Pandemi bernama Corona Virus Disease (Covid-19) telah menjadi permasalahan global yang berdampak besar pada tatanan kehidupan manusia. Dalam hitungan bulan, pandemi ini mampu mengguncang sistem peradaban modern yang telah dibangun sejak dua abad terakhir.
Pandemi Covid-19 memaksa manusia yang terbiasa hidup berkerumun untuk menepi dari keramaian. Pembatasan sosial, penutupan rumah ibadah, hingga anjuran bekerja dan belajar dari rumah menjadi aksi nyata untuk meminimalisir penyebaran wabah ini.
Dampak paling buruk dari pandemi menimpa sektor perekonomian di hampir seluruh negara di dunia. Perusahaan menempuh berbagai jalan untuk menyelamatkan bisnisnya. Merumahkan buruh, pemotongan gaji, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran dilakukan atas dalih penyelematan ekonomi.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada Mei 2020 merilis data sebanyak tujuh juta orang telah dirumahkan dan diberhentikan dari pekerjaannya dengan alasan perusahaan terimbas pandemi. Covid-19 secara perlahan meruntuhkan sendi-sendi ekonomi kapitalistik global yang sesungguhnya menjadi salah satu penyebab munculnya virus itu sendiri.
Ekstrasi dan eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh korporasi dengan corak produksi kapitalistiknya menjadi “dalang” dari peningkatan penyakit zoonosis seperti covid-19, SARS, MERS, dan lainnya. Laporan yang dirilis UNEP pada 2016 menyebut aktivitas intensifikasi pertanian, peternakan skala besar, industri ekstraktif, dan perambahan hutan yang menyebabkan krisis ekologis menjadi faktor kemunculan penyakit zoonosis.
Pandemi yang telah berlangsung selama enam bulan berpotensi mengancam keberlangsungan hidup umat manusia. Kemacetan roda ekonomi yang akan berlangsung terus-menerus hingga situasi normal kembali saat ditemukannya antivirus berpotensi menimbulkan krisis pangan.
Pangan menjadi kebutuhan utama warga di masa pandemi yang harusnya dijamin oleh negara sebagaimana mandat Undang-undang Karantina Kesehatan. Namun sayangnya saat pemberlakuan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), kebutuhan pokok warga terutama pangan tidak disediakan secara merata oleh negara.
Kewajiban negara memberikan jaminan pangan tak dilaksanakan dengan baik dan semakin menambah penderitaan warga. Jumlah keluarga miskin dan rentan miskin mengalami kenaikan seturut dengan jumlah kasus positif Covid-19 yang terus meningkat. Kementerian Sosial mencatat terjadinya peningkatan angka kemiskinan akibat pandemi dari 9 persen menjadi 13 persen atau naik 4 persen.
Rakyat Bantu Rakyat Sebagai Respon Pandemi
Di saat negara melakukan penyangkalan adanya kasus covid-19, pengabaian hingga pembiaran atas kehidupan warga. Rakyat sipil berinisiatif untuk menggalang solidaritas melalui gerakan “rakyat bantu rakyat” sebagai bentuk kepedulian kepada warga kelas menengah ke bawah yang terdampak pandemi. Inisiatif dilakukan dengan beragam cara mulai dari pembagian masker, handsanitizer, alat pengaman diri hingga pembagian sembako.
Gerakan rakyat bantu rakyat yang dilakukan di berbagai daerah juga mencoba menjawab ancaman krisis pangan. Dalam skala waktu cepat (kondisi darurat), gerakan ini memberikan bantuan langsung pangan dalam bentuk pembagian makanan siap santap dan sembako.
Pendanaan dari bantuan pangan didapatkan dari iuran pribadi hingga crowd founding. Menariknya, kegiatan penggalangan dana publik dilakukan dengan sangat kreatif seperti menggelar konser amal secara daring. Cara ini misalnya dilakukan oleh almarhum Glenn Fredly dan almarhum Didi Kempot.
Cara lain dilakukan kawan-kawan Solidaritas Pangan Jogja dengan membuka posko yang menerima bantuan dalam bentuk bahan pangan. Selama berjalannya posko, mereka menerima aneka sayuran, beras, hingga umbi-umbian dari sesama rakyat yang sebagian dari mereka justru merupakan warga terdampak konflik agraria dan lingkungan hidup.
Jaringan Masyarakat Miskin Kota (JRMK) Jakarta bersama jejaring kampung-kampung kota menghimpun dana kolektif untuk membeli bahan pangan dari petani Kendeng. Cara ini dilakukan untuk memutus rantai distribusi yang selama ini menjadi sebab rendahnya harga beli dari petani.
Selain soal relasi ekonomi, JRMK bermaksud menghubungkan jejaring warga desa-kota yang sedang berjuang menghadapi berbagai persoalan. Petani Kendeng sedang berjuang menghadapi ekspansi tambang di Pegunungan Kendeng, sedangkan warga kampung kota sedang berjuang untuk mendapatkan jaminan atas ruang hidupnya.
Hal serupa dilakukan juga oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Melalui Panitia Kerja Darurat Ekologi mereka menghubungkan nelayan Pulau Pari yang terdampak Covid-19.
Semula kehidupan warga Pulau Pari ditopang oleh sektor perikanan tangkap dan pariwisata berbasis komunitas. Adanya pandemi berimbas pada ditutupnya kegiatan pariwisata. Hasil perikanan tangkap yang tak bisa dijual langsung mereka jadikan ikan asin. Koperasi warga bekerja sama dengan koperasi WALHI mendistribusikan ikan asin Pulau Pari.
Masih banyak inisiatif lain yang dilakukan oleh individu maupun organisasi di berbagai daerah sebagai respon atas dampak pandemi. Keterhubungan relasi antar sesama rakyat dari berbagai latar belakang seperti buruh, petani dan nelayan menjadi bukti kuatnya solidaritas rakyat. Pengabaian negara mampu dijawab gerakan rakyat dengan kemandirian. Ada atau tiadanya negara, rakyat akan tetap berdiri di atas kakinya sendiri.
Pemanfaatan Lahan, Solusi Atasi Krisis Pangan
Selain respon cepat seperti pendistribusian bantuan pangan. Ada solusi jangan menengah dan panjang yang bisa ditempuh guna menjawab persoalan krisis pangan di masa pandemi.
Berbicara pangan tak bisa kita lepaskan dari aktifitas bercocok tanam. Berbicara bercocok tanam membutuhkan syarat adanya lahan. Penguasaan atau pemanfaatan lahan untuk pertanian merupakan ‘tata kuasa’, satu dari empat tahapan yang oleh WALHI disebut Wilayah Kelola Rakyat (WKR).
Kawan-kawan di perkotaan dengan lahan sempit bisa memanfaatkan pekarangan dan sisa lahan perumahan untuk medium bercocok tanam. Kawan-kawan Serikat Tani Kota Semarang (STKS) bisa menjadi contoh kolektif yang melakukan pertanian di perkotaan.
Jika tidak ada lahan sama sekali, gunakan skema urban farming dengan memanfaatkan pot, polybag, dan paralon. Adapun di kawasan pedesaan bisa memanfaatkan lahan konsesi, lahan terlantar, lahan negara, atau lahan komunal.
Setelah ‘tata kuasa’ atau tersediannya lahan untuk dimanfaatkan. Tahapan berikutnya adalah ‘tata kelola’. Pengelolaan lahan dapat dilakukan dengan diversifikasi fungsi lahan terdiri dari sumber kebutuhan keluarga, sumber pangan, dan fungsi ekologis.
Lahan oleh masyarakat Indonesia di berbagai daerah dimaknai lebih dari sekedar sumber ekonomi semata. Pemanfaatan lahan baik di masa pandemi atau sesudahnya bisa ditujukan untuk melakukan perbaikan fungsi ekologis.
Masyarakat mengenal sistem tanaman campur antara tanaman musim dan tanaman selang. Tanaman musim berumur pendek dan tanaman selang berumur panjang dengan kayu keras yang memiliki fungsi ekologis.
Tahapan berikutnya setelah tata kelola adalah ‘tata produksi’. Pada bagian ini perlu diterapkan pola produksi yang terintegrasi (efektif, efisien, kerjasama dan etis). Tata konsumsi menjadi tahapan terakhir dalam skema wilayah kelola rakyat. Tahap ini memberikan pra syarat terbentuknya kelembagaan usaha komunitas berbasis kooperasi.
Hal ini penting untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Kelembagaan komunal dalam setiap tahapan mulai dari tata kuasa, kelola, produksi, dan konsumsi menjadi pengikat nilai-nilai gotong royong yang akan mampu menahan gempuran model ekonomi kapitalistik yang cenderung individualistik.
Momentum untuk Membalikkan krisis
Pandemi Covid-19 yang mewabah akibat krisis lingkungan harus menjadi titik balik pemulihan krisis. Solidaritas atau gerakan karikatif yang temporer dan sporadis hanya akan menjadi solusi sementara bertahan dari krisis. Kita harus melangkah jauh ke depan pada solusi jangka panjang mengatasi akar persoalan krisis yakni ekonomi kapitalistik yang merusak.
Perubahan perilaku individu tidak akan cukup menghentikan krisis. Kita memerlukan perubahan sistem yang mampu mengubah kebijakan. Telah sekian lama terjadi perampasan lahan, deforestasi demi perluasan industri ekstraktif penopang ekonomi kapitalistik. Bahkan di tengah situasi pandemi ini masih terus terjadi perampasan lahan dengan modus operandi kriminalisasi hingga pembunuhan petani seperti kasus di Kalimantan Timur dan Lahat Sumatera Selatan.
Industri ekstraktif terus beroperasi, sementara rakyat diminta berhenti berkebun atau bertani. Lahan-lahan kelola rakyat harus diduduki, direbut kembali agar bisa dipulihkan sebagai lahan pangan sumber penghidupan.
Politik pangan yang berlangsung di masa revol
usi hijau harus ditumbangkan. Intensifikasi pertanian, penyeragaman pangan, monopoli benih, dan produk revolusi hijau lain harus kita tinggalkan dan tanggalkan. Saatnya benih dan pangan lokal kembali dibudidayakan seperti sagu di Papua atau sorgum di Nusa Tenggara. Kolektivitas dan perjuangan bersama menjadi kunci dari gerakan pembalikan krisis. Saatnya kita kembali ke ekonomi lokal dan pangan lokal melalui gerakan komunal. Rakyat Berdaulat!
Abdul Ghofar