Pagi itu, sepupu saya Tolkhah Danial menyamperi saya untuk berolahraga, yang oleh banyak orang disebut dengan istilah “gowes”. Kami, bersama saudara yang lain Dedik Kurniawan, berhasil mengayuh sepeda sampai beberapa kilo meter.

Hari itu adalah pengalaman “gowes” pertama saya. Kendati bisa mengayuh sepeda sejak belum genap sepuluh tahun, saya tak paham cara memindah gigi sepeda. Entah lantaran lupa, atau memang benar-benar tak tahu. Lantaran tak paham itu, saya mengalami kesulitan ketika menaiki tanjakan yang cukup tinggi.

Mengetahui hal itu, Dedik memberitahu saya perihal cara kerja gigi, dan cara mengoprasikannya.

“Kalau jalannya rata, pakai gigi yang berat, dan kalau jalannya nanjak pakai gigi yang enteng”

Dia juga menunjukkan cara menambah dan mengurangi gigi. Dan sejak itu saya pun merasa cukup mahir dalam berpindah dari gigi satu ke gigi yang lain.

Dalam gowes itu saya pun takjub. Batinku, hebat sekali yang menemukan teknologi gigi atau yang dalam istilah kami disebut operan. Orang jadi bisa mengayuh sepeda walaupun medannya menanjak.

Saya memahami suatu hal, ketika berada pada gigi yang berat, cukup sekali kayuh, sepeda sudah berjalan beberapa meter, sedangkan saat berada pada gigi ringan, perlu beberapa kayuhan untuk sampai beberapa meter dari satu kali kayuh ketika di mode gigi berat.

Saya pun berkesimpulan, untuk tahan menempuh jarak yang jauh, memainkan gigi adalah salah satu faktor yang penting. Mungkin hal ini juga berlaku dalam kehidupan. Seberapa tahan kita berjuang, berkait erat dengan seberapa pintar kita mengendalikan “gigi” diri kita.

Zaim Ahya, pemilik kedai tak selesai

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.