak mengherankan, banyak para pemikir berikhtiyar mengenalkan pemikiran Ibnu Khaldun kepada khalayak dengan menulis buku pengantar yang cukup ringkas. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Ali Audah berjudul “Ibn Khaldun; Sebuah Pengantar”.

Audah membagi bukunya menjadi lima bab: (1) Ibnu Khaldun; (2) Isi Muqaddimah; (3) Muqaddimah dan ‘Ibar; (4) Agama dan Filsafat; (5) Sebutan Arab dalam Muqaddimah.

Bab pertama, yang menjelaskan biografi Ibnu Khaldun, memperoleh porsi yang paling banyak. Hampir separuh buku, Audah mendedahkan asal-usul Ibnu Khaldun, meliputi keluargannya serta perjalanan hidupnya. Menurut Audah, keluarga Ibnu Khaldun punya perhatian terhadap pendidikan. Ayahnya menguasai secara mendalam ilmu al-Qur’an, fikih, gramatika dan sastra. Kakek-kakeknya juga menempati posisi yang cukup penting di pemerintahan saat itu.

Dengan latar belakang keluarga yang demikian, selain dididik oleh ayahnya, Ibnu Khaldun juga berguru kepada guru-guru terbaik di lingkungannya pada masa itu. Dengan ketekunannya, dan di bawah bimbingan guru-gurunya, Ibnu Khaldun tumbuh menjadi intelektual yang menguasai berbagai macam ilmu, dan menempati posisi penting dalam pemerintahan.

Menurut Audah, kecintaan pada ilmu dan kegemaran melakukan perenungan yang mendalam dari ayahnya dan aktivitas politik dari leluhurnya ini turut berperan dalam membentuk diri Ibnu Khaldun, sehingga menjadi seorang ulama-sarjana-negawaran.

Terbukti, sebagai seorang ulama, Ibnu Khaldun pernah menjabat sebagai hakim dan guru besar. Begitu juga, sebagai seorang negarawan, selain menjadi hakim Ibnu Khaldun juga pernah menjadi semacam sekretaris pribadi penguasa saat itu. Sedangkan sebagai seorang sarjana atau intelektual, Ibnu Khaldun berhasil menulis karya yang monumental tentang sejarah peradaban manusia. Tidak sebatas waktu kejadian yang Ibnu Khaldun tulis, tapi lebih kepada sejarah sebagai sebuah proses, seperti faktor-faktor yang melatarbelakangi, pola sejarah dan lain sebagainya, yang dalam bahasa Ibnu Khaldun disebut sebagai aspek batin dari sejarah.

Memang, sebagai negarawan atau politisi, Ibnu Khaldun beberapa kali berpindah dari satu kekuasaan ke kekuasaan yang lain. Keterlibatannya di dalam pemerintahan, bahkan menempati posisi penting, tentu tidak lepas dari konflik, intrik dan semacamnya, yang memang menjadi khas dari watak politik itu sendiri, yang dinamis. Tapi menurut Audah, berpindah-pindahnya Ibnu Khaldun, kadang juga lantaran dipecat, sebab idealismenya.

Menurut Audah, Ibnu Khaldun sebenarnya lebih condong kepada jiwa ilmuwannya dari pada sebagai seorang politisi. Kecenderungannya itu yang menyebabkannya sering berkonflik dengan penguasa. Ibnu Khaldun menolak dikuasai oleh para penguasa. Ia memilih untuk berpikir bebas daripada didekte oleh penguasa sebagai pengabdi yang loyal.

Terkait perjalanan politik Ibnu Khaldun, yang sering berpindah dan melompat dari satu penguasa ke penguasa yang lain, Audah menyatakan:

“Sebagai seorang manusia, dia memang tak bebas dari ambisi-ambisi politik…, meskipun kemudian ia menyadari bahwa otaknya yang brilian itu lebih banyak diperlukan untuk dicurahkan kepada kepentingan ilmu.”

Faktor lain yang mungkin bisa diketengahkan untuk membaca perjalanan politik Ibnu Khaldun tersebut adalah konteks mayarakat Islam saat itu yang terpecah menjadi banyak kerajaan atau pemerintahan. Ibnu Khaldun sendiri, menurut Audah, merupakan seorang kosmopolit. Baginya, seluruh kawasan Islam adalah tanah airnya.

Dalam perjalanan politiknya, kata Audah, Ibnu Khaldun hanya mau mengabdikan diri kepada pemerintahan Islam. Pernah suatu saat, Ibnu Khaldun diutus oleh Banu Ahmar untuk menemui Raja Pedro dari Kastilia yang terkenal bengis. Ibnu Khaldun diminta oleh Raja Pedro untuk tinggal di sana, tapi Ibnu Khaldun menolak.

Memahami Sejarah secara Kritis dan Rasional

Ibnu Khaldun bisa disebut sebagai perintis ilmu sejarah sebagaimana yang kita kenal sekarang. Menurut Audah, masyarakat klasik dan abad pertengahan belum menganggap sejarah sebagai sebuah ilmu. Bahkan, Aristoteles pun, kata Audah, memberi penilaian yang kurang positif kapada sejarah.

Pada masa dulu, sejarah mempunyai arti ganda yang meliputi sajarah dan cerita, yang kadang dihubungkan dengan sesuatu yang berada di luar jangkauan pemikiran manusia. Ibnu Khaldun berupaya melihat sejarah dari sisi yang manusiawi. Ibnu Khaldun memahami sejarah secara rasional. Sejarah, jika hukumnya bisa dimengerti, maka bisa dipahami dan diraba.

Perihal apa yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun ini, Audah, mengutip penilaian dari Arnold Toynbee, yang menganggap Ibnu Khaldun sebagai perumus filsafat sejarah. Menurut Audah, model penulisan sejarah yang telah dilakukan Ibnu Khaldun tersebut berdampak pada penulisan sejarah di kawasan Islam di periode setelahnya.

Ciri dari penulisan sejarah yang dirintis Ibnu Khaldun adalah rasional dan kritis. Ibnu Khaldun mengkritik beberapa sejarawan pendahulunya. Misalnya al-Mas’udi yang mengisahkan tentang Iskandar Agung ketika hendak membangun kota Iskandariah, yang dihalang-halangi oleh binatang-binatang laut raksasa.

Untuk mengatasi rintangan tersebut, Iskandar membuat peti kaca yang dimasukkan ke dalam peti kayu. Iskandar pun masuk ke dalam peti kayu tersebut dan menyelam ke dalam laut. Kemudian Iskandar membuat lukisan yang mirip dengan binatang raksasa itu, dan membuat patung-patung yang mirip binatang-binatang tersebut, hingga akhirnya membuat mereka lari, dan Iskandar pun bisa melanjutkan pembangunan kota Iskandariah.

Menurut Ibnu Khaldun, cerita dari al-Mas’udi ini tidak rasional, penuh dengan takhayul. Ibnu Khaldun mengajukan beberapa pernyataan dan pertanyaan kritis, seperti mana mungkin seorang raja mau mengambil resiko dengan menyelam ke dalam laut, dan bukankah hal yang mustahil orang bisa bertahan di dasar laut dengan peti kaca?

Audah juga mendedahkan beberapa faktor yang menjadikan tersebarnya informasi yang tidak benar menurut Ibnu Khaldun, yang sejatinya juga bisa kita gunakan untuk memilah dan memilih informasi secara umum.

Menurut Ibnu Khaldun, terlalu pecaya pada informan bisa menjadikan kita tergelincir ke dalam informasi bohong. Informan, kendati tepercaya, masih perlu kita teliti. Yang demikian ini relevan dengan era kita.

Di era banjir informasi, orang baik yang terkenal jujur punya potensi menyebarkan berita yang salah. Bukan berarti orang baik tersebut ingin menyebarkan berita bohong, tapi justru karena ia menganggap berita itu bohong itu benar. Fenomena demikian ini, kalau kita merujuk kepada pemikiran Ibnu Khaldun, lantaran orang tersebut tidak paham tujuan suatu peristiwa atau tidak mengerti sifat-sifat inheren dalam pelbagai keadaan dari peradaban.

Faktor lain yang membuat kita tidak kritis, sehingga rawan menyebarkan informasi bohong, adalah fanatisme atau kecenderungan terhadap pandangan tertentu. Biasanya ini terjadi di era kita ketika memasuki tahun atau bulan politik. Karena kecenderungan pada salah satu calon, biasanya orang gampang menyebarkan informasi positif yang mengarah kepada calon dukungannya, dan menyebarkan informasi negatif tentang calon yang tak ia dukung.

Selain faktor-faktor di atas, kecenderungan seseorang ingin dekat dengan orang besar atau para penguasa juga mendorong seseorang untuk tidak menyampaikan informasi apa adanya. Tak jarang untuk mendapatkan pujian, ia hanya menyampaikan informasi-informasi yang menyenangkan para pembesar atau penguasa, seperti berlebihan dalam memuji dan menyanjung.

Begitu kira-kira beberapa hal tentang sikap rasional dan kritis Ibnu Khaldun atas informasi sejarah, yang bisa digunakan pula di era sekarang untuk membaca informasi, yang setiap hari menghampiri kita, secara kritis dan rasional.

Sebagaimana sudah disinggung, selain membahas biografi dan pemikiran Ibnu Khaldun atas sejarah, Audah juga membicarakan pandangan Ibnu Khaldun atas agama dan filsafat.

Menurut Audah, Ibnu Khaldun merupakan pemikir yang religius. Sama sekali tak terdapat dalam karyanya yang menunjukkan keraguan Ibnu Khaldun atas agamanya, yakni Islam. Bahkan kalau kita baca secara seksama, Ibnu Khaldun sering mengutip hadist Nabi dan ayat Al-Qur’an di akhir pembahasannya.

Salah satu yang khas dari Ibnu Khaldun, menurut Audah, dalam kaitannya dengan agama dan ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun tidak melakukan “cocokologi”. Ibnu Khaldun dalam pandangan Audah terlihat tidak ingin menghubungkan segalanya dengan agama secara paksa. Kalau kaitannya dengan masalah dunia an sich, ia akan melihatnya dengan penalaran ilmu. Misalnya, dalam bab kedokteran, Ibnu Khaldun melancarkan kritik perihal sebutan “pengobatan secara agama”, yang erat kaitannya dengan pengobatan yang berlaku di kalangan orang Arab saat itu, yang dihasilkan dari pengalaman mereka. Menurut Ibnu Khaldun, sebagian memang ada yang benar.

“Pengobatan secara agama yang model begini inilah yang saya makasud. Dan ini sama sekali bukan dibawa oleh wahyu, tetapi hanya didasarkan pada tradisi Arab dan kebetulan yang terjadi dan dihubungkan dengan Rasulullah SAW, yakni yang sudah menjadi kebiasaan yang disebutkan, bukan karena sudah disyariatkan agama. Rasulullah diutus kepada kita untuk mengajarkan syariat agama, bukan untuk mengajarkan ilmu kedokteran atau hal-hal lain yang sudah biasa. Suatu peristiwa yang pernah dialami beliau seperti hal penyerbukan pohon kurma, sehingga beliau berkata: ‘Kamu lebih mengetahui soal-soal duniamu’,” tulis Audah mengutip Ibnu Khaldun.

Saya kira paradigma ini menarik, dan perlu pembahasan lebih lanjut, sebagai upaya memperkaya paradigma integrasi antara agama dan sains yang dari beberapa tahun lalu rame diperbincangkan di kampus-kampus Islam di Indonesia.

Terakhir, karena buku ini merupakan hasil bacaan Audah atas Ibnu Khaldun, tentu perlu kita baca pula secara kritis. Bisa jadi, saat kita membaca karya Ibnu Khaldun secara langsung, pandangan kita atas pemikiran Ibnu Khaldun tidak sama persis dengan apa yang dipaparkan Audah dalam bukunya ini. Bahkan, malah mungkin ada yang bertolak belakang.

Zaim Ahya, founder takselesai.com

Tulisan ini juga pernah terbit di Resensi.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.