Novel Animal Farm karya George Orwell diterjemahkan oleh H. Mahbub Djunaidi dengan judul Binatangisme. Selain menerjemah, di akhir novel yang diterbitkan oleh penerbit Iqra Bandung, Bung Mahbub — panggilan akrab H. Mahbub Djunaidi — juga mengisahkan siapa itu George Orwell.

Ihwal George Orwell

Ibu-bapaknya memberinya nama Eric Blair. Entah apa sebabnya ia tak begitu suka nama itu dan menyebut dirinya George Orwell dalam karangan-karangannya. Akhirnya, tak seorang pun memanggilnya Eric Blair, melainkan George Orwell.

Tak syak lagi, George Orwell telah mampu menempatkan dirinya selaku salah seorang penulis satire-politik Inggris yang besar. Seperti semua orang maklum, satire merupakan corak penulisan yang memerlukan tingkat intelektuil tinggi.

Pada umumnya para penulis satire (satiris) biasa hidup dalam suasan intelektuil yang tenang tentram. Itu umumnya! Sedangkan kehidupan George Orwell sama sekali menyimpang dari kebiasaan itu. Hidupnya cukup meriah dan hiruk pikuk.

Contohnya? Tengok saja judul-judul buku yang ditulisnya: Burmese Days, Down and Out in Paris and London, The Roed to Wigan Pier, Homage to Catalonia. Kesemua judul-judul itu jelas mengandung kisah petualangan. Kesemua isi tulisan menggambarkan apa yang terjadi dan teralami.

Buku terakhirnya Animal Farm (yang diterjemahkan dalam bahas Indonesia dengan judul BINATANGISME ini) dianggap merupakan buku terbaiknya, sedangkan buku tahun 1984 dianggap karyanya yang paling mengangkat namanya.

George Orwell dilahirkan tahun 1903 di Bengel, India. Ayahnya menjadi pegawai pemerintah di sana. Sebagaimana lazimnya anak-anak berkebangsaan Inggris di India yang punya mata pencarian cukup, ia berkesempatan menikmati pendidikan. Sebuah karya berjudul Such, Such were The Joys merupakan otobiografinya selama sekolah persiapan yang rupa-rupanya kurang membuatnya bahagia. Buku ini belum pernah diterbitkan di Inggris.

Ia memenangkan beasiswa untuk bersekolah di Eton, atau di Wellington. George Orwell memillih Eton. Ini menunjukkan bahwa orang tuanya punya kemampuan keuangan yang lumayan. Selaku sarjana di Erton sudah merupakan kelaziman bila seseorang secara rutin melanjutkan ke Oxford atau Cambridge.

Tapi, apa yang dilakukan George Orwell? Ia tidak pergi ke sana. Ia masuk dinas kepolisian dan ditempatkan di Birma. Dinas kepolisian Inggris terkanal mulutnya: gaji rendah tapi tugas teramat beratnya. Benar-benar pekerjaan yang tidak menyenangkan!

Kendati begitu, tak kurang lima tahun Orwell menjalankan tugas dinas sebagaimana mestinya. Disitulah Orwell berkesempatan mengenal dan pelajari seluk-beluk hidup dalam arti yang sebenar-benarnya. Ia menghadapi hidup, ia bergumul dengan hidup, dan mengatasi rintangan-rintangan. Ia kejebur ke dalam asam garam hidup, sedangkan rekan-rekannya di perguruan tinggi cuma mengenal pinggir-pinggirnya lewat buku dan diktat dan kuliah guru yang melambung tinggi.

Sehabis dinas lima tahun ia pulang cuti ke Inggris. Begitu tercium olehnya udara negerinya, ia berkeputusan tinggal menetap dan tidak kembali lagi ke Birma. Bila ia berangkat selaku anak-anak yang tak tahu pasti apa tujuan yang mau dicapai, kini ia kembali ke negerinya selaku lelaki dewasa, yang mengerti apa arti hidup itu, dan mengerti bagaimana cara menulis perihal liku-liku hidup.

Memang ia tahu betul isi perut India, tapi bukan sebagai penulis. Dan kalau saja ia tetap jadi polisi di Birma, tak bakalan rasanya ia mampu jadi penulis baik. Kerja yang begitu keras, cuaca yang tidak ramah tamah, tak memungkinkannya menuangkan isi kepala ke atas kertas. Jangankan buat menulis, buat baca saja, kepalanya sudah pening dan matanya berkunang-kunang. Hawa Birma!

Meskipun ia belum jadi penulis sungguhan di Birma, tapi ada juga dibuatnya catatan-catatan yang belakangan menjelma menjadi sebuah novel berjudul BURMESE DAYS, berikut dua cerita pendek SHOOTING AN ELEPHANT dan A HANGING. Dengan biji mata seninya yang tajam, Orwell melukiskan dengan bagus sekali ihwal burung-burung, ihwal tetanaman, dan kecantikan langit Birma yang berwarna metalik.

Catatan-catatan itulah pemula dari dunianya selaku pengarang. Orang-orang yang mengenal dekat polisi Birma yang bernama George Orwell ini beri komentar bahwa kelihatannya sih Orwell biasa-biasa saja, tidak ada istimewanya. Seorang polisi yang baik, tak lebih tak kurang.

Begitu perang pecah, ia berusaha masuk jadi tentara. Tapi, paru-parunya keropos. Ia terserang Tbc, karuan saja tidak bisa diterima. Semangatnya hampir patah. Tapi dari pada bengong tidak berbuat sesuatu apa, ia melamar jadi anggota semacam Hansip, yang semata-mata bertugas melakukan dinas di dalam negeri. Tak berapa lama pangkatnya sudah mencapai sersan. Akibat tubungnya yang tinggi jangkung, dan tampang yang lumayan, gagah juga ia dalam pakaian seragam.

Bebarengan dengan itu, itu bertugas di BBC seksi India. Karena pembawaannya yang menyenangkan, Orwell disukai oleh rekan-rekan Indianya. Ialah sebenarnya yang jadi otak dan jiwa siaran radio saat itu, suaranya setiap saat menjadi perhatian para pendengar.

Di penghujung musim dingin, mulailah ia menulis buku BINATANGISME. Situasi perang saat itu tidak menguntungkan pihak jerman, yang peroleh pukulan demi pukulan di Eropa, khususny porak poranda di front Rusia. Keadaan ini tidak bisa tidak menyuguhkan pula rasa tenang buat Orwell.

Begitu naskah BINATANGISME rampung ditulis, ternyata keadaan tidaklah berjalan licin sebagaiman diharapkannya. Semua penerbit yang dihubungi Orwell tidak punya selera menerbitkan naskahnya. Akhirya, ada juga penerbit yang bersedia, dan menerbitkan BINATANGISME dalam kelompok “cerita dongeng”. Lambat laun barulah publik pembaca sadar, sebenarnya sudah lahir sebuah buku satire modern yang ditulis secara gemilang. Dan tahulah pembaca bahwa Orwell sebenarnya melancarkan ejekan halus namun tajam kepada bentuk kepemimpinan pemerintahan yang totaliter. Tak syak lagi, sidiran Orwell saat itu tertuju pada bentuk kekuasaan otoriter di Eropa.

Serenta peperangan berakhir, Orwell meninggalkan BBC dan bekerja di koran “Tribune”. Karena secara umum koran ini tergolong koran kaku, gaya Orwell yang penuh humor dan satire dengan sendirinya menyuguhkan kesedapan tersendiri.

Situasi kota London seperti tergambar di dalam bukunya TAHUN 1984 rasanya serupa dengan keadaan kota London di saat-saat perang dunia akan berakhir, penuh dengan tekanan, baik fisik maupun batin. Akan menjadi lebih lengkap bilamana buku Orwell TAHUN 1984 dikaitkan dengan buku BRAVE NEW WORD REVISITED karangan Aldous Huxley.

Selagi menyelesaikan buku TAHUN 1984, sebenarnya Orwell sudah dalam keadaan setengah hidup dan setengah mati. Keadaan fisiknya sudah amat berantakan. Sudah reot. Meskipun namanya sudah masyhur saat itu, ia senantiasa menghindar dari inceran publikasi. Ia menetap di sebuah pulau kecil di kepulauan Hebrides. Pemandangan cantik, suasana nyaman, mempercepat penyelesaian bukunya.

Begitu buku selesai, kesehatannya terus menerus memburuk. Segera ia kembali ke Inggris, langsung masuk sanatorium. Hasrat yang besar mencari kesembuhan, ia berangkat ke Swis, dan mati di sana di bulan Januari tahun 1950.

Secara keseluruhan, walau ujung hidupnya sakitan, George Orwell hidupnya bolehlah. Ambisi masa kecil ingin jadi penulis kesohor sudahlah terpenuhi. Ia menjadi penulis yang sanggup mempengaruhi jalan pikiran bangsa Inggris, lebih dari siapa pun dalam generasinya. Orwell bukan sekedar kepingin menyenangkan pembaca, melainkan mengajak mereka berpikir dan menggugah kesadaran mereka.

Tak berlebihan bila orang mengatakan George Orwell sudah sanggup mengungguli sekaligus baik Bernard Shaw maupun H. G. Wells selaku penulis satiris.

Orwell membenci propaganda. Ia membenci penipuan dan menjauhkan manusia dari kebenaran. Ia menentang keras upaya tipu-daya menyesatkan manusia dengan rupa-rupa akal dan intimidasi. Termasuk akal busuk memegang kekuasaan dan mempertahankannya dengan dusta demi dusta.

Kebenciannya pada propaganda kosong tampak jelas pada komentar Orwell tentang perang saudara di Spanyol: “Aku tahu persis banyaknya berita tentang pertempuran-pertempuran besar, padahal sebenarnya tidak ada pertempuran macam itu. Sebaliknya, aku tahu persis betapa banyaknya pembantaian dan pembunuhan, penangkapan dan pemerkosaan martabat manusia, tapi sedikit pun tidak pernah diberitakan”.

Ketika Orwell bekerja di radio BBC, ia berjuang keras melawan propaganda omong kosong, berusaha menyebarkan berita-berita yang mengandung kebenaran. Mengalaman ini membikin bencinya pada dusta makin menjadi-jadi.

Dan kebencian itu tergambar jelas dalam buku BINATANGISME, kendati cara menyajikannya begitu cantik. Sebuah satire yang menghindadi kata-kata tajam.

Pendek kata, George Orwell menginginkan agar manusia berakhlak baik, tahu diri dan jangan suka menipu. Dan jangan pongah. Dan sekaligus Orwell menginginkan agar tiap orang menajamkan dia punya daya rasa terhadap perilaku lingkungan. Cermat dan peka, sehingga dengan mudah melihat ihwal lancung yang dibungkus dengan serba muluk.

Buku BINATANGISME jelas sekali memaparkan kebrengsekan, tipu daya, kelicikan, keserakahan, munafik dalam makna yang paling sejati. Dengan mengambil misal dunia binatang.

H. Mahbub Djunaidi, Sang Pendekar Pena

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.