Setelah kita selesai dengan masa remaja, kata bermain sepertinya terlalu asing di telinga. Mungkin juga bentuknya menjadi semakin sempit menjadi hanya sekedar bermain game online, scroll sosial media, rekreasi atau wisata. Kita merasa perlu untuk menjadi seperti orang dewasa pada umumnya yang serius memandang kehidupan. Tidak lagi bermain-main dan fokus terhadap tujuan hidup, yang semakin dewasa rasanya semakin kabur maknanya.
Tapi seharusnya tidak begitu, bukankah kita bisa tetap mengadopsi kata bermain ini dan melebarkan maknanya untuk kemudian membawanya sampai tua?
Jauh-jauh hari, Fredrich Schiller, seorang filsuf Jerman mengatakan bahwa bermain adalah esensi kehidupan manusia. Pun Johan Huzinga, Herman Buytendijk dan Hans-Georg Gadamer yang mengatakan hal serupa.
Lalu kenapa rasanya kita memandang kehidupan orang dewasa begitu tegang dan jauh dari kata bermain? Jika semakin dewasa kita semakin kaku dan lupa caranya bermain, akan semakin jauh juga kepada esensi diri kita sendiri yang Huzinga sebut sebagai Homo Ludens (manusia yang bermain).
Mungkin kita malu, dan takut dipandang tidak dewasa ketika seseorang memergoki kita sedang bermain. Akan memalukan memang ketika yang kita sebut bermain adalah dengan bermain boneka barbie, atau bermain petak umpet, atau ketahuan bermain kelereng dengan anak-anak kecil sedangkan kita sendiri yang dewasa. Dan mustahil mungkin ketika kita begitu ingin bermain dalam makna sempit seperti itu ketika yang kita ajak adalah teman-teman dewasa kita.
Akan menjadi masalah ketika kita memaknai bermain adalah bermain judi, bermain wanita atau bermain api. Dan membosankan ketika yang kita sebut bermain adalah bermain game online atau hanya scroll sosial media, sesuatu yang bahkan begitu digandrungi siapa pun dewasa ini. Sesuatu yang mencuri banyak waktu, sesuatu yang mungkin telah begitu berjasa menghilangkan rasa bosan, tetapi sering kali menimbulkan rasa menyesal yang dalam dan belum lagi efek tak kentara yang perlahan tapi pasti merusak kesehatan mental kita. Berubah menjadi candu yang sulit dilepaskan banyak orang.
Karena mungkin kita tidak lagi mencoba mencari perluasan makna dari kata bermain dari yang hanya itu-itu saja, sulit untuk mendefinisikan sebenarnya apa yang pantas dimaknai dari kata bermain ini ketika kita tempatkan dalam konteks orang dewasa. Permainan yang akan membentuk kita lebih dalam dan bermakna, tapi tidak dibungkus dengan kekakuan khas dunia orang dewasa.
Atau mungkin kitalah yang perlu mencari makna yang lebih jauh, dari yang hanya sekedar bermain seperti bermain lego, misalnya. Sibuk menyusun dan membentuk sebuah bangunan, kelihatannya kita hanya bermain tanpa tujuan selain hanya membentuk sebuah bangunan dari lego. Tetapi kita bisa melangkah lebih jauh, memaknai setiap bangunan lego yang tersusun sebagai satu persatu material yang kita butuhkan untuk mewujudkan sebuah impian. Lebih jauh lagi, dan lebih jauh lagi. Bukankah keistimewaan orang dewasa ada pada nalar yang berkembang?
Kita bisa saja berkutat pada permaina remeh seperti saat kita masih kecil. Tetapi pikiran dan perasaan kita tidak mungkin sama saat kita memainkannya waktu kecil. Lagian, bermain tidak hanya merujuk pada arti sempit seperti permainan anak-anak.
Bermain bisa juga dalam arti yang lebih keren ala orang dewasa. Bermain peran sebagai karyawan misalnya, melaksanakan semua tugas karyawan seperti kita sedang bermain peran. Menunaikan semua tugas permainan dan keluar dengan reward gaji. Toh nyatanya, dalam Islam. Kita pun hanya bermain peran sebagai hamba. Karena aslinya kita adalah penduduk surga yang ditugaskan berperan sebagai khalifah di bumi.
Bermain banyak peran dalam kehidupan sering kali membuat kita lupa sebagai status kita yang aslinya penduduk surga. Kita terlalu larut dalam bermain peran, menganggap bahwa peran itulah sebenarnya tujuan kita hidup. Bahkan dengan mudahnya kita merasa putus asa ketika suatu masalah menyebabkan kita gagal dalam memainkan peran tersebut. Kita lupa bahwa tugas yang ada hanya untuk bermain peran dengan sebaik-baiknya dan menyerakhan di luar selain itu kepada Tuhan yang menciptakan alurnya.
Bermain dalam bentuk interaksi ringan juga bisa disebut bermain ala orang dewasa. Percakapan basa-basi seperti halnya permainan mungkin dianggap tidak berguna. Tetapi itu bisa menjadi jalan kita menemukan kesegaran pikiran dan membuang kesepian. Hal itu bisa menjadi sesuatu yang lebih baik ketimbang kita hanya melihat kehidupan orang lain lewat layar handphone. Karena bukankah hakikat kita adalah makhluk sosial? Kemudian bercakap-cakap adalah salah satu pintu penting untuk membuktikan bahwa kita makhluk sosial.
Kita telah kehilangan kemampuan percakapan main-main dewasa ini. Menganggap hal itu tidak penting, dan menganggap percakapan hanya mungkin dilakukan ketika ada tujuan penting di belakangnya. Jadilah kita menemukan banyak realita yang aneh: satu kantor tetapi hanya kenal nama, satu kelas tetapi hanya tahu nomor absen, satu kos-kosan tetapi tidak saling kenal, bahkan beberapa temanku mengungkapkan bahwa dia satu kamar kos-kosan tetapi tidak saling ngobrol. Tidak ada kepentingan katanya. Tetapi ketika kumpul dengan circel-nya, mereka tidak menyayangkan waktu yang lewat begitu banyaknya hanya untuk membahas artis ibu kota atau artis korea.
Kita telah lupa cara bermain kata untuk interaksi dengan manusia lainnya. Menganggap ibu-ibu yang duduk sebelahan di bus kota sebagai seseorang yang menyebalkan hanya karena menanyakan beberapa percakapan main main sebagai teman perjalanan. Menganggap genit tukang parkir hanya karena ia menanyakan mau kemana kita. Menganggap tetangga julid hanya karena terkadang mereka menanyakan kapan nikah dan urusan pribadi lainnya.
Nyatanya, sering kali mereka hanya rindu dan ingin main-main percakapan saja dengan kita yang sudah lama tidak kelihatan batang hidungnya, kelamaan di tanah rantau. Itu semua sah-sah saja dilakukan, selagi percakapan itu tidak berisi menjelek-jelekan pihak lain, atau terlalu jauh ikut campur urusan orang lain, atau percakapan yang menimbulkan permusuhan.
Betapa banyak kejadian memilukan seperti bunuh diri atau pembunuhan berawal dari hilangnya kemampuan kita bercakap-cakap main-main dengan tetangga. Sehingga kita tidak tahu sepelik apa masalah yang sedang dialaminya. Karena percakapan main-main sering kali menjadi pintu kita untuk lebih peduli terhadap sesama. Selagi kita mampu mengendalikan pintu itu untuk terbuka kepada ruang kepedulian dan kasih sayang, bukan pintu ghibah atau pintu permusuhan.
Apapun bentuk bermain ala orang dewasa adalah bentuk usaha kita untuk menghancurkan belenggu kaku terhadap rutinitas kehidupan orang dewasa yang semakin mencekik. Membawa kita kepada hakikat kita sebagai homo ludens. Mengingatkan kita bahwa dunia adalah la’ibun wa lahwun. Dengan bermain, kita tidak merindukan diri kita sewaktu kecil yang hanya tahu caranya bermain dan jauh dari bentuk kehidupan kompleks orang dewasa. Kita hanya merindukan kata bermain itu sendiri.
Ditulis oleh: Nuha Nailaturrafidah