Setelah menerangkan tentang ragam aktivitas positif dalam mengisi kegiatan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dan klasifikasi manusia perihal hubungganya dengan Allah dan sesama manusia, Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah menyatakan, jika kita tak mampu melakukan kewajiban agama dan selamat dari melakukan maksiat saat berkumpul dengan manusia, maka menyepi (uzlah) adalah lebih utama.
Namun jika dalam menyepi kita masih terjerat godaan nafsu untuk melalukan hal yang tak diridhai Allah dan tak bisa melawannya dengan melakukan ibadah, maka tidur menjadi alternatif (terakhir).
Perihal tidur ini, dalam kitab Maraqil Ubudiyah Kiai Nawawi Banten, dengan mengutip Abu Thalib al-Makki, menjelaskan perbedaan pendapat terkait terjaga namun tanpa melakukan ibadah dan tidur yang tak diniatkan taat dan meninggalkan maksiat.
Pendapat yang disebutkan pertama menyatakan, bahwa terjaga dalam konteks di atas, lebih utama dari pada tidur. Karena tidur itu kurang (naqsh).
Sedangan menurut pendapat kedua, tidur lebih utama, karena dalam tidur manusia bepotensi melihat NabiMuhammad, dan orang-orang saleh.
Namun, lanjut Kiai Nawawi Banten, tidur yang diniatkan supaya selamat dari berbuat maksiat dan beribadah di malam hari (qiyanmul lail) merupakan (terhitung) sebagai ibadah (qurbah).
Walaupun tidur oleh Imam al-Ghazali disebutkan sebagai alternatif terakhir melawan maksiat, namun beliau menyetakan keheranannya:
“Betapa lemahnya keadaan seseorang yang keselamatan agamanya diupayakan dengan meniadakan eksistensi hidupnya: tidur”.
Kata beliau, tidur itu saudaranya kematian, meniadakan eksistensi hidup dan menyerupai sesuatu yang tak memiliki ruh.
Zaim Ahya, Plumbon 03 Mei 2020