Banyak yang mengaitkan identifikasi filsuf pertama di jagad raya, Hermes (Arab: Hurmus) sebagai Nabi Idris AS dengan Sayyed Hussein Nasr. Baru saja saya menemukan ternyata bukan Hussein Nasr yang pertama kali mengidentifikasi Hermes sebagai Nabi Idris AS. Dalam kitab Miftahus Sa’adah wa Misbahus Siyadah fi Maudhu’atil Ulum karya Ahmad bin Mustofa (968 H.), secara yakin sang muallif (penulis) menyebut Hermes sebagai Nabi Idris.
Diduga keras Nabi Ibrahim AS juga seorang filsuf. Kisah dalam al-Qur’an tentang permintaan Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT untuk menunjukkan bagaimana Allah SWT menghidupkan orang mati cukup menjadi alasan yang kuat untuk menyebut bahwa Nabi Ibrahim AS sebagai filsuf empirisme eksperimental.
Sayangnya silsilah keilmuan dari Hermes sampai filsuf pertama Yunani Thales tidak diketahui lagi.
Padahal tidak menutup kemungkinan adanya hubungan genealogis antara filsafat Nabi idris, yang dalam penjelasan kitab tersebut didapat melalui shuhuf-shuhuf dari Allah, dengan filsafat Yunani.
Sesudah Hermes, dalam kitab tersebut justru menjelaskan Plato, Socrates dan Phitagoras.
Plato digambarkan sebagai filsuf yang relijius. Di akhir hayatnya ia menyerahkan kendali madrasah filsafatnya pada muridnya dan ia sendiri menghabiskan masa tua dengan ibadah.
Aristoteles, murid Plato paling jenius juga disinggung dalam kitab tersebut. Ia menjadi guru dari Alexander The Great (Iskandar Dzul Qarnain?), seorang maharaja penguasa lebih dari separuh dunia pada zamannya, yang mempunyai patih ulung, yang tidak lain adalah Nabi Khidhir AS, guru Nabi Musa AS.
Benarlah Rasulullah SAW ketika bersabda:
الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
“Ilmu hikmah/filsafat adalah barang hilangnya orang beriman. Dari mana pun ia mendapatkannya, dialah yang lebih berhak atasnya”
Pekalongan 2014.
Irfandi EZ, penikmat kitab kuning dan dosen di IAIN Pekalongan