Dalam tingkat tertentu, dan sifatnya sepertinya lebih kepada kebutuhan fungsional, para ulama mencantumkan pamahaman sains pada eranya dalam kitab kuning.

Misalnya dalam kitab Taqrib, kitab fikih yang umum dikaji di pesantren, ketika penulisnya, Syaikh Abi Suja’ menjelaskan perihal bersuci yang alat utamanya adalah air, selain menjelaskan tentang kondisi air yang bisa digunakan bersuci dan yang tidak, beliau juga menjelaskan macam-macam air dari asal kejadiannya.

Air yang bisa dibuat bersuci (menurut asal kejadiannya), tulis beliau, ada tujuh: (1) air dari langit, (2) air laut, (3) air telaga, (4) air sumur, (5) air sumber, (6) air salju, dan (7) air es.

Kemudian tujuh air ini oleh Syaikh Muhammad Ibnu Qosim, penulis kitab Fathul Qorib penjelas atas kitab Taqrib memberikan penjelasan tambahan. Misalnya seperti air langit, diberi penjelasan dengan air hujan, air laut dijelaskan dengan air asin, dan air telaga dijelaskan dengan air tawar.

Syaikh Ibnu Qosim juga mengumpulkan tujuh air di atas menurut asal kejadiannya dalam dua katagori: (1) air yang turun dari langit, dan (2) air yang bersumber dari bumi.

Kiai Nawawi Banten yang datang kemudian memberikan penjelasan tambahan dalam kitabnya yang berjudul Tausyekh, yang menjelaskan kitab karya pendahulunya, Fathul Qorib.

Terkait penjelasan air sumur misalnya, Kiai Nawawi mendefinisikan sumur itu apa. Lalu air sumberan atau mata air, Kiai Nawawi membaginya menjadi 3 macam.

Air salju dan air es yang secara sekilas sama, dan belum terjelaskan dalam kitab Fathul Qorib, oleh Kiai Nawawi Banten juga dijelaskan. Air salju, tulis beliau, adalah air yang turun dari langit yang karena sangat dinginnya cuaca lalu mengeras. Kata beliau, air semacam ini hanya terdapat di daerah dingin seperti Syam. Sedangkan air es adalah air yang turun dari langit dengan bentuk padat seperti garam, sebagaimana pernah turun di Makkah.

Dari sekian penjelasan Kiai Nawawi Banten, yang paling menarik perhatian saya adalah saat beliau menjelaskan air hujan atau air yang turun dari langit.

Beliau membagi air ini jadi dua: air hujan dan air embun. Air embun, tulis beliau, turun pada akhir malam hari dan hinggap di tetumbuhan.

Pada penjelasan air embun ini beliau mencantumkan penjelasan perihal “keajaiban” air embun.

Beliau menulis, jika telur dilubangi dengan jarum, lalu isinya dikeluarkan dan kemudian di penuhi dengan air embun, lalu lubang jarum itu dirapatkan kembali, maka ketika tiba waktu istiwa’, telur itu akan terbang.

Ketika membaca penjelasan ini saya kaget lantaran baru tahu, dan ingin mencobanya. Namun karena penundaan yang tak jelas ujungnya, eksperimen itu belum terealisasi.

Pagi ini secara tak sengaja saya berbincang dengan teman yang kemarin jadi pemantik diskusi belut, teman sejawatnya memanggilnya Kecol. Setelah ngobrol ngalor ngidul, karena saya ingin mengunggah hasil jepretan embun tadi pagi, saya bertanya terkait asal embun. Dia pun bercerita, dan tak disangka ia pernah melakukan percobaan yang ditulis Kiai Nawawi Banten di atas.

“Tahu gak?”, ia mulai berkisah, “Air embun itu kalau dimasukkan ke telur dengan suntikan, setelah isi telur dikosongkan, telurnya akan menghilang.”

“Loh, kamu pernah mencobanya?” sahutku. “Itu sama dengan penjelasan dalam kitab Kiai Nawawi Banten. Tapi telur tak menghilang, melainkan terbang.”

Katanya, ia mengetahui itu dari gurunya dulu di sekolah. Dan saya pun mengajaknya untuk melakukan lagi.

Begitulah kira-kira salah satu sains yang termuat dalam kitab kuning. Lalu apa pentingnya?

Bukan apa pentingnya. Tapi artinya kitab kuning terbuka dengan penemuan sains yang sifatnya terus berkembang, yang mungkin berubah bahkan tereliminasi.

Zaim Ahya, pemilik takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.