Masih ingat dengan perhelatan final Piala Dunia 2018 di Russia? Laga final yang mempertemukan tim nasional Perancis dan Kroasia tersebut disaksikan lebih dari 70 ribu pasang mata di Stadion Luzhniki, Moskow, Russia. Jumlah penonton yang sangat tidak sebanding untuk olahraga yang dimainkan oleh 22 pasang kaki.

Belum lagi jumlah penonton laga sepak bola yang menyaksikan pertandingan secara tidak langsung. Melalui siaran televisi ataupun via streaming media sosial, misalnya. Conviva, sebuah perusahaan analis video online menyebutkan antusias masyarakat dunia menyaksikan laga Piala Dunia 2018 via streaming telah memecahkan rekor baru.

“Setelah perempat final (Piala Dunia 2018), Conviva juga mencatat lebih dari 23.3 juta jam menonton,” ungkap CEO Conviva, Bill Demas (CNBC Indonesia, 14/07/18). Banyaknya jumlah penonton menjadi salah satu indikasi bahwa sepak bola telah menjadi olahraga yang paling digemari masyarakat dunia. 

Popularitas yang mendunia telah mengubah esensi dari olahraga yang menginduk pada Federation International Football Association (FIFA) ini. Sepak bola tidak sekadar mempertontonkan adu skill dan strategi para pemainnya. Di belakang semua itu terdapat bisnis perputaran uang, semangat nasionalisme, pesan perdamaian, isu kesetaraan gender, hingga keriuahan politik. Kesederhanaan pola permainan sepak bola, kini menjelma menjadi arena kumpul permasalahan manusia yang sangat kompleks.

Dalam hal isu kesetaraan gender, misalnya. Stereotip bahwa sepak bola hanya bisa dimainkan oleh kaum pria, sudah tidak berlaku lagi. Bermula di tahun 1921, ketika pertandingan sepak bola yang dimainkan para wanita pertama kali dihelat di Everton, Inggris. Antusias masyarakat Inggris waktu itu sangat mengejutkan. Jumlah penonton mencapai 53 ribu orang. Demam sepak bola wanita merebak di negara-negara Eropa lainnya.

Antusias masyarakat terhadap sepak bola wanita, ternyata tidak mendapatkan restu dari Football Association (FA), federasi sepak bola Inggris. FA menganggap, sepak bola wanita bisa menjadi ancaman atas eksistensi sepak bola pria. Secara resmi, FA melarang segala bentuk pertandingan sepak bola wanita di Negeri Ratu Elizabeth. Jerman dan Belanda mengikuti. Popularitas sepak bola wanita melayu.

Lima dekade berlalu, zaman pun telah berubah. Belenggu yang mengikat peraturan sepak bola wanita telah dibebaskan. Perlahan namun pasti, popularitas sepak bola wanita bersemi kembali. Sebagai asosiasi sepak bola tertinggi dunia, FIFA memberikan tempat tersendiri bagi pertandingan sepak bola wanita. Tahun 1991, untuk pertama kalinya FIFA menyelenggarakan FIFA Women’s World Cup (FWWC) di China.

FWWC menjadi ajang empat tahunan yang mempertemukan tim nasional sepak bola wanita dari seluruh dunia. Hingga tahun 2019, FIFA telah menyelenggarakan ajang ini sebanyak delapan kali. FWWC ke-8 berlangsung di Perancis pada 07 Juni – 07 Juli 2019.

Selebrasi Gol Alex Morgan

Helatan FWWC 2019 di Perancis telah sampai pada babak akhir. Pada 03 Juli lalu, tim nasional sepak bola wanita Amerika Serikat (AS) dan Inggris saling berhadapan untuk memperebutkan tiket final. Pertandingan sengit tersebut berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan tim nasional AS. Selain keseruan melihat para wanita saling berebut bola, lantas adakah hal menarik lain yang terjadi selama pertandingan semi final ini?

Jawaban atas pertanyaan tersebut layak dialamatkan kepada selebrasi gol yang dilakukan kapten kesebelasan AS, Alex Morgan di menit 31. Setelah mencetak gol melalui sundulan kepala, pemain bernomor punggung 13 tersebut berlari ke tepi lapangan. Berhenti. Kemudian menjimpitkan jari telunjuk dan ibu jarinya seperti memegang sebuah cangkir. Alex mengarahkan jimpitan jari menuju mulutnya. Bergaya seperti seseorang yang tengah menikmati secangkir teh.

Selebrasi gol ala Alex Morgan, lantas viral di media sosial. Banyak pihak mencoba menafsirkan maksud dari selebrasi tersebut. Sebagian orang menilai, selebrasi gol tersebut sangat istimewa. Sebab bertepatan dengan hari ulang tahun Alex pada 03 Juli.

Bahkan sebagian lainnya mengaitkan selebrasi gol Alex dengan peristiwa Boston Tea Party, mengingat selebrasi gol tersebut dilakukan satu hari menjelang hari kemerdekaan Amerika Serikat pada 04 Juli keesokan harinya. Lantas seperti apa benang merah yang mengaitkan selebrasi gol minum teh, peristiwa Boston Tea Party, dan kemerdekaan AS?

Boston Tea Party; Awal Revolusi AS

Peristiwa Boston Tea Party terjadi pada 16 Desember 1773. Waktu itu kolonialis AS yang sebagian besar adalah orang Inggris melakukan protes kepada Kerajaan Britania Raya (Inggris Raya). Mereka merasa tidak puas atas penetapan pajak teh. Melalui penetapan Tea Act (Undang-undang Teh) tahun 1773, Kerajaan Britania Raya ingin memonopoli perdagangan teh di AS. Protes diekspresikan dengan cara membuang 342 peti teh ke laut. Perseteruan antara koloni AS dengan Kerajaan Britania Raya semakin panas.

Padahal jika merunut pada sejarah, sebagian besar koloni AS juga berasal dari Tanah Britania. Sejarah Koloni orang Britania Raya di AS dimulai pada tahun 1607. Mereka membentuk Jamestown sebagai Koloni Pertama, disusul terbentuknya belasan koloni lain. Koloni Georgia menjadi Koloni terakhir yang didirikan pada tahun 1732.

Koloni Inggris di Amerika berjumlah 13 koloni hingga sering disebut “The Thirteen Colonies”. Koloni orang-orang Britania di Amerika semula didirikan untuk membawa kemakmuran bersama. Tujuan lain dari pembentukan koloni tersebut adalah pencarian atas hak kebebasan beragama atau sebab lain seperti keinginan memulai sesuatu yang baru.

Hubungan baik antara “Thirteen Colonies” dengan Britania Raya tidak berlangsung lama akibat dampak dari Perang Perancis melawan Suku Indian. Britania Raya kemudian membuat aturan pajak dan hukum baru yang menimbulkan gejolak perlawanan dari koloni. Perang antara 13 koloni dan Britania Raya, tak terhindarkan.

Bermula dari peristiwa Boston Tea Party pada 1773, konflik antara Koloni AS dengan Kerajaan Britania Raya berujung pada Perang Revolusi Amerika. Menyusul kemudian deklarasi kemerdekaan 13 Koloni menjadi negara merdeka bernama Amerika Serikat pada 4 Juli 1776.

Perang Revolusi Amerika menarik negara tetangga seperti Perancis, Spanyol dan Belanda turut bertempur bersama Amerika Serikat melawan Inggris. Sehingga kemelut kemerdekaan AS yang sekarang menjadi negara adidaya berlangsung dengan penuh perjuangan. Peristiwa Boston Tea Party menjadi penanda awal dimulainya revolusi bagi AS.

Pesan serupa seakan hendak disampaikan Alex Morgan dalam selebrasi golnya ketika melawan kesebelasan Inggris. Alex barangkali ingin mengingatkan Inggris dan publik bahwa Koloni AS pernah melakukan perlawanan kepada Kerajaan Inggris. Sebuah perlawanan atas penindasan dan ketidakadilan. Alex Morgan juga seakan ingin menyampaikan bahwa AS yang dahulu terdiri dari “orang buangan” Inggris telah dan akan terus menjadi pihak yang paling superior di dunia.

Barangkali kini AS telah menjelma menjadi “Bangsa” tersendiri sebagai evolusi dari bangsa-bangsa pendatang yang mendiami wilayah Amerika saat era kolonialisme dan Imperialisme. Bangsa-bangsa seperti Inggris, Perancis, Spanyol, serta yang lain datang mendirikan pemukiman-pemukiman baru dengan melakukan penindasan terhadap penduduk lokal “Indian”.

AS kini menjelma negara multikultural yang oleh sebagian orang dianggap sebagai simbolisasi “tanah yang dijanjikan”. Tak heran jika warga AS terdiri dari etnisitas yang sangat beragam. Sayangnya, rasisme dan diskriminasi masih eksis di negara yang dipuja sebagai role model negara demokrasi ini.

Setidaknya itu hipotesis saya yang baru belajar menulis. Oh iya, Selamat memperingati “Independence Day” Amerika Serikat! Mari kita do’akan Amerika Serikat bertaubat dari dosa-dosanya akibat menindas warga di belahan penjuru dunia.

Abdul Ghofar – Penulis Magang di takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.