Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya, Muqaddimah (Penerjemah Ahmad Thoha, Pustaka Firdaus), menceritakan, bahwa para sejarawan muslim telah menuliskan peristiwa-peristiwa sejarah secara luas dan mendalam dalam pelbagai buku. Mereka menyimpannya dengan baik. Lalu orang-orang yang tidak berkompeten dalam bidang ini memasukkan gosip dan cerita-cerita palsu ke dalam buku-buku sejarah, sebagai penyegar. Tindakan tak patut ini diikuti oleh generasi selanjutnya. Informasi yang telah dibumbui gosip dan cerita palsu tersebut disebarkan. Mereka Hanya sedikit melakukan koreksi dan revisi. Secara umum, kritik mereka tidak tajam.

Cerita Ibnu Khaldun di atas menggambarkan bagaimana saat itu terjadi campur baur antara informasi sejarah yang valid dan gosip maupun cerita-cerita palsu, yang ditambah dengan keengganan melakukan kritik dan pembetulan secara ketat. Keadaan tersebut, menurut Ibnu Khaldun, sampai menyebabkan sebuah kekeliruan dan asumsi tak berdasar menjadi sesuatu yang akrab dalam berita-berita sejarah.

Fenomena yang terjadi di zaman Ibnu Khaldun tersebut tampaknya juga sedang berlangsung di era kita: era masyarakat informasi. Bahkan menyebarnya informasi yang terindikasi hoax dan fake news di masa sekarang tidak hanya merembes ke dalam buku-buku sejarah. Hampir semua lerung kehidupan era ini disusupi oleh informasi hoax dan fakenews. Mulai dari ranah agama, budaya, politik, sains dan ranah-ranah yang lain, tidak luput dari penyusupan informasi-informasi semacam itu.

Umumnya masyarakat kita juga bersikap tidak kritis dan malas untuk mencari tahu kebenarannya, atau melakukan verifikasi, bahkan mungkin lebih parah. Kalau kita lihat budaya share informasi di media sosial saat ini, akan tampak sedikit sekali dari masyarakat kita yang memiliki kesadaran verifikasi informasi secara masif. Banyak dari masyarakat kita yang meneruskan informasi yang diterima secara langsung kepada orang lain, tanpa melakukan cross-check.

Selain itu, tampaknya kegemaran mencampuri disiplin ilmu atau masalah yang sebenarnya tidak dikuasai semakin meluas. Betapa banyak pengguna media sosial, yang tiba-tiba berubah menjadi ahli politik, ekonomi, budaya, bahkan agama.

Mereka menyebarkan informasi, mengemukakan pendapat, dan berkomentar hampir di semua bidang keilmuan dan masalah. Fenomena bermunculannya ustaz-ustaz di TV, yang riwayat belajar agamanya tidak diketahui secara jelas, namun digemari oleh banyak orang, melebihi para kiai yang sudah jelas kredibilitas keilmuannya, juga termasuk contohnya. Dan parahnya karena kegandrungan sebagian masyarakat kepada ustaz-ustaz tiban tersebut, apapun yang dikatakan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran.

Melacak Faktor Ketidak-kritisan

Meluasnya penyebaran gosip, cerita palsu, informasi hoax, dan fake news, akan terus berlangsung, selama masyarakat tidak kritis. Ketidak-kritisan tentu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Menurut Ibnu Khaldun, setidaknya ada tujuh faktor yang menyebabkan tumpulnya daya kritis manusia terhadap informasi. Bagi Ibnu Khaldun, informasi—dalam Muqaddimah yang dimaksudkan adalah informasi sejarah—menurut wataknya bisa dirembesi kebohongan.

Semangat terlibat (tasyayyu’) kepada pendapat-pendapat dan mazhab-mazhab, adalah salah satu faktor yeng melatarbelakangi merembesnya kebohongan dalam informasi. Semangat terlibat mejadikan pikiran manusia tidak netral, sehingga tidak mampu menyelidiki dan menimbang-nimbang informasi yang diterima. Hal ini menyebabkan seseorang tidak mampu menjelaskan kebenaran yang ada di dalamnya. Pikiran yang dirasuki semangat terlibat terhadap suatu pandangan, pendapat ataupun kepercayaan tertentu, meniscayakan pikiran akan mendukung dan menerima setiap informasi yang sesuai dengan pendapat atau keyakinan penerima. Ibnu Khaldun menegaskan, bahwa semangat terlibat mendorong orang menjadi tidak kritis, menutup pikiran dan mencegah seseorang melakukan analisis dan membuat pertimbangan. Bahkan semangat terlibat membuat seseorang condong kepada kebohongan.

Semangat terlibat tampaknya juga terjadi di masa sekarang. Contoh yang masih hangat adalah Aksi Bela Islam 411 (04/11/2016) dan 212 (02/12/2016). Terlepas tepat dan tidaknya kedua aksi tersebut, namun tampak jelas, baik pihak yang pro maupun pihak yang kontra terhinggapi semangat terlibat. Sebagian dari mereka yang pro terlihat hanya menerima dan menyebarkan informasi yang menguatkan keyakinan akan kebenaran aksi tersebut. Mereka menolak bahkan mencibir informasi yang bertentangan dengan keyakinannya, tanpa membuka diri terlebih dahulu. Begitu pun sebagian pihak yang kontra terhadap Aksi Bela Islam tersebut, juga melakukan hal yang relatif sama. Hal ini semakin jelas, jika melihat media-media daring yang bermunculan akhir-akhir ini, sering kali sesuatu yang mereka beritakan atau informasikan tampak searah.

Contoh lain adalah terkait jumlah orang-orang yang mengikuti Aksi Bela Islam dan Parade Kebangsaan. Terkait jumlah orang yang mengikuti Aksi Bela Islam maupun Parade Kebangsaan, muncul beberapa pendapat tanpa menyertakan data. Padahal pada era sekarang, teknologi sudah begitu maju, dan hanya sekedar memperkirakan jumlah dengan landasan yang jelas tidaklah sulit. Para pembaca informasi tersebut juga kelihatannya banyak yang tidak skeptis. Hanya menerima dan kemudian men-share ke orang lain.

Perkiraan jumlah yang tidak memakai dasar rasionalitas dan fakta lapangan yang kuat juga pernah dilontarkan oleh sejarawan masa lalu. Diceritakan bahwa dulu kala Nabi Musa telah menghitung jumlah tentara Bani Israil di Padang Pasir Tih. Menurut cerita yang berkembang, waktu itu tentara Bani Israil mencapai jumlah enam ratus ribu orang, bahkan lebih. Menurut Ibnu Khaldun, jumlah tersebut tidaklah mungkin, jika melihat luas Mesir dan Syria yang tak cukup memuat tentara dalam jumlah tersebut. Dan juga—pada saat itu—jika benar jumlah tentara sebanyak itu tidak mungkin terjadi penyerbuan atau peperangan karena medan terlalu sempit untuk memuat orang sebanyak itu.

Terkait hal di atas Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa kadang para penulis pada masa itu memberikan kesempatan seluas mungkin pada khayal mereka dan mengikuti bisikan untuk melebih-lebihkan, apalagi berbicara tentang tentara-tentara negeri sendiri, atau jumlah tentara Kristen dan Islam. Kekeliruan ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh pikiran manusia yang gemar kepada hal aneh dan luar biasa.

Selain kecenderungan terlibat, terlalu percaya pada pelapor juga mengakibatkan orang tidak kritis. Menurut Ibnu Khaldun,

walaupun informan adalah orang yang terkenal bukan pembohong, namun terlalu percaya padanya itu juga kurang baik. Terlalu percaya menjadikan orang tidak kritis-verifikatif.

Walaupun pelapor adalah orang yang terkenal dapat dipercaya, namun siapa yang menjamin dia tidak akan melakukan kesalahan dalam informasinya. Mungkin bisa jadi ia tidak berniat menyebarkan berita hoax dan atau fake news, namun siapa yang menjamin ia tidak melakukan kekeliruan dalam pemberitaan sebuah informasi.

Di zaman kita banyak orang baik dan tulus, justru menyebarkan informasi yang kadang tidak sesuai realitas, dikarenakan kebaikannya. Misalnya informasi tentang cerita orang baik yang saat kematiannya terjadi sebuah keajaiban, dan pada akhir cerita itu ada kalimat: “jika ingin khusnul khotimah, sebarkan!” Informasi semacam ini banyak disebarkan oleh orang-orang baik, karena kebaikan dan ketulusan mereka. Mereka ingin saudara-saudaranya mati dalam keadaan khusnul khotimah. Mereka merasa informasi tersebut penting bagi saudara-saudaranya, sehingga lupa melakukan verifikasi. Dan ketika informasi semacam itu disebarkan oleh orang-orang baik tadi, maka yang menerima—karena menganggap orang tersebut baik—turut menyebarkan ke yang lain, tanpa merasa perlu melakukan verifikasi. Ia sudah terlanjur percaya pada pelapor atau informan.

Faktor lain yang menyebabkan ketidak-kritisan adalah tidak sanggup atau tidak mengerti maksud yang sebenarnya dari informasi atau peristiwa yang terjadi. Problem ini membuat orang bisa saja keliru dalam menyampaikan sebuah informasi. Poin ini menguatkan tentang sisi negatif terlalu percaya pada pelapor. Mungkin ia jujur, dan melaporkan apa yang ia tahu, lihat dan dengar. Namun karena ketidakcakapannya, bisa jadi ia gagal paham.

Faktor lainnya adalah asumsi yang tidak beralasan pada kebenaran suatu hal. Menurut Ibnu Khaldun, hal Ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan buta pada penukil/pelapor.

Jika sejak awal seseorang telah berasumsi tentang sebuah kebenaran tanpa ada alasan yang kuat, maka akibatnya informasi-informasi lain yang ia cari hanya sebagai legitimasi keyakinannya tersebut. Ia tertutupi dari mencari kebenaran informasi.

Ia hanya mencari penguat saja. Problem ini tampaknya semakin sering terjadi di era informasi. Contoh yang paling jelas adalah portal-portal online yang beritanya hanya satu arah. Mereka hanya menyudutkan pihak tertentu dan menguatkan pihak tertentu.

Selain empat faktor di atas, tidak mengetahui kondisi-kondisi yang sesuai dengan realitas, disebabkan kondisi-kondisi itu dirasuki oleh ambisi dan distorti artifisial, juga termasuk yang melatarbelakangi keridak-kritisan dalam menyikapi informasi. Informan hanya menukil apa yang dilihatnya, dan kadang ia pun tak mampu menjelaskan kondisi-kondisi tersebut. Informan yang semacam ini tentu berbahaya, jika informasi yang ia laporkan dikonsumsi oleh masyarakat. Karena banyak sekali sebuah peristiwa yang sebenarnya tidak sesuai dengan penampakan luarnya.

Kecenderungan mengambil hati orang lain, juga menjadi salah satu faktor ketidak-kritisan. Seseorang yang memiliki kecenderungan mengambil hati orang lain, hanya akan memuji dan memberikan tafsiran yang sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang ingin diambil hatinya (misalnya pejabat atau tokoh). Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa manusia pada umumnya senang dipuji, dan juga juga senang mencari kesenangan dunia dan mengusahakan dengan segala jalan untuk meraihnya. Mengambil hati orang lain dan mencari kesenangan dunia yang bisa menyebabkan kekeliruan informasi. Pada zaman sekarang, poin ini bisa dikontekstualisasikan dengan banyaknya portal online yang memproduksi informasi-informasi bombastis, bahkan hoax. Menurut beberapa data, mereka berorientasi mendapatkan banyak keuntungan.

Dikabarkan belum lama ini, bahwa penyebar berita hoax, mampu menghasilkan 600-700 juta per tahun (cnnindonesia.com, 02/12/2016). Jika media atau portal online orientasi utamanya adalah meraup uang sebanyak-banyaknya, maka kemungkinan produksi informasinya dekat dengan kekeliruan dan kebohongan akan semakin kuat. Karena yang menjadi prioritas adalah penghasilan, bukan menyajikan informasi yang benar.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada satu faktor lagi penyebab ketidak-kritisan, yaitu tidak mengetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban. Bagi Ibnu Khaldun pengetahuan tentang ini sangat penting, karena akan dipergunakan untuk analisis-kritis. Informan yang tidak mengetahui watak peradaban, akan begitu saja menerima apa yang ia lihat dan dengar. Ia tidak memiliki ukuran dalam melakukan verifikasi terhadap informasi, dan kemungkinan besar melihat peristiwa secara lahirnya saja.

Sikap Ibnu Khaldun Terhadap Informasi

Berbicara tentang informasi tentu tidak akan lepas dari konten informasi dan pelapor informasi. Untuk mengetahui validitas informasi, dua hal ini harus diuji.

Bagi Ibnu Khaldun, verifikasi dan kritik terhadap konten informasi lebih didahulukan dari pada pelapor informasi/informan. Dalam merespon informasi, Ibnu Khaldun lebih mendahulukan meneliti konten informasi, daripada melakukan verifikasi terhadap informan. Kritik terhadap informan dilakukan setelah diketahui bahwa peristiwa yang diinformasikan itu mungkin terjadi.

Jika secara rasional kejadiannya tidak mungkin terjadi, menurut Ibnu Khaldun, tak perlu melakukan kritik atau verifikasi terhadap identitas dan riwayat hidup informan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa para sarjana penyelidik (ahli al-nadr) waktu itu, menolak informasi yang secara literal tidak masuk akal. Atau interpretasinya tidak dapat diterima akal, alias tidak rasional.

Prinsip mendahulukan verifikasi konten dari pada informan dan menolak informasi jika secara rasional tidak bisa diterima, tidaklah berlaku dalam konten informasi yang berhubungan dengan syariat. Tentang pengecualian ini, Ibnu Khaldun berargumen, karena syariat itu memiliki kekuatan mengikat dan juga dibuat oleh Allah. Oleh karena itu cara mengukur keasliannya tetap juga dengan menyelidiki informan, tidak cukup hanya meneliti konten informasi.
Kembali ke pembahasan awal, terkait verifikasi konten informasi lebih didahulukan dari pada informan. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara melakukan verifikasi terhadap konten informasi? Ukuran apa yang dipakai Ibnu Khaldun?

Bagi Ibnu Khaldun, kebenaran informasi harus diuji dengan mempertimbangkan kesesuaiannya, maupun ketidaksesuaiannya dengan kondisi-kondisi umum. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mendahulukan meneliti kemungkinan dan ketidakmungkinan informasi tersebut. Baginya, sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa mendahulukan meneliti konten informasi itu lebih penting daripada mendahulukan meneliti para informan. “Nilai informasi tentang suatu peristiwa terletak pada kesesuaian laporan historis dan kondisi umum” begitulah kata Ibnu Khaldun.

Seorang sejarawan atau informan harus mampu membedakan mana gejala yang menurut kodratnya sendiri, dan mana gejala yang timbul kebetulan, dan lagi tidak penting, dan akhirnya menurut kodratnya tidak mungkin terjadi. Begitulah Ibnu Khaldun menjelaskan. Singkat kata, metode verifikasi Ibnu Khaldun bertumpu pada logis dan argumentatif.

Menjadi Informan Ideal

Everyone can be Journalist. Ya, sekarang setiap orang tidak hanya mengkonsumsi informasi, namun mampu memproduksi dan menyebarkan informasi. Singkatnya, setiap orang pada zaman informasi ini adalah (berpotensi) informan. Hal ini terbukti dengan seringnya seseorang membagikan informasi di media sosial—terlepas apakah mereka sengaja menyebarkan atau tidak.

Menyebarkan informasi di media sosial tampaknya merupakan sesuatu yang sepele. Padahal itu merupakan hal yang bisa berdampak buruk, jika informasi yang disebarkan adalah informasi tidak penting, hoax atau fake news. Memproduksi dan menyebarkan informasi, tak lain adalah menulis sejarah masa ini. Kalau informasi yang mendominasi adalah informasi hoax atau fake news, maka tidaklah mustahil sejarah hari ini yang kelak dibaca oleh generasi selanjutnya adalah sejarah yang penuh dengan kebohongan.

Karena kita semua sekarang berpotensi menjadi informan, mari kita belajar bagaimana menjadi informan yang ideal dari Ibnu Khaldun. Apalagi jika kita seorang wartawan.

Ibnu Khaldun mengatakan—walaupun yang dimaksud adalah informasi sejarah, tapi setidaknya bisa kita buat sebagai renungan hidup di era informasi: “Informan yang turun ke lapangan (sejarah) membutuhkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip politik, watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa, tempat-tempat dan periode-periode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan, nilai-nilai/akhlak, kebiasaan, sekte-sekte, mazhab-mazhab, dan segala ihwalnya. Selanjutnya, dia juga harus mengetahui pengetahuan bandingan tentang situasi-situasi dan kondisi mendatang dalam semua aspek ini. Dia harus membandingkan kesamaan dan perbedaan, atau membedakan keadaan masa kini dan masa lampau. Dia harus mengetahui sebab timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi, dan sebab timbulnya perbedaan dalam situasi. Dia harus mengetahui perbedaan sumber dan awal timbulnya negara-negara, kelompok agama, sebagaimana ia harus mengetahui perbedaan sumber dan permulaan timbulnya alasan dan dorongan yang membuat semua itu terbentuk. Ia juga harus mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukungnya. Sasarannya tidak lain untuk melengkapi pengetahuan tentang sebab terjadinya masing-masing peristiwa, dan untuk mengenal asal masing-masing peristiwa. Ia juga harus mengecek berita yang dinukilkan dengan prinsip-prinsip dasar yang telah ia ketahui.”

Kiranya begitulah sikap kritis Ibnu Khaldun terhadap informasi. Namun, Ibnu Khaldun adalah anak zaman, bisa jadi apa yang beliau rumuskan di masa lalu sudah tidak relevan lagi di masa sekarang, sebagaimana yang beliau katakan: “Pengetahuan masa lalu kadang tidak bisa disamakan dengan yang sekarang”. Pertanyaannya, apakah rumusan Ibnu Khaldun ini relevan pada masa sekarang? Pembacalah yang menilai. Sekian.

Zaim Ahya, penulis lepas dan founder takselesai.com

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Idea Edisi 39, Januari 2017

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.