Keberhasilan Amtsilati mengajari santri bisa membaca kitab hanya dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, selain metodenya yang menekankan banyak contoh yang beragam yang diambil dari ayat Alquran dan berbasis rumus yang sitematis untuk menganalisis, tak lepas dari keberanian penulisnya, Kiai Taufiqul Hakim.

Keberanian tentang apa? Tak lain keberanian Kiai Taufiq menerapkan sistem pembelajaran yang berbeda di dalam pondok yang beliau dirikan.

Kalau umumnya pondok menggunakan sistem madrasah yang mengajarkan beberapa kitab dengan ragam fan keilmuan dalam setiap tingkatan kelasnya, Kiai Taufiq mengambil jalan yang berbeda.

Kiai Taufiq dengan keberaniannya menerapkan sistem pendidikan yang beliau sebut sebagai pendidikan berbasis kompetisi dan kompetensi.

Di pondok yang beliau dirikan itu, pondok Darul Falah namanya, santri baru fokus diajarkan nahwu-sorof dengan metode kitab Amtsilati, karya beliau.

Ketika saya di sana beberapa tahun silam, selain ngaji Alquran setelah Dzuhur dan ngaji bandongan atau pasaran setelah Magrib dan Subuh, santri-santri baru digembleng Amtsilati.

Dalam sehari, Amtsilati diajarkan lima kali: pukul 08.30 sampai pukul12.00 dengan satu kali istirahat, pukul 13.30 sampai pukul 15.00, pukul 15.15 sampai pukul 16.30 dan bakda salat Isya’.

4 kali masuk dari pagi sampai sore santri diajarkan kitab Amtsilati. Lalu malamnya santri setoran materi pelajaran sesuai kapasitas pelajaran yang diserap.

Pembelajaran Amtsliati dibagi menjadi 7 kelas: jilid 1, jilid 2, jilid 3, jilid, 4, jilid 5 dan kelas praktik 1 dan 2.

Sistem kenaikannya, sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, berdasar kompetensi santri.

Santri yang sudah faham dan hafal, dan keduanya telah disetorkan kepada guru, bisa mengikuti tes kenaikan jilid yang dulu diadakan setiap hari Senin dan Kamis. Sedangkan santri yang belum faham dan hafal akan tetap di kelas, jilid 1 misalnya, sampai ia benar-benar faham.

Santri yang lebih mudah menyerap pelajaran, dan naik jilid lebih dulu, biasanya juga membantu kawan-kawannya yang belum faham.

Menurut pengalaman saya sistem semacam ini efektif, khususnya dalam pembelajaran ilmu nahwu-sorof, karena belajar nahwu-sorof itu ibarat membuat bangunan, urut dari pondasi sampai menjulang tinggi.

Pembelajaran nahwu-sorof, dan itu berlaku pula dalam pembelajaran aturan gramatikal bahasa lain, biasa menemui kebuntuan, seperti materi sudah banyak namun murid belum bisa mengidentifikasi kata dan struktur, lantaran ada satu tahap bangunan atau bahkan pondasi yang tak kokoh. Murid, misalnya, akan sangat kesulitan memahami mubtada’ dan khabar ketika tak paham apa itu isim makrifat, lantaran ada kaidah yang menyatakan, “isim makrifat di awal kalimat kebanyakan menjadi mubtada’“. Lalu bagaimana santri bisa mengidentifikasi, dalam membaca kitab kuning misalnya, mubtada’?

Dengan sistem pembelajaran berbasis kompetesi dan kompetensi ini, kebuntuan di atas diupayakan tak terjadi. Karena untuk belajar mubtada’ dan khabar yang kalau di kitab Amtsilati diajarkan di jilid 3, santri harus lulus dulu materi jilid 2 yang diantaranya perihal isim makrifat.

Begitu kira-kira keberanian Kiai Taufiqul Hakim, dan ternyata berhasil. Bukankah begitu?

Zaim Ahya, alumni Darul Falah Amtsilati dan pemilik takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.