Dari Heidegger saya belajar keterlemparan, minimal diksi keterlemparan. Menurutnya, tentu pandangannya menurut pandanganku, hidup adalah keterlemparan: tiba-tiba lahir begitu saja di dunia tanpa kira rencanakan.

Mungkin ada benarnya pandangannya itu. Saya, mungkin juga anda, sering kali begitu saja terlempar dari satu tempat ke tempat lain tanpa praduga sebelumnya. Juga pikiran kita, betapa kadang tiba-tiba menerawang jauh laiknya petualangan di tempat yang tak terlihat tepiannya.

Keterlamparan ini tak selalu mengenakkan, namun juga tak selalu tak enak. Kadang membahagiakan, kadang sebaliknya.

Bahagia dan tak bahagia itu nyata. Enak dan tak enak juga demikian. Nyata. Namun kita bisa menghadapinya sesuai dengan kendali pikiran kita, kata Filosofi Teras atau Stoa. Atau dengan sudut pandang al-Hikam perihal relasi usaha dan hasil dan sebab kebiasaan, sehingga tak putus asa ketika terlempar ke dalam jurang kegagalan misalnya.

Atau kita mau menghadapinya laiknya karakter utama dalam novel karya Camus yang memperoleh nobel itu: Orang Asing.

Karakter utama itu menjalani hidup, tinggal menjalani. Yang terjadi padanya tak mempengaruhi kebahagian dan kesedihannya.

Ketika pacarnya bertanya apakah ia mencintainya dan mengajaknya menikah, oleh Camus dikisahkan jawaban karakter utamanya yang datar saja:

“Itu tak berarti apa-apa, tapi bahwa mungkin aku tak mencintainya.”

“Bagiku hal itu (menikah) sama saja, dan bahwa kami dapat melakukannya jika dia menghendakinya.”

Karakter datar-datar saja menjadi sikap karakter utama sampai akhir. Ia laiknya orang yang terasing dari apa yang terjadi di sekelilingnya, bahkan pada dirinya seperti hukuman mati yang harus ia jalani.

Sikap karakter utama novel Orang Asing ini, tentu lagi-lagi menurut pembacaanku, dikutip Gus Dur dalam salah satu artikelnya di buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Era Lengser.

Di artikel atau kolom itu Gus Dur sedang mengkampanyekan pendidikan yang tak boleh tercerabut dari tradisinya, sejarahnya, dan mengkritik adopsi pendidikan model barat secara srampangan. Di akhir kolomnya itu Gus Dur mewanti-wanti jangan sampai kita terasing dari masyarakat seperti karakter utama dalam novel yang ditulis Camus itu.

Mungkin cukup ini dulu. Tulisan ini mungkin juga contoh dari pada keterlemparan itu.

Zaim Ahya, Pemilik takselesai.com dan kedai Tak Selesai

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.