Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, Keluarga Besar Pondok Pesantren Alfadllu Kaliwungu tak menyelenggarakan haul Kiai Ibadullah Irfan secara publik di tahun ini. Haul tetap dilaksanakan, tapi terbatas dan dengan protokol kesehatan.
Kiai Ibad adalah ayah dari Umi Tho’ah, isteri Kiai Dimyati Rois. Kiai Ibad merupakan salah satu putra dari Kiai Irfan, pendiri Pondok Pesantren APIK Kauman Kaliwungu.
Biasanya, haul Kiai Ibad dilaksanakan bersama masyarakat. Selain itu, alumni-alumni dari berbagai daerah juga berdatangan untuk hormat haul sekaligus sungkem dengan Kiai Dimyati.
Ada yang khas dari haul Kiai Ibad ini. Setelah haul, masyarakat yang menghadiri menerima makanan tradisional lemper yang dibagikan oleh santri-santri Alfadllu di depan ndalem (baca: rumah) Kiai Dimyati Rois.
Lemper tersebut diproduksi oleh santri Alfadllu yang dibantu oleh beberapa warga setempat di bawah arahan Kiai Dimyati.
Saya masih ingat ketika masih berada di pesantren, biasanya beberapa hari sebelum haul santri-santri sudah mulai mengupayakan daun pisang yang jumlahnya tak sedikit untuk membuat lemper. Pawon-powon tradisional yang terbuat dari tanah juga sudah dibangun beberapa hari sebelum haul.
Satu hari menjelang haul, santri-santri Alfadllu sudah terlihat sibuk sesuai dengan jobnya masing-masing. Santri-santri yang hafal Alquran bertugas membaca Alquran dengan disimak oleh beberapa santri. Santri-santri yang lain ada yang bertugas di dapur menyiapkan segala keperluan untuk haul khususnya pembuatan lemper.
Ada beberapa pemandangan menarik diprosesi pembuatan lemper itu. Misalnya ketika prosesi penyembelihan sapi, kita akan mendapati seorang “algojo” perempuan, yang mungkin jarang kita temui di daerah lain. Dalam proses pemyembelihan sapi itu, bisa diibaratkan jendralnya adalah perempuan yang juga menjabat sebagai lurah di desa tersebut dan santri-santri adalah plajuritnya.
Saya juga masih ingat, dalam pembuatan lemper ini santri putra dan putri bekerjasama. Santri putra bertugas menguliti sapi dan membuat bulatan dari ketan sebagai bahan inti lemper. Lalu santri putri bertugas memasukkan abon dari daging sapi dan membungkusnya dengan daun pisang. Setelah itu, santri putra bertugas menanaknya sampai matang.
Dalam proses pembuatan lemper waktu itu, saya menyaksikan Kiai Dimyati memberi arahan langsung. Beliau mencontohkan kepada para santri bagaimana cara membuat bulatan yang tepat.
Setelah lemper masak, sebelum dibagikan ke masyarakat, lemper tersebut akan dihitung terlebih dahulu. Biasanya lemper tersebut mencapai 12.000 lemper, dan dibagi-bagi dengan beberapa rigen (semacam papan terbuat dari bambu) dan wadah semacam baskom.
Menghitung lemper yang sedemikian banyak tentu tak mudah. Tapi hal itu harus dilakukan, karena akan dilaporkan kepada Kiai Dimyati, atau Kiai Dimyati akan bertanya jumlah lemper tersebut.
Menghitung dan mengetahui jumlah lemper tak bisa ditawar, dan ini bisa diartikan sebagai bentuk pembelajaran Kiai Dimyati kepada para santri tentang kedisiplinan dan ketelitian.
Dalam beberapa hal yang dilalukan santri, Kiai Dimyati sering mengaitkannya dengan kehidupan masyarakat.
“Menata ini aja tidak bisa, lalu bagaimana nanti menata masyarakat,” begitu kira-kira kata Kiai Dimyati Rois yang sering saya dengar dari santri-santri senior.
Kiai Dimyati juga mengontrol betul prosesi pembagian lemper. Beliau menekankan para santri untuk membaginya secara tertib dan tak berebut.
Lagi-lagi hal ini bisa ditafsiri sebagai pembelajaran Kiai Dimyati kepada para santrinya tentang pentingya tertib dalam berbagai hal.
Model pembelajaran Kiai Dimyati yang demikian ini mungkin tak banyak dikirakan oleh orang luar pesantren Alfadllu. Di tengah kesibukan menerima tamu dan undangan diberbagai daerah, beliau masih memperhatikan hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang tidak mendapat perhatian serius: produksi dan distribusi lemper. Namun bukankah belajar kedisiplinan, ketelitian dan ketertiban dimulai dari hal-hal keseharian yang tampak kecil?
Zaim Ahya, Plumbon 24 Februari 2021