Sebuah kondisi yang wajar tapi tidak menyenangkan, adalah duduk di kereta yang ramai tapi kita merasa sendirian. Di depanku dua orang manusia ceria yang obrolannya terlihat seru. Mungkin baru menikah beberapa bulan, karena kelihatannya begitu: muda dan masih nempel. Sedangkan aku di depan mereka; sendirian, bosan menatap layar ponsel dan akhirnya hanya melamun menatap sekitar
Aku merasa terpisah dari orang-orang di dalam kereta, orang-orang yang sedang sibuk dengan ponselnya, yang sedang mengobrol dengan kawan seperjalanannya, yang sedang makan, yang sedang meninabobokan anaknya, yang tidur, yang sedang nempel dengan pasangannya dan orang-orang yang sedang melamun. Seperti diriku.
Tidak menyenangkan merasa sendirian terpisah dari yang lain yang kelihatannya begitu seru dengan urusannya, sedangkan kita hanya melamun dan kesepian. Tapi bagaimana jika sepi ini memang diciptakan sebagai ruang untuk kita berkenalan dengan diri sendiri? Tapi justru kita merasa enggan mengunjungi diri dan berkenalan lebih jauh. Kita lebih memilih untuk sok sibuk agar bisa kelihatan seperti yang lain. Dengan sosial media, film, musik dan hal-hal lain yang bisa mengusir sepi.
Kita tidak mau dianggap kesepian dan tidak ada yang memperhatikan. Padahal sepi datang untuk mengunjungi diri, memberi ruang agar kita merenungkan banyak hal tentang apa-apa yang ada di dalam diri kita dan di luar diri kita yang terhubung dengan kita.
Tapi sepi sering kali datang begitu menyeramkan, ia datang seperti mengolok-olok kita yang tidak mampu mencipta keseruan. Atau, yang begitu menyeramkan adalah diri kita sendiri? Karena sepi sering kali mencoba mengenalkan kita pada diri kita sendiri yang begitu payah, bodoh, tidak berguna, gagal dan pemalas? Kita lari dari ketakutan dan enggan berkenalan serta mencari kesibukan dengan hal-hal yang tidak berguna. Sisi diri kita yang begitu ingin dikenal dan diperhatikan terkucil di ruang sempit.
Sepi sebagai kurir antar, buru-buru diusir sebelum datang menyampaikan maksud. Kadang berdamai dengan kesibukan bisa sangat mudah dibanding harus berdamai dengan perasaan sepi yang sering mengunjungi.
Saking malasnya kita bertemu dengan diri kita sendiri, sehingga kita begitu cuek: “Apa lagi memang yang perlu dikenalkan? Aku yang paling kenal aku, memang begini adanya seperti yang orang tahu.’’
Padahal kita mungkin muak membicarakan bagian terdalam diri kita sendiri yang hanya mampu ditunjukkan ketika sepi dan keheningan datang. Kemudian kita mencari-cari versi diri kita sendiri yang biasa tampil di permukaan. Kita yang memukau, yang fashionnable, yang cantik dan wangi. Tapi malas membicarakan diri kita yang terdalam, yang begitu bodoh, rusak, ditolak, sengsara, yang penakut, yang kesepian, yang menderita.
Kita enggan mengenali kenapa versi diri kita yang buruk itu hadir dan bagaimana cara memperbaikinya. Kita hanya tahu, untuk kemudian malas bertemu, dan akhirnya tidak pernah benar-benar mengenalnya.
Padahal, Haruki Murakami dalam karya-karyanya sering kali mengingatkan kita bahwa keheningan sering kali menyimpan suara paling jujur dari hati kita. Murakami, mengungkapkan bahwa kesepian dan keheningan bisa diartikan sebagai cara untuk berhubungan dengan diri sendiri dan menghadapi trauma diri.
Bahkan walaupun kita mau mempersilahkan sepi dan mau berkenalan dengan diri sendiri, kita hanya mampu sibuk meratapi dan memaki diri, mengapa bisa sebegitu payah dan bodoh dan kesepian. Tanpa benar-benar mau mengenal mengapa kita bisa seperti itu dan bagaimana memperbaikinya. Mungkin ini yang menyebabkan kita lari dari sepi, karena kita tidak bisa mengatasi diri sendiri yang membuka topeng aslinya.
Bukankah jika begini, sepi tidaklah bersalah? Kitalah yang bersalah karena menganggap ketika sepi datang berarti kita kesepian dan tidak diperhatikan. Padahal sepi bukan sesuatu yang menakutkan, wajah kita yang lainlah yang kadang menakutkan. Karena walaupun ketika kita kesepian bahkan di tengah keramaian sekalipun, kita masih bisa berinteraksi dengan diri kita sendiri. Bahkan sepi membuka portal untuk kita berkenalan dengan diri sendiri sampai pada bagian terdalam dan kelam. Bukan untuk diratapi, tetapi untuk dikenali penyebab datangnya, dirangkul dan diterima sebagai bagian kita dan pada akhirnya memikirkan cara memperbaikinya.
Sepi membuka wajah-wajah baru sehingga tampaknya kita berkenalan dengan orang baru. Tentang diri kita yang hanya kita sendiri yang tahu. Diri kita yang berubah pada setiap masa, sehingga kita butuh berkali-kali berkenalan dan mengakrabi diri. Menerima untuk kemudian memperbaiki segala kekurangan dan kelemahan diri dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi untuk menciptakan diri kita yang lebih baik lagi.
Kesepian bahkan dalam keramaian bukanlah sesuatu yang menakutkan yang harus buru-buru di usir dan diisi dengan kegiatan sok sibuk hanya untuk menutupinya. Ia terkadang datang untuk memberikan kita ruang agar mau mengakrabi diri. Memeluk segala yang dimiliki dan berjanji akan berusaha lebih baik lagi.
Ditulis oleh: Nuha Nailaturrafidah