Awalnya ada dua nama untuk ilmu yang mengkaji tentang tanda, yaitu Semiologi (Semiology) yang diajukan oleh pakar linguistik Swiss, Mongin-Ferdinand de Saussure, dan Semeiotika (Semeiotic) yang diajukan oleh filsuf pragmatis, Charles Sanders Peirce. Umumnya orang menyangka bahwa Peirce menyebut ilmunya tersebut sebagai Semiotics, padahal yang benar adalah Semeiotic. Namun, di kemudian hari, diawali oleh Thomas Albert Sebeok, istilah yang diinternasionalisasikan adalah Semiotika (Semiotics). Pada awalnya pula, semiotika belum digunakan untuk bidang-bidang ilmu lain.

Oleh Saussure, semiologi didefinisikan sebagai ilmu yang lebih umum, dan linguistik merupakan bagian darinya. Namun dengan memasukkan semiologi ke dalam linguistik, Saussure telah membuat terobosan baru dalam linguistik yang berpengaruh kuat hingga hari ini. Sementara bagi Peirce, semeiotika didefinisikan sebagai semacam padanan dari logika.

Dari Saussure lahir tradisi semiologi diadik (berstruktur dua: penanda-petanda), sementara dari Peirce lahir tradisi semeiotika triadik (berstruktur tiga: objek-representament-interpretant).

Singkat kata, beberapa dekade kemudian, semiotika sudah merambah ke berbagai bidang di luar linguistik. Oleh Claude Gustave Lévi-Strauss dipakai untuk memperkaya kajian antropologi, oleh Roland Gérard Barthes digunakan untuk membedah mitologi budaya massa, oleh Jacques Marie Émile Lacan digunakan untuk menafsir ulang psikoanalisis Freudian, dan demikian seterusnya.

Dengan semakin dominannya media dalam kehidupan manusia kontemporer, serta bagaimana budaya visual semakin memperlihatkan wujudnya di masa sekarang ini, maka peranan semiotika sebagai salah satu ‘kacamata’ untuk membaca tanda-tanda zaman jadi semakin siginifikan, terutama untuk membedah dan membaca berbagai permainan tanda di sekitar kita.

Namun, seringkali yang menjadi permasalahan terdasar dalam kajian semiotika adalah hampir tidak ada kesepakatan umum di kalangan para pemikirnya. Di Indonesia, hal semacam ini semakin sering diabaikan dengan minimnya beredar buku-buku semiotika dari pemikir tangan pertama. Sekian banyak buku pengantar yang beredar seringkali menggeneralisasi penjelasan dasar tentang “apa itu semiotika” sambil mengabaikan keketatan yang sebenarnya. Namun, hal itu bisa dimaklumi karena fungsi buku pengantar adalah mempermudah orang untuk ‘masuk dulu’ ke dalam wacananya, tanpa harus direpotkan dengan berbagai permasalahan teknis yang sifatnya lanjutan. Akan tetapi perlu dicatat juga bahwa tak jarang ditemukan paparan rancu tentang semiotika.

Misalnya, seorang penulis buku tentang semiotika di Indonesia memaparkan bahwa struktur tanda itu ada dua, yaitu petanda dan penanda. Petanda adalah konsep, sementara penanda adalah tanda itu sendiri. Ini rumusan yang ‘ganjil’ dan rasanya belum pernah ada dalam buku-buku semiotika standar. Belum lagi kalau kemudian rumusan tanda seperti itu dinisbatkan kepada Saussure, maka di situ terjadilah ‘misreading.’ Permasalahannya, rumusan Saussure tentang semiologi, apabila kita baca langsung dalam buku anumertanya, tidaklah seperti itu.

Sebagaimana sudah umum diketahui oleh pembaca buku semiotika, Saussure mengajukan konsep tentang Langage/Langue/Parole. Parole adalah realitas penggunaan atau penuturan bahasa, ‘ujaran’ atau ‘pesan’ tertentu, dalam kehidupan individual, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Sementara langue dipahami sebagai sistem atau kode (‘le code de la langue) yang membuat pesan-pesan individual tersebut tersingkap. Sebagai sistem bahasa, atau sebagai objek ilmu linguistik, langue mesti dibedakan dengan langage, yakni totalitas heterogen yang dari dulu diotak-atik oleh para ahli linguistik menggunakan berbagai sudut pandang seturut unsur pembentuk apa yang hendak disoroti, entah bangunan fisikal, fisiologis, mental, individual, atau sosialnya. Nah, Saussure memberikan rumusan bahwa langue adalah langage dikurangi parole. Yang menjadi objek linguistik adalah langue, bukan parole (wicara).

Ke dalam kajian akan langue itulah Saussure memasukkan konsepnya tentang semiologi. Bagi Saussure, tanda linguistik tidak mengaitkan sebuah nama dengan sebuah benda, sebagaimana biasa terjadi dalam nomenklatur (seperti daftar istilah dan merujuk ke benda apakah istilah itu). Saussure merumuskan bahwa petanda adalah konsep tentang sebuah tanda, sementara penanda adalah citra akustik dari sebuah tanda.
Begini contohnya. Bayangkan di benak kita ada konsep tentang binatang berkaki empat, suka menggonggong, suka mengubur tulang dan mengibas-ngibaskan ekornya. Itu adalah petanda. Sementara gambaran atau citra akustik yang dibangkitkan di benak kita oleh tanda tersebut adalah penanda. Jadi, dalam konsepnya tentang tanda, Saussure sama sekali tidak menambatkannya kepada sosok anjing yang konkret. Hanya konsep yang kita mengerti tentang anjing dan citra akustik yang muncul di benak kita. Dengan begitu jelaslah bahwa dalam konsepsi tanda dari Saussure, petanda dan penandanya adalah dua entitas abstrak yang kemudian dia nisbatkan sebagai milik linguistik.

Apakah memang ada konsepsi petanda dan penanda sebagai hubungan konsep dan materi? Ada, yaitu pada Barthes, namun harus dingat juga “Barthes dalam periode mana?” Dalam periode buku Mitologi, dia merumuskan petanda dan penanda seperti Saussure, dan menyebutkan bahwa yang disebut sebagai tanda adalah relasi antara petanda dan penanda, dan itulah objek konkretnya. Namun, dalam buku periode berikutnya, Barthes menyatakan bahwa petanda adalah konsep, dan penanda adalah aspek materi.

Sementara dalam rumusan Roman Osipovich Jakobson, dia menambahkan referen sebagai objek konkret dari tanda. Di sini terlihat bahwa mulai muncullah konsepsi ilmu tentang tanda yang mengaitkannya pada objek konkret—sebagaimana sering digeneralisasi oleh para penulis semiotika “tangan ketiga.”

Apakah berhenti sampai di sini? Ternyata tidak. Louis Trolle Hjelmslev mengajukan konsepnya tentang (fungsi) tanda yang terbagi menjadi dua namun dengan peristilahan berbeda, yaitu Ekspresi dan Muatan (Content). Rumusan Hjelmslev tentang tanda tersebut sering disebut konsepsi tanda yang mekanistik, karena kedua konsep tersebut merujuk kepada dua entitas konkret, seperti meteran bensin di speedo meter motor atau mobil yang secara konkret menunjukkan tanda penuh (inilah ekspresi) dan bensin dalam tangki yang secara konkret juga memang terisi penuh (inilah muatan).

Berarti secara garis besar, teori tanda itu sendiri memiliki tiga bentuk relasi struktur, yaitu abstrak-abstrak (Saussure), abstrak-konkret (Barthes, Jakobson) dan konkret-konkret (Hjelmslev).

Nah, kepada siapakah kita akan merujuk saat menggunakan teori tanda untuk analisis kita? Dari paparan di atas, terlihatlah bahwa konsepsi tanda dari para pemikir tersebut sangatlah berbeda satu sama lain, dan keketatan seperti ini seringkali diabaikan oleh para penulis semiotika “tangan ketiga” sehingga rentan menyebarkan konsepsi yang rancu saat paparan itu, misalnya, dinisbatkan kepada Saussure (padahal Saussure tidak pernah merumuskan seperti itu).

Lalu apa maksud semiotika sebagai pintu masuk dalam judul di atas?

Begini, semiotika adalah sesuatu yang pertama kali saya kenal melalui presentasi Pak Yasraf Amir Piliang di Balai Pertemuan Ilmiah ITB (tahun 1993), sewaktu beliau baru saja pulang dari studinya di Inggris. Makalah beliau saya baca hampir 40 kali karena susah dipahami. Maklum, masih pemula sekali.
Namun, semiotika mengantarkan saya kepada perkenalan dengan pemikiran mengenai postmodernisme. Akan tetapi, untuk memahami postmodernisme, sebaiknya paham juga ihwal “apa itu modernisme” yang menjadi sasaran kritiknya. Namun, karena modernisme sudah banyak dikritik oleh postmodernisme, modernisme sudah kehilangan separuh pesonanya bagi saya, sehingga tak terlalu antusias untuk mengadopsinya, apa lagi menjadikan agama saya sebagai pelayan bagi berbagai wacana modern (sebagaimana dilakoni sebagian intelektual muslim, bahkan tak jarang, yang masih berusia muda dari kalangan itu gemar memakai pemikiran modern untuk mengejek, membuat provokasi, dan memancing kontroversi; sudahlah, pahami saja kelakuan mereka itu dalam bingkai lagu “Darah Muda” dari Bang Haji Rhoma Irama).

Akhirnya, itu semua membawa saya mendarat di khazanah Yunani Antik, khususnya di Sōkratēs dan Platōn. Perjalanan retrospektif ini membuat saya menemukan bahwa pada awalnya filsafat itu suatu kesatuan utuh, filsafat adalah seni untuk menjalani hidup, tak memilah antara kerumitan di pikiran dengan kegombalan dalam perilaku dan kepribadian pembelajarnya. Bahwa sebelum ada pemilahan agung (great divide), sebelum Great Chain of Being dienyahkan dari benak modern, hidup manusia itu utuh dan integratif. Tak ada pemilahan yang membuat orang jadi memiliki apologi untuk mengusung dua wajah, dua kepribadian; satu untuk dihadapkannya ke ranah publik dan satu untuk dilepaskannya tanpa kendali di ranah privat. Bahwa pada awalnya, filsafat itu tidaklah bercorak anti-esensialis maupun ateleologis, juga tak direduksi semata jadi urusan logika.

Demikian. Itulah maksud dari judul “pintu masuk itu bernama semiotika” sebab, pada awalnya, saya melangkah masuk dari sana, sampai akhirnya menemukan Sōkratēs dan Platōn. Walaupun saat ini tengah menyusun tugas akhir dengan menggunakan fenomenologi-hermeneutik, namun Sōkratēs dan Platōn tetap jadi pemandu utama, agar jangan terjebak hanya pada kerumitan pemikiran yang semata untuk mengundang decak kagum, namun secara kepribadian malah tak terkendali. Sekali lagi, itu semata pilihan saya pribadi. Masa muda sudah berlalu, waktu tersisa tak lama lagi.

Alfathri Adlin, filsuf

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.