Judul Film : Penyalin Cahaya
Jenis Film : Drama, misteri, thriller
Sutradara : Wregas Bhanuteja
Produser : Adi Ekatama, Ajish Dibyo
Rumah produksi : Rekata Studio dan Kaninga Pictures
Tanggal rilis : 8 Oktober 2021 (Festival Internasional Film Busan, Korea Selatan) dan 13 Januari 2022 (Netflix)

Perfilman di Indonesia mendapat angin segar dengan mulai bermunculannya film-film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka mata terhadap isu-isu sosial. Salah satunya film Penyalin Cahaya yang memborong 12 penghargaan di Piala Citra Festifal Film Indonesia (FFI) 2021. Cerita dalam film ini menjadi begitu kompleks dengan menampilkan berbagai sisi isu yang selama ini riuh tapi lebih sering terbungkam.

Penyalin cahaya (Photocopier), tayang di Netflix pada 13 Januari 2022 dan populer di 26 negara. Film berlatar belakang dunia kampus lengkap dengan segudang rutinitasnya ini membuka mata bahwa lembaga pendidikan sekalipun tidak lepas dari praktik tindak kekerasan seksual. Selain itu, film garapan sutradara Wregas Bhanuteja ini menyajikan kasus kriminalitas kekerasan seksual dengan cara yang tidak biasa, yakni melalui ruang digital.

Berdurasi 130 menit, Penyalin Cahaya menceritakan perjuangan Suryani/Sur (Shenina Cinnamon) dalam mendapatkan jawaban dari kasus yang menimpa dirinya. Sur mendapatkan kemalangan setelah mengikuti pesta perayaan kemenangan teater di kampusnya. Diawali dengan tersebarnya foto dirinya di malam pesta hingga pencabutan beasiswa yang ia terima. Hal ini yang membuat Sur membuka satu persatu satir dari kasus yang selama ini ditutup rapat-rapat dan membuat pelaku bebas “berkarya” dengan kejahatannya.

Berbekal kemampuan IT-nya, Sur melacak bukti-bukti untuk mencari pelaku dan untuk memperjuangkan pemulihan nama baiknya. Menariknya, jika pada umumnya kekerasan seksual itu bermula dari hasrat seksual, pada film ini justru potret kekerasan seksual terjadi karena ada motif kepentingan dalam bidang kesenian. Sang pelaku mengintervensi tubuh tanpa persetujuan korban untuk memenuhi kebutuhannya.

Perjalanan mengungkap kasusnya sendiri tentu bukanlah hal yang mudah. Beasiswanya dicabut karena swafoto Sur ketika mabuk di perayaan teater tersebar dan dianggap mencemari nama fakultas, diusir dari rumah oleh ayahnya, tidak dipercaya banyak orang, dikatakan playing victim bahkan ketika sudah mempunyai bukti. Ia tidak bisa dengan mudah mengusut siapa yang melakukan itu karena pelakunya mempunyai dominasi kuasa yang kuat di kampusnya.

Terlebih ketika Sur mengetahui bahwa tak hanya dirinya yang telah menjadi korban. Ada dua temannya yang sebelumnya juga mengalami hal serupa. Bahkan, salah satu dari mereka merupakan seorang laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual bisa dialami oleh siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin.

Era Digital dan Ruang Kekerasan Seksual

Selama ini kita mengenal kekerasan seksual selalu dalam frame yang sama. Bahwa pelaku menyentuh korban secara langsung dan hanya karena hasrat bilogis. Padahal, kekerasan seksual tidak selalu berkutat dalam hal itu. Sebagaimna yang ditunjukkan dalam Penyalin Cahaya.

Film ini memberikan pemahaman bahwa pelecehan bisa dilakukan dengan cara yang bahkan tidak bisa kita sangka. Seperti orientasi fetis yang dialami oleh pelaku dalam film yang banyak dibintangi oleh aktris baru ini. Selain itu, Penyalin Cahaya juga menampilkan bagaimana ruang digital bekerja sangat canggih dan bisa membawa dampak bahaya jika tidak digunakan dengan baik.

Di zaman yang penuh kecepatan informasi dan data ini, kita dituntut untuk selalu berpengetahuan terhadap apapun yang ada di dalamnya. Mulai dari kecanggihan beragam fitur maupun kompleksitas pesatnya perkembangan kehidupan yang sudah serba online.

Terdapat sisi mengejutkan pula ketika dalam alur cerita terdapat tokoh bystander. Berdasarkan pengertian dari hellosehat.com, bystander effect merupakan fenomena psikologi sosial ketika terdapat seseorang yang membutuhkan pertolongan, akan tetapi tidak ada yang menolongnya. Hal tersebut timbul karena orang-orang bystander beranggapan akan ada orang lain yang menolong korban. Maka dari itu, bystander justru hanya menjadi penonton korban yang sedang meminta tolong sambil berharap ada orang lain yang dapat membantunya.

Alih-alih mau menolong, pada konteks film Penyalin Cahaya, salah seorang tokoh yang begitu dekat dan mengetahui permasalahan Sur sebagai korban hanya diam dan menganggap remeh permasalahan yang sedang dialami sahabat kecilnya itu. Padahal, sebenarnya ia mengetahui petunjuk penting akan identitas pelaku. Bahkan tokoh ini justru terlibat menjadi distributor bagi pelaku untuk mendapatkan “bahan” referensi aksi.

Film ini memantik diskusi oleh berbagai kalangan. Baik mahasiswa maupun lembaga sosial. Termasuk beberapa tokoh aktivis gender yang ada di Indonesia. Salah satunya Kalis Mardiasih yang mengulas film ini di akun media sosialnya. Menurutnya, kekerasan seksual bisa terjadi dengan banyak cara. Termasuk cara-cara yang sulit terbayangkan. Sehingga sudah seharusnya kita tidak abai, dan selalu melek dengan apa yang terjadi di sekitar kita.

Selain pembawaan ceritanya yang serat akan pesan terutama perihal kekerasan seksual, film penyalin cahaya memang dapat dikatakan mampu membuat penontonnya terfokus pada cerita. Bagaimana tidak, dari adegan pertama dan di setiap set lokasi yang digunakan untuk shooting, semuanya benar-benar menghadirkan kondisi lingkungan yang ada di Indonesia secara natural.

Terlebih pada akhir cerita. Bagi penulis, ending dari film ini termasuk jenis film Cliffhanger yang multitafsir. Pada sudut pandang tertentu, bagaimana sutradara membungkus rentetan cerita di film ini seakan-akan menggambarkan kondisi Indonesia terutama pada lingkup kampus dalam merespon kasus-kasus kekerasan seksual. Akan tetapi di lain sisi, terkadang penyampaiannya malah memunculkan segudang pertanyaan bagi penontonnya.

Sebab ketika para korban menyatukan solidaritas untuk mengungkapkan kebenaran siapa pelakunya kepada para mahasiswa, yang kemudian dibantu oleh teman-temannya yang lain, tidak ada klimaks bagaimana pihak pelaku ditindaklanjuti. Atau bahkan seperti apa respon dari institut dalam merespon serta mengatasi permasalahan yang ada.

Tak luput dari kekurangan, film yang memang disutradarai Wregas (dalam hal ini ia sebagai laki-laki) masih minim dalam mengekspos bagaimana kondisi psikis dan emosional dari Suryani sebagai korban kekerasan seksual. Mestinya, hal ini penting mengingat sang pelaku dalam film mempunyai relasi kuasa yang sangat kuat.

Bagaimana saat Suryani mengetahui bahwa ia adalah korban kekerasan seksual, caranya menghadapi dan mengatasi kasus ini sendirian, tentu ini penting untuk dijelaskan lebih jauh. Sehingga penonton juga dapat melihat dari perspektif korban bagaimana struggle tokoh utama dalam menghadapi problemnya.

Terlepas dari bagaimana performa dari film ini, Penyalin Cahaya tentu masih menjadi media strategis komunikasi yang paling efektif dalam mengekspresikan dan menyuarakan isu-isu kemanusiaan.

Kehadiran karya bangsa semacam ini dapat menjadi angin segar dalam dunia perfilman di Indonesia. Pengangkatan kasus kekerasan seksual menjadi langkah yang baik untuk negara ini supaya lebih peka terhadap isu-isu perihal ketimpangan sosial, maupun kasus-kasus krusial semacam ini.

Oleh Elviana Feby Dwijayanti

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.