Aku baru saja menonton film The True Cost yang diproduseri Andrew Morgan. Film dokumenter berdurasi 92 menit ini bercerita tentang bagaimana dunia fast fashion begitu ironi. Manusia dieksploitasi secara habis-habisan sebagai buruh dengan upah murah. Alam juga dieksploitasi sejak awal pembuatan benih kapas sekaligus yang menanggung beban paling berat ketika fast fashion ini mencapai batas akhirnya: pembuangan sampah. Ironi ini diperlihatkan melalui fakta-fakta yang terjadi baik di Barat maupun belahan Dunia Ketiga.
Di Bangladesh misalnya. Mereka memproduksi hampir 97% seluruh produk fashion untuk diekspor ke Amerika. Tetapi kondisi kerja mereka sangat memprihatinkan. Banyak ibu yang harus dipisahkan dari anaknya dengan hanya bertemu dua kali setahun demi upah kurang dari $3 sehari dengan kondisi kerja yang tidak layak tentunya. Hal ini tambah menyedihkan mengingat pernah terjadi bangunan pabrik tekstil runtuh dan menewaskan kurang lebih 1000 orang pekerja.
Di Kamboja kita diperlihatkan bagaimana para buruh yang memperjuangkan upah minimum $160 per bulan terpaksa berhadapan dengan aparat dan beberapa meninggal karenanya. Padahal mereka telah bekerja di bawah tekanan dan dengan kondisi yang sama tidak layaknya dengan di Bangladesh.
Di Haiti kita bisa melihat bagaimana sampah-sampah tekstil ini menggunung dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Bukan hanya itu, polusi dan racun yang dihasilkannya juga membuat mayoritas masyarakat di sekitarnya memiliki kelainan mental dan cacat fisik. Di India, dampak ekologi dari adanya pabrik tekstil menyebabkan sungai Gangga sebagai sungai yang dikeramatkan oleh masyarakat India sekaligus sumber air mereka menjadi tercemar dan mengganggu kesehatan masyarakat.
Ini merupakan sebagian fenomena di antara begitu banyak fakta memilukan yang terjadi dalam rangkaian pembuatan produk fashion. Di Negara Indonesia yang juga tergolong negara dunia ketiga barangkali juga mengalami hal serupa.
Membuat komoditas fashion dengan harga murah ditentukan oleh penekanan biaya produksi yang juga harus semakin kecil. Maka dipilihlah negara-negara berkembang yang mau diperkerjakan secara murah dan gampang. Sehingga harga yang harus dibayar untuk semua itu adalah keselamatan para pekerja, upah yang kecil, lingkungan yang rusak, dan masa depan anak-anak yang terabaikan.
Selain itu, demi menggenjot produksi yang dituntut semakin cepat, cikal bakal tekstil pun tak boleh lamban. Ya, bahkan penanaman serat kain/kapas untuk pakaian harus dipastikan juga secepat pembuatan bajunya. Maka yang dilakukan adalah rekayasa genetika, yang mana pada praktiknya membutuhkan bahan-bahan kimia yang jelas tidak ramah lingkungan.
Lalu apa akar dari permasalahan ini? Adalah sistem kapitalisme yang selalu berorientasi pada keuntungan tanpa memperhatikan dampak buruk yang diderita oleh manusia dan alam. Selama sistem ini masih bekerja kita tidak akan tahu sampai kapan penindasan itu akan berakhir.
Bahkan kita sendiri pun menjadi bagian dari cara kerja kapitalisme ketika kita menjadi fetis. Yaitu ketika kita tidak melihat relasi sosial antar manusia dan mereduksinya sebatas relasi material antar benda, uang dengan komoditas. Bahwa ada begitu banyak tangan yang bekerja untuk menghasilkan suatu produk yang disertai dengan berbagai penindasan di dalamnya. Film ini mengajak kita untuk menolak fetisisme semacam itu.
Saya sendiri menyadari bahwa pakaian, fashion, tekstil, apa pun itu sejak dulu membuat saya tidak habis pikir. Di rumah tentu kita memiliki beberapa potong pakaian yang masih kita pakai. Tapi bagaimana dengan yang sudah tak terpakai? Yang menjadi sampah? Film ini menunjukkan bahwa sampah pakaian dapat bertahan hingga 200 tahun lebih dan mencemari tanah dan udara. Bagaimana kita bisa tahan untuk terus membeli sementara kita tidak bisa memastikan keselamatan lingkungan kita akibat sampah pakaian yang kita hasilkan?
Maka di momen mendekati Hari Raya Idul Fitri ini marilah kita bermuhasabah diri. Barangkali masih ada pakaian tahun lalu yang baru dipakai sekali untuk dipakai lagi di Hari Raya tahun ini, alih-alih membeli yang baru. Simpan uang kita untuk bersedekah dan mengutamakan kebutuhan lain yang lebih penting. Karena sejatinya Hari Raya Idul Fitri adalah momen menyucikan hati, bukan memamerkan diri dengan pakaian yang serba trendi.
Umi Ma’rufah, Pegiat di Minerva Foundation