Pertemuan itu kira-kira terjadi 50 tahun sebelum kemerdekaan, kata Kiai Dimyati Rois Kaliwungu dalam beberapa pengajian.
Adalah Alas Roban Batang yang menjadi tempat pertemuan. Tepatnya di rumah Kiai Anwar Batang, penulis kitab Aisyul Bahri, kitab yang menjelaskan keragaman hayati dan status hukum mengonsumsinya.
Kata Kiai Dimyati, diantara kiai yang hadir pada pertemuan itu adalah Kiai Nawawi Banten dan Kiai Kholil Bangkalan.
Para kiai saat itu beristighasah dengan membaca zikir Musabbi’at.
Mereka melakukan perlawan; melawan dengan doa.
Dalam sejarah besar perjuangan Nahdlatul Ulama (NU), setidaknya ada dua model perlawanan. Yang pertama adalah melawan dengan perlawanan fisik, mengangkat senjata. Ini terjadi dalam peristiwa resolusi jihad, yang sekarang kita peringati setiap tahun dengan nama hari santri nasional.
Perlawan model kedua, kendati tak setenar yang pertama, oleh Gus Dur disebut dengan perlawanan kultural. Gus Dur, dalam salah satu artikel di buku Kumpulan Kolom Artikel Era Lengser, saat mengemukakan perlawanan model ini merujuk kepada perlawanan Kakeknya, Kiai Haji Hasyim Asyari yang enggan membungkukkan badan ke arah timur laut, tempat Kaisar Jepang Tenno Haike bersemayam. Bagi Kiai Hasyim melakukan hal itu adalah tanda dari penyerahan keyakinan bahwa Kaisar Jepang adalah putera Dewa Matahari (Amaterasu).
Penolakan Kiai Hasyim adalah perlawanan. Penolakan itu membuat Jepang berang, dan memenjarakan beliau, bahkan sampai tangan kiri beliau lumpuh.
Namun, perlawanan model ini, kata Gus Dur memberikan bekasnya dalam sejarah — Kalau kita melihat film Sang Kiai, digambarkan bagaimana orang-orang berkumpul di depan penjara dengan membaca selawat, sebagai bentuk protes, supaya Kiai Hasyim dibebaskan.
Kalau merujuk kepada dua model perlawanan di atas, perlawanan dengan doa para kiai di Alas Roban waku itu sepertinya lebih dekat dengan perlawanan jenis kedua: perlawanan kultural.
Dengan berdoa, para kiai membulatkan tekad; tekad untuk melawan!
Zaim Ahya, pemilik takselesai.com
