Menjadi pahlawan. Itulah impian hampir setiap anak kecil. Mayoritas dari mereka bercita –cita menjadi super hero. Menjadi penyelamat dunia dari kejahatan dan kerusakan. Impian menjadi pahlawan tak mucul dengan sendirinya,sebagaimana kata Freud: mimpi adalah buah dari pengetahuan yang mengendap ke alam bawah sadar, dan mengendalikan tingkah laku secara tidak sadar

Impian menjadi pahlawan adalah suatu kewajaran bagi anak kecil. Waktu kecil, orang tua menceritakan cerita-cerita kepahlawanan: kisah para nabi-nabi, para pejuang dan kisah-kisah heroik yang lainnya. Apalagi setelah ada tv, cerita kepahlawanan yang tadinya hanya didengar dan dibaca lewat buku-buku, bisa tervisualisasi lewat gambar yang terkesan hidup. Dus, semakin kuat merasuki alam bawah sadar.

Pada tahun 90-an, ada beberapa film legendaris, yang sekarang masih diingat dan selalu dirindukan oleh anak-anak yang hidup saat itu. Misalnya, film Kembalinya Pendekar Rajawali. Siapa yang tak kenal Yoko, nama dari tokoh fiktif yang menjadi simbol kepahlawanan, yang berteman dengan burung rajawali. Ada juga film Satria Baja Hitam RX. Waktu itu, semua anak kecil bermimpi bisa berubah menjadi kesatria baja hitam RX yang memiliki belalang tempur dan pedang matahari.

Hampir semua film saat itu mengajarkan tetang kepahlawanan, berkorban demi kebahagiaan semua orang, sampai akhirnya lahir film Ultramen Tiga. Walau mengusung tema kepahlawanan, tapi film ini menggambarkan seorang yang terpilih menjadi pahlawan tapi ragu dengan kehidupannya sebagai pahlawan. Setelah pertarungan terakhir, dia menanggalkan kekuatan kepahlawanan, dan hidup laiknya orang biasa. Pensiun jadi pahlawan.

Berbeda dengan anak kecil. Menjadi pahlawan bagi orang dewasa tidaklah begitu diminati. Ternyata menjadi pahlawan tak seindah seperti yang dibayangkan sewaktu kecil. Menjadi pahlawan mewajibkan pengorbanan. Bahkan kadang pengorbanan menuntut si pahlawan menjadi manusia tidak normal.

Menjadi pahlawan adalah pilihan besar. Berat. Bagaimana beratnya Drupadi (istri Pandawa), saat tahu—sebab perang Mahabarata—semua anaknya akan mati. Awalnya, dia menolak perintah Krisna. Dia tak ingin anaknya mati. Krisna mengatakan:

“Jika kau tak melakukan perang ini, hidupmu sama halnya dengan manusia-manusia yang lain. Hanya sekedar lahir-mati, tak ada perubahan yang dilakukan demi kehidupan”

Menjadi pahlawan tak selalu membahagiakan. Karena itu Daigo, sang ultramen tiga memilih menjadi manusia biasa. Hidup tenang dengan anak istrinya. Dia merasa juga berhak menikmati hidup dengan tenang, mengasingkan diri dari problem masayarakat. Tak terikat dengan perjuangan yang berat sebagai ultramen.

“Wahai anak kecil, masihkah kalian bermimpi menjadi pahlawan?” Kata orang tua yang tiba-tiba hadir mengaburkan lamunan

Semarang, Maret 2015

Zaim Ahya, Founder takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.