Membaca muqaddimah Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah membuat saya terpana. Karya ini ditulis 10 abad lalu, tetapi poin-poin yang tersampaikan masih sangat relevan di era sains modern saat ini. Indeed, Hujjatul Islam without a doubt!

Buku ini ditulis sebagai respon Al-Ghazali terhadap kepercayaan yang dianut “para filsuf”. Para saintis Muslim di era itu yang menganut Natural Philosophy ala Aristoteles. Seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.

Menurut Al-Ghazali, penerimaan para filsuf terhadap sains ala Aristoteles bertentangan dengan kepercayaan ortodoks Islam ala Sunni. Al-Ghazali menuliskan 20 poin tersebut dalam buku ini. Beberapa darinya, saya mencoba untuk menguraikannya.

Pertama, Membedakan mana kesimpulan yang didapat dari metode saintifik dan mana posisi metafisis yang dipegang oleh seorang ilmuwan. Hal ini menjadi penting ketika semakin menjamurnya buku sains populer yang seringkali mengaburkan antara kesimpulan saintifik dan posisi metafisis penulisnya. Kebingungan membedakan keduanya bisa membuat pembaca mempercayai kesimpulan yang dianggap saintifik, padahal bukan.

Salah satu contoh real-nya, pembahasan mengenai evolusi. Pandangan yang menyebutkan bahwa spesies baru muncul dari spesies lama. Sebagai konsekuensi dari mutasi acak dan seleksi alam, teori sains evolusi ini disimpulkan dari data-data obeservasi. Mutasi acak menandakan bahwa alam ini “tidak ada desain, tidak ada tujuan”. Dunia hanyalah produk dari hukum alam yang buta, tidak peduli, dan kejam.

Pandangan dari penafsiran tersebut bagi saya, hanyalah satu dari sekian penafsiran metafisis dari teori evolusi yang mungkin bukan kesimpulan saintifik. Karena, sebuah kesimpulan saintifik bisa memiliki banyak penafsiran metafisis.

Sah-sah saja untuk menerima teori spesies baru muncul dari spesies lama akibat dari mutasi acak dan seleksi alam. Sembari meyakini bahwa setiap prosesnya berada di bawah kendali Necessary Being (Tuhan). Proses mutasi “terlihat” acak bagi kita karena keterbatasan pengamatan kita.

Poin pentingnya, bukan hanya karena seorang ilmuwan mengusulkan teori sains yang kuat dan cocok dengan data observasi serta memiliki kemampuan prediksi yang baik (dan karenanya layak diterima), lantas posisi metafisis yang dipegangnya juga diterima begitu saja. Selanjutnya, menolak posisi metafisis yang dipegang seorang ilmuwan bukan berarti juga harus menolak kesimpulan saintifik yang diajukannya. Poin ini menjadi penting untuk meredam kekeliruan yang bisa membuat saintis antipati terhadap agama.

Menolak posisi metafisis teori evolusi yang membuktikan bahwa dunia produk hukum alam yang buta dan kejam (bukan ciptaan Tuhan), bukan berarti secara serta merta mengharuskan penolakan terhadap teori evolusi itu sendiri. Kesimpulan saintifik dapat kita tolak atau terima dengan basis seberapa baik si ilmuwan menjelaskan data yang ada. Termasuk seberapa akurat prediksinya terhadap fenomena-fenomena lain yang dapat diobservasi.

Sehingga, menjadi keliru dan gegabah ketika menolak teori sains secara buta hanya karena pengusulnya memiliki posisi metafisis yang kita anggap keliru. Bahkan, Al-Ghazali juga tidak membenarkan hal tersebut. Tindakan ini bukan membela agama, tetapi justru merongrong agama.

“Kerusakan pada agama yang ditimbulkan oleh mereka yang membelanya tidak dengan cara yang benar lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka yang menyerangnya”.

Poin ke-tiga, Kesimpulan metafisis tidak bergantung pada detail matematis yang digunakan dalam perumusan sebuah teori sains. Misalnya, hanya karena persamaan differensial yang mendiskripsikan perkembangan alam semesta tidak memuat “Tuhan” di dalamnya, bukan lantas mengkonfirmasi kebenaran posisi metafisis para ateis yan tidak mempercayai Tuhan.

Persamaan differensial ataupun operator matematka lainnya hanyalah alat yang digunakan untuk mendeskripsikan relasi antar besaran-besaran fisis di alam semesta. Ia tidak bisa digunakan untuk sampai ke kesimpulan metafisis apapun, termasuk keberadaan Tuhan.

Pun sebaliknya. Untuk sampai pada kesimpulan metafisis yang benar, tidak memerlukan kita untuk mengetahui detail matematis yang digunakan dalam metode saintifik. Tidak perlu mengetahui general relativity atau quantum theory misalnya, untuk menyimpulkan bahwa sesuatu yang bermula membutuhkan sebuah sebab.

Berikut catatan dalam Tahafut al-Falasifah:

Ahmad Ataka, Roboticist, Teacher @jagorobotika, Writer, and Tradisionalist Muslim (Shafi’i-Ash’ari)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.