Ada perbedaan dalam karya-karya Plato tentang ajaran mengenai negara, agaknya terjadi perubahan pemikiran dalam dirinya.

Dalam karyanya yang berjudul Politeia, yang ditulis lebih dulu dari karyanya yang lain tentang negara, ia berpendapat, bahwa negara yang ideal terdiri dari tiga golongan (selain budak-budak).

Golongan pertama merupakan penjaga-penjaga yang sebenarnya, yang cocok ditempati oleh filsuf-filsuf. Kepemimpinan negara dipercayakan kepada mereka.

Golongan kedua adalah pembantu-pembantu atau prajurit-prajurit. Mereka ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi supaya warga negara tunduk kepada filsuf-filsuf.

Dan terakhir golongan ketiga yang terdiri dari petani-petani dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh polis.

Para pembantu dan penjaga memainkan peranaan penting dalam negara yang ideal. Bagi Plato, yang demikian itu berbahaya, kalau mereka tergoda menyalah gunakan setatus mereka. Maka untuk mengintasipasi hal itu, Plato berpendapat bahwa mereka tidak boleh mempunyai “hak milik pribadi” dan “keluarga’’. Mereka harus hidup bersama dalam sebuah tangsi dan anggaran belanja tahunan untuk mereka tidak boleh melebihi kebutuhan. Mereka akan melaksanakan “perkawinan sementara” dan pasangan yang dipilih harus yang punya harapan memberikan keturunan yang lebih baik. Ketika anak-anak mereka sudah lahir akan diasuh di asrama, sehingga orang tua tidak tau siapa anaknya. Cara yang demikian ini, akan membuat mereka memperhatikan seluruh polis, bukan anak-anak mereka saja.

Dikaryanya yang lain, ditulis setelah Politeia, yakni Politikos, Plato berbicara tentang undang-undang. Ia mengatakan, tentang negara yang baik, seyognyanya undang-undang dibuat sejauh perlu menurut keadaan yang konkret. Kata Plato, ibarat seorang dokter selalu mengganti obat menurut keadaan pasiennya.

Keadaan manusia dan perbuatan-perbuatannya senantiasa berubah, sehingga sukar diselenggarakan dengan peraturan-peraturan yang sama.

Membuat undang-undang yang cocok dengan tiap-tiap situasi menuntut pengetahuan dan kecakapan adi-manusiawi.

Menurutnya adanya undang-undang umum harus di anggap sebagai “the second best”. Karena alasan-alasan praktis, undang-undang harus dipandang sebagai intansi tertinggi dalam negara.

Dalam karyanya ini, Plato meninggalkan cita-citannya dalam Politeia mengenai filsuf sebagai pemimpin negara, karena di anggap kurang praktis.

Plato juga berpendapat, di negara yang mempunyai undang-undang dasar, sistem yang paling baik baginya adalah monarki, yang kurang baik adalah aristokrasi dan yang paling buruk adalah demokrasi. Tapi kalau dalam negara itu tidak ada undang-undang, maka harus di katakan sebaliknya.

Setelah dua karyanya yang membahas tentang negara, Plato menulis lagi satu karya tentang negara, yang diberi nama Nomoi.

Jika dibandingkan dengan karyanya yang pertama (tentang negara), maka Nomoi tidak melukiskan negara yang ideal, melainkan memberikan undang-undang dasar yang dapat diterima oleh polis yunani sekitar pertengahan abad ke-4.

Plato juga tidak melarang milik pribadi sebaginya dalam politeia. Tiap-tiap warga negara juga diizinkan memiliki keluarga. Ia menekankan bahwa susunan negara harus memperhatikan keadaan setempat, ekonomis dan geografis.

Di karyanya yang terakhir (tentang negara), Plato mengusulkan bentuk negara yang mungkin semacam campuran demokrasi dan monarki. Ia melihat, dalam negara monarki terlalu banyak kelaliman, dan begitu juga terlalu banyak kebebasan dalam demokrasi, yang keduanya merupakan dua ekstrem yang sama buruknya.

Plato, dalam Nomoi, mengusulkan suatu sistem pemerintahan di mana semua petugas dipilih oleh rakyat, tetapi ditambah syarat-syarat supaya hanya mereka yang cakap yang akan dipilih.

Zaim Ahya, pemilik takselesai.com

*Dikutip dari catatan tugas kuliah beberapa tahun silam, yang dirangkum dari buku Sejarah Filsafat Yunani karya K. Bertens

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.