“Bagaimanapun yang menghantui kita bukanlah hilangnya makna, sebaliknya, kita dibanjiri makna dan ia sedang membunuh kita semua” [Jean Baudiard, dalam Ektasi Komunikasi]

Pernyataan dari filsuf yang mempopulerkan istilah hipperrealitas ini sangat cocok untuk menggambarkan realitas Indonesia sekarang. Masyarakat Indonesia sedang memasuki fase baru, yang disebut era informasi. Sekarang, informasi tidak lagi dicari manusia, tapi sebaliknya: informasi mencari manusia. Setiap nano detik, informasi mendatangi manusia silih berganti. Bercampur baur beragam informasi di lautan baru, lautan maya. Informasi penting dan banal, informasi benar dan bohong, semuanya bercampur aduk jadi satu di lautan maya. Singkat kata, kita sedang kebanjiran informasi.

Banjir air sering berakibat buruk bagi kehidupan manusia. Bahkan tak jarang musibah yang benama banjir itu menelan korban. Lalu bagaimana dengan banjir informasi? Apakah sebagai mana banjir air yang sering kali memporak-porandakan tempat tinggal dan menelan korban jiwa? Atau justru sebaliknya. Alih-alih sebagai bencana, banjir informasi justru meningkatkan kualitas hidup manusia?

Jika ingin menjawab beberapa pertanyaan di atas, alangkah baiknya kita melihat realitas maya, atau yang lebih spesifik lagi, realitas di media sosial. Facebook dan Twitter adalah media sosial yang memiliki pengaksses sangat banyak di Indonesia. Dua media sosial tersebut menjadi tempat berseliweran informasi. Portal-portal online, baik yang resmi maupun abal-abal masuk kedalam dua media sosial itu. Portal-portal tersebut berlomba-lomba memproduksi dan menyebarkan informasi.

Informasi yang diproduksi oleh portal-portal tersebut tidak mesti memiliki sandaran pada realitas yang nyata. Begitu pula informasi-informasi hasil produksi portal-portal tersebut—walaupun bersandar pada realitas—namun tak mesti bermanfaat dan meningkatkan kualitas hidup penerima informasi. Tak sedikit informasi-informasi semacam itu menguras perhatian masyarakat, memicu perdebatan, bahkan konflik.

Fenomena ini terjadi karena media sosial seperti Facebook dan Twitter memungkinkan pengguna tidak hanya mengetahui, tapi juga terlibat. Namun keterlibatan ini sering kali tidak berdampak positif. Banyak pengguna media sosial justru menjadikan media sosial sebagai medan peperangan. Tak sedikit yang awalnya berteman baik, gara-gara memperdebatkan informasi dari portal-portal pemproduksi informasi, menjadi bermusuhan, bahkan sampai di dunia nyata. Tentu hal ini sengat ironi, apalagi jika ternyata informasi yang memicu konflik tersebut adalah informasi hoax, bahkan fake news.

Di era informasi seperti sekarang ini menjadi orang baik saja tidak cukup. Berapa banyak orang baik, dengan ketulusan hatinya, menyebarkan berita yang tidak memiliki sandaran realitas dan belum teruji kemanfaatannya. Maka, selain menjadi orang baik, juga harus cerdas. Baik dan cerdas di era informasi ini bisa diartikan dengan prilaku selektif-verifikatif terhadap informasi.

Dengan selektif dan verifikatif terhadap informasi, kita tidak akan tenggelam dan mati walaupun berada di tengah lautan informasi. Bahkan kita akan survive,dan mampu menemukan mutiara terpendam di dalamnya.[Zaim Ahya]

Tulisan pernah dimuat di Majalah Idea Semarang, Edisi 39, 2017

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.