Amalan baik nan saleh, serta banyaknya pundi-pundi pahala yang dikumpulkan oleh seorang ahli ibadah di dunia, bukan garansi ia bisa masuk surga. Bahkan, predikat ahli surga atau ahli neraka, sejatinya telah disandang manusia sebelum ia dilahirkan ke dunia. Kenapa?
Bulan ramadhan selalu jadi momen istimewa untuk memperdalam ilmu agama lewat banyaknya gelaran forum kajian. Salah satunya adalah Ngaji Posonan, sebuah tradisi mengaji kitab kuning yang berlangsung selama bulan suci. Banyak umat muslim, utamanya dari kalangan santri, sengaja mendatangi gelaran Ngaji Posonan untuk beribadah lewat kajian ilmu. Termasuk saya.
Sedikit berbeda dari pengajian konvensional biasa, Ngaji Posonan yang saya ikuti digelar secara daring oleh para (alumni) santri yang masih jadi Kitab Kuning Enthusiast. Di mana pengajian tersebut menggunakan metode bandongan; seorang kiai atau ustaz membacakan, menerjemahkan, dan menjelaskan isi kitab, sementara para santri menyimak dan mencatat.
Kitab kajian yang digunakan yakni Arbain Nawawi karya Imam Nawawi. Karya tersebut merupakan kitab kumpulan hadits dengan 42 hadits yang menjadi sorotan utama. Nah, kaitannya dengan lead yang ada di tulisan pembuka artikel ini, bahwa saya anggap kajian hadits dalam kitab tersebut menarik, terutama pada bagian hadits keempat yang secara detail membahas perihal proses penciptaan manusia:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Secara ringkas, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no.3208) dan Imam Muslim (no.2643), dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud ra. tersebut, memuat penjelasan Rasulullah SAW tentang proses penciptaan manusia dalam rahim selama 120 hari dalam tiga fase: nuthfah (mani), ‘alaqah (segumpal darah), dan mudghah (segumpal daging), sebelum Tuhan mengutus malaikat meniupkan ruh dan menyampaikan penetapan-Nya dalam empat hal: rezeki, ajal, amal, serta putusan terkait apakah ia menjadi ahli surga atau ahli neraka.
Ya. Hadits tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Tuhan telah memberi ketetapan manusia; apakah ia akan masuk surga atau neraka, sebelum menginjakkan kaki di dunia. Seorang manusia bisa saja memiliki tingkat kesalehan yang tinggi, rajin beribadah dan memiliki amal baik, tapi jika suratan takdirnya mengatakan bahwa ia adalah ahli neraka, maka ia akan masuk neraka. Begitu pun sebaliknya.
Dari sini, saya seolah tertampar kenyataan bahwa free will manusia, ternyata tidak betulan ada. Segala hal tentang makhluk-Nya telah diatur, dirancang, dan diprogram sebegitu rupa, bahkan sebelum manusia memiliki wujud sempurna di dunia. لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّٰهِ: tidak ada sesuatu hal yang terjadi di dunia ini tanpa melalui izin-Nya. Sebab Ialah Sang Kuasa yang memiliki wewenang atas makhluk yang bertempat di jagad semesta.
Ketika Tuhan Menjungkir-balikkan Nasib Manusia
Masih dalam kaitan Tuhan yang memiliki kuasa atas nasib manusia, dalam literatur Islam ada banyak narasi yang bercerita tentang bagaimana takdir kehidupan seseorang dapat berbalik di fase akhir hayatnya. Seperti setetes nila yang masuk ke dalam belanga susu untuk merusak warna putihnya.
Cerita paling populer adalah kisah Syekh Barseso, seorang ahli ibadah yang mengakhiri hidupnya dengan kondisi murtad. Berkebalikan dari itu, ada pula kisah seorang wanita ahli maksiat dan pezina yang diampuni oleh Allah karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Tapi, jauh sebelum dua cerita tersebut dirisalahkan oleh para sahabat, kisah paradoksal bertema sejenis juga terjadi pada Nabi Musa as. dan Firaun. Jadi, pada masa sebelum kenabian, Musa adalah sosok yang tidak memiliki reputasi baik di mata orang Mesir, sebab ia adalah seorang pembunuh dan buronan kerajaan. Berkebalikan dengan itu, Firaun adalah raja yang memiliki kedudukan tinggi dan mulia di sana. Meski demikian, dalam pergantian fase hidup Musa dan Firaun, Tuhan malah menyucikan (reputasi) Musa di mata orang-orang Mesir dan mengangkatnya menjadi rasul. Sementara, Firaun dicampakkan dan dijatuhkan ke tempat yang hina bersama orang-orang kafir.
Sangat jelas bagaimana simpul benang merah cerita tersebut mengarahkan kita pada kenyataan bahwa Tuhan dapat menuntun dan menyelamatkan siapa pun yang Dia kehendaki. Pun, Dia juga mampu menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki. Sebab Dialah Sang Dalang sejati, sementara makhluk tak ubahnya wayang yang hanya hidup melalui susunan narasi.
Lantas, bagaimana dengan reward pahala dan janji-janji surgawi yang (hampir) selalu Rasulullah sematkan dalam seruannya mengajak umat Islam untuk berjalan di jalur kebajikan dan senantiasa melaksanakan amalan saleh? Tidakkah ia dapat digadai jadi juru selamat manusia terbebas dari jilatan api neraka?
Pahala Bukan Jaminan Tiket Masuk Surga
Lumrahnya agama samawi, dalam syariat Islam pun tersemat pola rewards and punishments. Ganjaran pahala bagi umat muslim yang mengikuti seruan Rasulullah dan menaati perintah Tuhan, dan hukuman dosa bagi umat muslim yang berlaku sebaliknya. Dibayangkan, ada seorang muslim yang tidak pernah melakukan perbuatan dosa dan hanya melakukan hal-hal baik yang diserukan Rasulullah dan diperintahkan Tuhan. Secara kalkulatif, ia akan memiliki tumpukan pahala yang jauh lebih tinggi ketimbang dosanya. Bukankah hal itu dapat dijadikan dasar seseorang bisa masuk surga?
Menyoal kasus tersebut, ternyata Rasulullah pernah bersabda. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (no. 5042), yakni:
حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلَا يُجِيرُهُ مِنْ النَّارِ وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنْ اللَّهِ
Maksud hadits yang datang dari Salamah bin Syabib, dari Al Hasan bin A’yan, dari Ma’qil, dari Abu Az Zubair, dari Jabir, tersebut mengungkap bahwa Rasulullah berkata dengan tegas jika tidak seorang pun yang dimasukkan surga karena amal (saleh)nya, dan tidak pula diselamatkan dari neraka karenanya, bahkan Rasulullah pun tidak mampu melakukannya, kecuali karena rahmat Allah SWT.
Hadits tersebut relate dengan dalil al-Quran yang secara jelas menggambarkan orang-orang yang akan merugi di akhirat kelak, dalam surah Al-Kahfi ayat 103-104, berbunyi:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا () ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa sejatinya orang yang paling merugi di akhirat adalah mereka yang beramal saleh di dunia dan mengira bahwa amalnya sudah cukup sebagai bekal kehidupan di akhirat, padahal tidak. Malah, akibat dari perasaan ujub dan riya tersebut, amalan salehnya jadi sia-sia.
Suatu bentuk keterangan yang menohok pikiran saya. Sebab, selain Tuhan yang telah menggolongkan umat manusia dalam dua kotak: ahli surga atau ahli neraka. Ia juga secara tegas memberi peringatan kepada manusia jika amal saleh dan pahala yang dimiliki tidak serta-merta memberi mereka tiket ke surga. Sehingga menjadi jelas, bahwa urusan surga dan neraka mutlak menjadi hak prerogatif-Nya.
Kemudian dari itu, apa gunanya umat muslim beribadah dan berbuat saleh untuk mendapat pahala, jika tidak bisa jadi jaminan menuju surga-Nya? Kenapa umat muslim tidak coba saja melakukan maksiat, jika mereka yang kebagian jatah sebagai ahli surga, toh tetap masuk surga juga pada akhirnya?
Tidak Ada Satu Makhluk Pun Tahu Kecuali Dia
Deret kalimat tanya tersebut, saya akui merupakan bentuk protes ketidakadilan seorang makhluk yang tidak tahu diri kepada Penciptanya. Sebab, entah bagaimana pun, Sang Pemilik dari segala hal; yang wujud dan tidak, di alam semesta ini adalah Dia. Begitu pun dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, termasuk saya, adalah milik-Nya. Maka, terserah kehendak-Nya ingin melakukan apa saja dengan hal milik-Nya. Entah mau memasukkan manusia ke surga atau neraka, atau bahkan tidak dua-duanya, semua itu terserah Dia.
Lagi pula, jika kita kembali membaca konteks ketetapan takdir Tuhan yang empat (rezeki, ajal, amal, surga/neraka) dan soal rahmat Tuhan yang mampu mengantarkan seorang manusia masuk surga, itu. Kita akan menyadari bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tahu-menahu perihal ketetapan dua variabel tersebut, kecuali Allah SWT sendiri. Sehingga, dalam kapasitas nalar manusia, dua hal tersebut menjadi misteri yang tidak akan terpecahkan kecuali kita semua mau mengalami dan menjalani.
Surga dan neraka merupakan salah satu bentuk hasil (tapi bukan tujuan) dari proses “mengalami” manusia, saat ia hidup di dunia. Alegorinya seperti ada dalam kotak Schrodinger, bahwa hingga ajal menjemput, manusia akan berada dalam ketidakpastian antara surga dan neraka. Oleh karena itu, kita tidak boleh bersikap jumawa.
Sebuah atsar yang masyhur saya dapat dari ceramah Gus Baha’ menceritakan bahwa di zaman dulu ada orang ahli ibadah, khusyu’, dan tidak pernah melakukan maksiat. Ketika ia sudah mati dan ada di depan pintu surga, dia ditanya oleh Allah, “Karena apa kamu masuk surga?”. Ia menjawab, “Karena amalku, wahai Allah. Saya tidak pernah bermaksiat selama di dunia”. Allah kembali bertanya, “Berapa tahun kamu taat?”. Dijawab, “Saya taat selama delapan puluh tahun”. Lalu Allah merespon, “Maka, masuklah ke surga selama delapan puluh tahun!”
Ahli ibadah itu tidak terima dan memprotes, “Dulu, Engkau berkata bahwa orang bisa di surga selamanya. Bagaimana ini?”. Kata Allah, “Kamu berkata kalau kamu masuk surga karena amalmu, maka masuklah surga selama amalmu di dunia yaitu delapan puluh tahun! Karena hanya rahmat-Ku yang abadi, sedangkan amalmu terbatas.” Ahli ibadah itu menagis dan berkata: “Ya sudah wahai Allah, saya yakin saya masuk surga karena rahmat-Mu”. Jawab Allah, “Aku sudah kecewa. Neraka untukmu!”
Jelaslah bagaimana atsar tersebut menyasar manusia yang kelewat jumawa dengan pencapaiannya. Mereka lupa bahwa kesombongan yang dimiliki merupakan awal dari tertutupnya mata batin yang membuat seseorang tak menyadari hakikat ibadah sejati. Yakni, bentuk penghambaan kepada Allah, bukan sebagai alat tawar-menawar dengan-Nya.
Jika demikian, apakah pahala yang didapat dari amal saleh seseorang tidak lagi memiliki daya guna?