Kira-kira setahun lalu, di sela-sela mengikuti worshop “menulis kiai”, saya bertanya kepada pemateri (Mas Hamzah Sahal) perihal rahasia kehebatan Gus Dur menulis kiai.

“Rata-rata Gus Dur menulisnya dengan slengean, kecuali ketika menulis kiai…” begitu jawabnya.

Jika mau melakukan katagorisasi, tak semua santri itu “munduk-munduk”, namum ada pula yang slengean. Tapi untuk mendefinisikan santri slengean tampaknya cukup sulit.

Santri slengean biasanya memang agak nekat, atau justru benar-benar nekat. Ia berani melakukan hal-hal yang umumnya santri tak berani melakukan. Tapi anehnya, ia tak membuat kiai jengkel. Kalau pun jengkel, biasanya akan menjadi jalan kedetakannya dengan kiai.

Kalau kita merujuk ke Gus Dur ada kisah yang masyhur saat beliau nyantri di Pondok Tegalrejo. Gus Dur memimpin “pencurian” ikan milik Kiai Khudhori. Namun, alih-alih mendapat hukuman, Gus Dur justru diajak makan oleh Kiai.

Suatu saat saya pernah mendengar cerita dari Gus Fadllu (putra pertama Kiai Dimyati Rois) perihal santri dulu yang mencuri celana kiainya. Pada saat kiai tahu celananya dipakai santri, kiai pun menegur, namun buru-buru santri tersebut mejawab, “ngalap berkah jenengan, Kiai”. Mendengar jawaban itu, kiai pun tersenyum.

Saya juga punya teman saat nyantri dulu. Sepertinya ia juga termasuk katagori santri slengean. Suatu hari kami bercakap-cakap perihal sowan ijin kepada kiai ketika ingin pulang. Katanya, “aku ndak mau sowan, takut ngrepotin kiai, aku langsung pulang saja”. Batinku, ini logika macam apa. Tapi di kemudian hari dia jadi orang penting di pondok, bahkan menjadi lurah pondok yang banyak melakukan trobosan dalam perkembangan pesantren.

Kelebihan santri-santri slengean biasanya selain nekat, juga cakap berkomunikasi dan biasanya juga pintar membuat joke. Hal yang demikian ini menjadi salah satu lantaran santri slengean lebih dekat dengan kiai, dari pada santri yang mundak-munduk, walaupun tentu tak semua.

Apakah santri slengan ini tidak takzim kepada kiai?

Aku kira santri slengean ini tetap takzim dan patuh pada kiai, hanya ia mungkin punya tafsir sendiri perihal ketakziman, yang mungkin berbeda dengan santri-santri yang non slengean. Santri slengean ini memaknai ketakziman dengan cara divergen, jika boleh disitilahkan demikian, tidak literal. Atau meminjam istilah Gus Dur tentang ketundukan, ia melampaui pemaknaan leterlek.

“Mazhab” Santri Slengean

Kalau kita merujuk ke tradisi pesantren, kira-kira “mazhab” apa yang diikuti santri slengean?

Slengean, alih-alih diusahakan, menurut saya umumnya adalah bawaan dari sananya. Jika yang bukan maqamnya, jangan coba-coba!Namun jika kita mau merujuk, sanad slengean ini salah satunya bisa disandarkan kepada Abu Nawas.

Kendati jarang sekali santri-santri secara khusus belajar kitab karya Abu Nawas atau tentang Abu Nawas, kisah-kisahnya akrab di lingkungan pesantren. Ini terjadi, salah satunya lantaran kadang, dalam sela-sela ngaji kitab kuning, kiai mengisakan kisah Abu Nawas.

Saat saya masih nyantri di Alfadllu, beberapa kali mendengar kisah Abu Nawas dari Kiai Dimyati Rois di sela-sela membacakan kitab kuning, seperti kisah Abu Nawas woro-woro ingin terbang, yang ternyata hanya candaan. Mungkin, kalau yang berbuat begitu bukan Abu Nawas, pelaku sudah di hukum oleh raja saat itu. Namun karena Abu Nawas, dengan slengeannya, bisa bebas dari hukuman, dan bahkan kerap kali membuat tertawa sang raja.

Di genarasi sebelum Abu Nawas, sepertinya kita bisa merujuk ke Nuaiman, salah satu sahabat Nabi yang bisa dibilang slengean, dan bahkan sembrono kepada Nabi menurut beberapa sahabat.

Adalah Gus Baha yang mempopulerkan Nuaiman sebagai santri Nabi yang slengean. Kata Gus Baha, Nuaiman sering kali ngerjani Nabi. Misalnya suatu ketika Nuaiman memanggil penjual makanan untuk Nabi, alih-alih membayari Nabi, justru dengan santainya bilang, “Nabi bayar dong, kan jenengan yang sudah makan”. Menanggapi Nuaiman, kata Gus Baha, Nabi tersenyum dan woles saja.

Para sahabat yang melihat prilaku Nuaiman, beberapa melaknatnya, tapi oleh Nabi dilarang. Malah Nabi berkata: “Walau bagaimana pun, dia mencintai Allah dan rasul-Nya”.

Slengan Nuiman berlarut sampai era kepemimpinan sahabat Usman. Pernah suatu ketika, menurut cerita Gus Baha, ada orang buta yang sedang di masjid ingin buang air kecil. Oleh Nuaiman, bukannya diantar ke jamban, justru dituntun ke tempat imam, dan berkata kepada orang buta tersebut, bahwa ia sudah sampai di jamban.

Mengetahui dirinya dikerjai Nuaiman, orang buta itu bertekad akan memukul Nuaiman jika ketemu. Alih-alih meminta maaf, mengetahui tekad orang buta tersebut, Nuaiman malah mengerjainya lagi. Ia menyamperi orang buta tersebut dan berkata: “Kamu ingin memukul Nuaiman, bukan? Ayo saya antar”.

Oleh Nuaiman orang buta itu di antar ke tempat sahabat Usman sedang solat, dan Nuaiman berkata padanya, bahwa yang di dekatnya adalah Nuaiman. Akhirnya, tanpa ragu orang buta itu memukul sahabat Usman. Masyarakat pun geger mendengar berita, khalifah Usman dipukul seseorang.

Begitulah kira-kira tentang santri slengean, yang ternyata juga ada “sanad” dan “mazhabnya”. Menarik bukan?

Zaim Ahya, santri dan owner kedai takselesai

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.