“Tanda seseorang bergantung pada amal dan karyanya adalah bahwa dia akan cenderung pesimis, kurang harapan manakala dia mengalami kegagalan atau terpleset” [Syaikh Ibnu Athaillah, al-Hikam, Menjadi Manusia Rohani]

“Bukan hal-hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tetapi pertimbangan/pikiran/persepsi akan hal-hal dan peristiwa tersebut” [Epictetus, Enchiridion, Filosofi Teras]

Ada beberapa kemiripan antara dua buku ini: Menjadi Manusia Rohani karya Gus Ulil Abshar Abdalla dan Filosofi Teras karya Henry Manampiring.

Selain sama-sama terbit di tahun 2019 dan ukurannya yang tak terlalu besar, kedua buku tersebut membicang perihal sikap alternatif dalam menghadapi realitas sehari-hari yang kadang tak mengenakkan seperti mengalami kegagalan padahal sudah berusaha keras dan cerdas.

Gus Ulil dengan merujuk kepada kalam hikmah dari Syaikh Ibnu Athaillah, yang notabennya dari tradisi tasawuf, menjelaskan bahwa kehidupan manusia sangat kompleks. Manusia tak bisa mengontrol semua faktor yang berpengaruh dalam kehidupan sosialnya. Oleh karena itu, menurut Gus Ulil, kita harus menyisakan sedikit ruang, bahwa sebuah keberhasilan tak serta merta ditentukan oleh kita sendiri. Ada faktor X yang di luar kendali, yang turut berperan dalam keberhasilan atau kegagalan kita. Kata Gus Ulil, hanya Tuhan yang berkuasa atas faktor misterius tersebut.

Sikap semacam ini jika diterapkan akan membentuk karakter yang tak mudah putus asa. Dalam bahasa Gus Ulil, seseorang yang mengalami kegagalan tak akan ngenes dengan mengatakan: “Saya sudah bekerja keras, kenapa tetap gagal?”

Buku yang disebut kedua juga membahas persolan yang bisa dikatakan sama dengan buku yang disebut pertama, tentu hanya salah satunya sebagaimana buku pertama, hanya saja buku karya Henry berangkat dari tradisi filsafat.

Dengan merujuk kepada beberapa filsuf seperti Epictetus, Henry juga menjelaskan bahwa dalam hidup ini ada faktor yang berada dalam kendali dan di luar kendali kita.

Salah satu yang dicontohkan Henry dalam buku itu adalah persoalan kemacetan yang kadang menghampiri kita secara tiba-tiba. Fakta macet itu di luar kendali kita, namun bagaimana memaknai macet, dengan makna negatif atau positif merupakan wilayah pikiran yang sebenarnya bisa kita kendalikan.

Kalau kita memberi makna fakta kemacetan itu dengan emosional, selain tak mengubah keadaan, akan menguras pikiran kita. Tapi kalau kita sadar, bahwa macet ini di luar kendali kita, dan kita memilih sikap tenang dalam menghadapinya, kita akan bisa lebih hemat tenaga dan mungkin bisa memanfaatkan keadaan tersebut dengan membaca ebook misalnya.

Dalam perihal yang sering dianggap sebuah kegagalan juga demikian. Kita juga bisa memilih makna alternatif yang lebih positif.

Zaim Ahya, 18 Juli 2020 di Kedai Tak Selesai

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.