Bagaimana sikap anda ketika orang terdekat anda menjadi penggemar drama korea atau K-Pop (lagu-lagu dari band atau penyanyi Korea Selatan)? Apakah anda akan membiarkannya karena banyak orang melakukan hal serupa? Atau justru anda tertarik mencari tahu lebih lanjut, dampak apa saja yang mungkin bisa ia timbulkan?

Tulisan ini jauh dari sekedar usaha menghakimi pengagum budaya negeri gingseng sebagai hal buruk atau baik. Tulisan ini ingin menangkap hal tersebut sebagai fenomena globalisasi dalam bingkai hubungan internasional.

Beberapa literasi menamai Korean wave sebagai tanda kegandrungan sebagian pemuda Tiongkok pada produk budaya Korea Selatan yang mereka dapat dari tayangan televisi. Begitupun Jepang, Korean wave merebak melalui drama berjudul Winter Sonata yang ditayangkan di NHK (Televisi Nasional Jepang). Bahkan muncul istilah Yon-sama Syndrome untuk menamai fenomena tersebut.

Penetrasi Korean wave bukan hal kaleng-kaleng. Bukan semata-mata Drama Korea yang mereka jual gampang mengaduk-aduk perasaan penontonnya, terutama penggemar dari Indonesia. Pemerintah Korea melihat fenomena tersebut sebagai potensi alat diplomasi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi nasional paska krisis Asia 1998. Pada tahun 2007, uang sejumlah 40 miliyar won digelontorkan untuk mendukung industri musik (K-Pop). Tidak cukup di situ, pemerintah juga menganggarkan dana sebesar 2 Triliun Won demi menembus Hollywood. Pada tahun 2014, anggaran yang digelontorkan mencapai $ 1 miliyar.

Ekspor produk televisi Korea Selatan pada tahun 2000 tercatat hanya sebesar $ 13 juta dan meningkat pada tahun 2007 dengan angka $162 juta. Selain pemerintah, perusahaan besar seperti Samsung dan LG turut ambil andil dalam persebaran Korean wave. Dua perusahaan tersebut sering menggunakan kepopuleran aktor/aktris atau penyanyi sebagai model iklan. Mereka mendapat promosi produk sekaligus semakin menancapkan kepopuleran artis Korea Selatan. LG bahkan membantu televisi lokal di Vietnam menyiarkan Drama Korea secara gratis, termasuk jasa alih suaranya.

Usaha pemerintah dan perusahaan raksasa tersebut bukan tanpa hasil. Sektor pariwisata meningkat. Lokasi pengambilan adegan drama atau lagu sering menjadi obyek wisata baru. Tidak terlewat, daerah Gangnam (arti harfiahnya bagian selatan sungai) yang merupakan bagian wilayah Kota Seoul, mengalami peningkatan pariswisata secara drastis paska PSY sukses memviralkan lagu Gangnam Style. Melalui Korean wave, ada tiga sektor utama yang diuntungkan. Pariwisata, Ekspor produk budaya (hak siar drama, copy lagu terjual), dan produk elektronik dari perusahaan raksasa Korea Selatan.

Seperti janji di awal, tulisan ini membahas keterkaitan Korean wave dengan hubungan internasional. Saya menguraikannya sebagai berikut. Joseph Nye, pada awal 2004 mempromosikan beberapa artikel yang memperkenalkan konsep soft power dalam dimensi ilmu hubungan internasional, terutama masalah diplomasi. Konsep tersebut ia maksudkan untuk menggambarkan suatu usaha negara yang mendapatkan hal yang diinginkan dengan cara menciptakan daya tarik pada negara lain. Tanpa menggunakan kekuatan militer, pembayaran atau iming-iming. Menurutnya, daya tarik (soft power) tersebut terdiri dari tiga unsur utama. Keluhuran budaya, Nilai-nilai dalam politiknya, serta kebijakan luar negeri.

Sebenarnya bukan hanya Korea Selatan yang menyadari strategi ini. Tiongkok juga melakukan hal yang sama. Mereka semakin getol dengan mengucurkan banyak dana demi promosi soft power. Sejak 2004, Kementerian Luar Negeri Tiongkok sadar akan pentingnya diplomasi publik. Hal ini ditengarai karena sebagai usaha membentuk citra diri terhadap dunia barat (Garry, 2012). Zhao Qizheng bahkan menyatakan bahwa untuk mebentuk citra yang mereka inginkan di hadapan dunia global, Tiongkok tidak seharusnya hanya mendengar, melainkan juga harus berkomunikasi balik (dua arah) dengan rakyat (publik). Kesadaran Tiongkok akan citra soft power ini tidak tanggung-tanggung, mereka mengucurkan dana khusus untuk segala aktifitas diplomasi soft power sebesar $9 bilion per tahun.

Bagi saya, hal ini tidak mengherankan jika Tiongkok dan Korea Selatan masuk sebagai anggota G-20. Budaya Korea semakin menempel pada perilaku masyarakat di negara yang dituju. Korean wave tentu tidak bisa dihindari seiring semakin besarnya gelombang ini. Makan makanan Korea, fashion dan make-up ala Korea Selatan, perkembangan Bahasa Korea Selatan dan muncul pusat-pusat kebudayaan Korea Selatan, larisnya tiket konser musik dan temu artis Korea Selatan, gandrungnya remaja pada dramanya, semua itu adalah buntut dari suksesnya Korean wave. Jika dalam hitungan jam video lagu terbaru Black-Pink sudah mendapat jutaan viewer, tentu kita harus melihat hal tersebut sebagai proses panjang usaha pemerintah dan sektor swasta Korea Selatan dalam mempromosikan Korean Wave.

Soft power tentu akan semakin mengalami perkembangannya. Bahkan dalam suatu pertemuan di tahun 2017, pemerintah Denmark pernah menghadiahi sebuah piringan hitam band Metalica kepada Jokowi. Diplomasi itu dilakukan sebelum perjanjian-perjanjian kerjasama di bidang lingkungan dan energi bersih antara dua negara. Artinya, hal-hal semacam ini akan masih menjadi tren diplomasi beberapa tahun ke depan. Masa di mana kebijakan luar negeri tidak hanya diambil oleh pemerintah sebagai aktor negara. Korean wave adalah bukti bahwa publik bisa ikut andil meningkatkan kesejahteraan ekonomi nasional.

Aktor politik luar negeri yang tidak hanya menjadi peran tunggal pemerintah bisa berarti banyak hal. Salah satunya adalah peran mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Meski kita tahu, beasiswa dari luar negeri merupakan salah satu strategi Soft power negara. Bagi mereka yang sering tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) atau yang bergerak di organisasi sosial-keagamaan seperti Pengurus Cabang Internasional Nahdlatul Ulama ataupun Muhamaddiyah (PCINU & PCIMU), tentu berpeluang besar ikut andil menjalankan strategi soft power dengan menampilkan nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Jangan hanya pulang ke Indonesia kemudian mendirikan pusat-pusat studi kebudayaan negara asal dia menerima beasiswa semata. Jika begitu, kita sebagai bangsa kalah dobel!

Meskipun hal semacam itu terjadi, tentu tidak sepenuhnya mereka bisa disalahkan. Keseriusan pemerintah menggarap strategi ini sangat penting. Berbenah dari sektor budaya pop yang akan disebarkan, kita harus realistis bahwa ini tugas berat. Terlebih jika tayangan sinetron yang ada, kualitasnya masih seperti sekarang. Penyanyi kita yang go internasional juga belum banyak. Apalagi kucuran subsidi sektor industri hiburan pop juga tidak seberapa.

Demi menjawab pertanyaan di awal, saya akan menyampaikan beberapa hal. Mengonsumsi produk kebudayaan negara lain (Korea ataupun Hollywood) sangat rentan dalam pembentukan pola berpikir kita. Hal ini disebabkan karena setiap tayangan drama/film yang mereka produksi tidak terlepas dari suatu nilai budaya tradisonal yang menempel pada produk tersebut. Misal di Korea Selatan, nilai Konfusianisme masih bisa ditemukan pada produk yang meskipun sudah dibalut modernisme. Maka jangan heran jika di pelosok desa di Pulau Jawa ada remaja yang belajar membuat Kimchi (makanan tradisional korea selatan) dan menempel poster Black-Pink di sudut kamar tidurnya.

Sebagai individu bebas, menyukai apa pun tentu menjadi hak yang menempel pada diri kita. Tetapi memaknai apa yang kita sukai secara mendalam juga tidak kalah penting. Lalu budaya pop apa yang akan jadi andalan pemerintah dalam perang soft power, jika anak-anak Indonesia saja tontonannya masih Upin-Ipin?

Tulisan ini sangat terbatas. Sifatnya sebagai pengantar untuk memahami kenapa Korean Wave bisa sampai mempengaruhi masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Urusan sikap apa yang harus diambil terhadap Korean wave, penulis merasa belum mempunyai kapasitas mengomentari hal tersebut.

Referensi

Putu Elvina Suryani, Ni, Korean Wave Sebagai Instrumen Soft Power Untuk Memperoleh Keuntungan Ekonomi Korea Selatan, Jurnal Global, 2014

Syahril Alam dkk, Musik K-Pop Sebagai Alat Diplomasi dalam Soft Power Korea Selatan, Jurnal Internasional & Diplomacy, 2017

Galan Prakoso, Septyanto dkk, Analisis Diplomasi Soft Power Denmark Terhadap Indonesia (Studi Tentang Kerja Sama Pengelolaan Lingkungan di Indonesia), Jurnal Politica, 2019

Rawnsley, Gary, Approaches to soft power and public diplomacy in China and Taiwan, Journal of International Communication, 2012

Ahmad Muqsith, Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Kajian Stratejik Global (Prodi Ketahanan Nasional), Universitas Indonesia, Pegiat di Minerva.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.