Di pesantren, salah harokat satu huruf arab pegon bisa jadi homor, mengundang tawa.
Guru saya, Kiai Dimyati Rois pernah mengisahkan kisah homor: suatu hari seorang guru memberi makna gandul kata al-maidanu (الميدان) dengan “alon-alon” yang dalam bahasa Indonesia setara dengan “pelan-pelan.
Seorang santrinya yang mendengar makna tersebut bertanya:
“Maaf, guru. Bukannya al-maidanu (الميدان) itu maknanya alun-alun.”
“Ya, maksudnya kalau berjalan di alun-alun itu harus alon-alon (pelan-pelan) karena biasanya sesak manusia” jawab sang guru sebagaimana dikisahkan Kiai Dimyati.
Kisah ini ketika diceritakan beliau, sontak, mengundang tawa santri.
Yang demikian ini terjadi lantaran “alun-alun” dan alon-alon” dalam huruf pegon tertulis sama: الون-الون, bisa dibaca alun-alun dan alon-alon.
Saya juga beberapa hari kemarin mengalami hal yang hampir serupa. Salah seorang kawan santri ketika memberi makna التشبيك mengucapkan dengan lantang: “ngapuranjang”, padahal yang benar adalah “ngapurancang”, sebuah metode dalam meratakan air ketika mebasuh tangan saat berwudhu.
Mendengar itu, alih-alih marah, guru kami yang menyemak pun tertawa. Jadilah kami, satu kelas, tertawa bersama.
Zaim Ahya, pemilik kedai tak selesai