Sejak Pandemi Covid-19 menyerang hingga hari ini, kita dan sebagian masyarakat Indonesia, barangkali telah cukup jenuh tak terkendali. Dalam benak, kita hanya punya satu hantu pertanyaan: kapan kondisi ini akan berakhir?

Bukan hanya mewabah di satu, dua, atau tiga negara. Sudah lebih dari 209 negara di dunia. Tak tanggung-tanggung, hingga pertengahan april ini (14/4), pandemi Corona telah membunuh sekitar 459 jiwa di Indonesia hanya dalam kurun waktu satu bulan, dan lebih dari 120 ribu jiwa di seluruh dunia dalam jangka waktu empat bulan.

Seperti tidak ada negara yang bisa lari dari pandemi berskala global ini. Dengan penyebaran yang sangat cepat, infeksi Corona layaknya kondisi perang dunia II dengan ironi dan dilematiknya yang akan membekas pada generasi yang terdampak wabah. Dilema terjadi karena pandemi telah mengontraksi ekonomi, bahkan sistem peradaban. Pemenuhan rumah-rumah sakit yang seperti tak sanggup mengurus pasien. Pengosongan ruang-ruang publik telah memisahkan orang dari ruang sosial, tempat kerja, dan ruang pertemanan.

Hal semacam itu telah sangat mengganggu masyarakat. Bahkan mereka yang sering disebut dengan modern, dan sudah terlebih dulu terjerat dalam wabah mematikan dengan skala yang belum pernah disaksikan oleh kebanyakan orang hidup. Karena korbannya melebihi SARS, MERS, dan jenis keluarga corona virus lainnya.

Tidak ada waktunya lagi membahas bla bla bla atau bertele-tele tentang bagaimana Virus corona dan jalannya virus itu datang, atau bagaimana virus Corona tersebut mewabahi, atau bahkan kapan vaksin Corona ini dapat ditemukan.

Namun, sejauh yang diketahui secara empiris, virus Corona yang dijuluki “Covid-19” ini, masih masuk dalam keluarga Corona Virus layaknya SARS dan MERS, namun tidak seganas dua saudaranya itu. Ia bisa menyebar begitu cepat dan menyerang, serta membunuh, terutama yang memiliki kelemahan imun tubuh dan memiliki penyakit sebelumnya. Seperti hipertensi, paru-paru basah (pneumonia), infeksi dan gangguan pernafasan, jantung, TBC, stroke, DBD, dan sejenisnya.

Hingga hari ini, tidak ada lagi negara yang berani meremehkan pandemi yang sedang mewabah. Semua melangkah untuk memutus rantai penyebaran. Mulai dengan physical distancing, PSBB, termasuk langkah lockdown yang membahayakan stabilitas suatu wilayah atau negara.

Meneropong Akar

Di Indonesia, sebulan sebelum pengumuman adanya Corona dan pemberlakukan kondisi darurat Covid 19 (3/3), kita masih menganggap virus ini bukanlah virus yang berbahaya, apalagi akan mewabah seperti sekarang. Hal tersebut terjadi lantaran informasi yang menyebar dari asal virus ini (China) dan kordinasinya dengan WHO dalam memberikan transparansi informasi kepada dunia terkait wabah, sangatlah kacau alias sarat akan misinformasi. Tepatnya di bulan Januari.

WHO seakan krisis otoritas atau bahkan cenderung meremehkan virus di Wuhan kala itu. WHO, pada 14 Januari mengungkapkan, “Investigasi awal yang dilakukan oleh otoritas Cina tidak menemukan bukti yang jelas tentang penularan dari manusia ke manusia dari novel corona virus.” Mereka hanya mengutip apa yang dikabarkan oleh China.

Padahal di hari yang sama, pihak Komisi Kesehatan kota Wuhan dalam buletinnya juga menyatakan, “Kami belum menemukan bukti untuk penularan dari manusia ke manusia.” Namun, pada saat itu pula, pemerintah Cina menawarkan peringatan yang tidak termasuk dalam tweet WHO. “Kemungkinan penularan terbatas dari manusia ke manusia tidak dapat dikecualikan,” kata buletin itu, “tetapi risiko penularan berkelanjutan rendah.”

Dan di saat-saat itu, atau di tanggal-tanggal itu pula, terjadi suatu yang mengagetkan. Adanya kecaman yang tiba-tiba datang dari otoritas di sana terhadap dokter bernama Dr. Li Wenliang, karena telah menyebarkan “desas-desus”. Ia mencoba memperingatkan dokter lain di tempatnya bekerja, perihal “penyakit pernapasan baru”. Yang akhirnya, Dr. Li Wenliang justru meninggal dunia karena penyakit yang bersumber dari virus itu sendiri, pada usianya yang ke 33 tahun.

Di lain pihak, Direktur eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Michael Ryan ketika ditanyai wartawan tentang kasus meninggalnya Dr. Li Wenliang, hanya mengatakan, “Kita semua berduka atas kehilangan sesama dokter dan kolega”. Pihak WHO juga meminta agar tidak menghukum China dan menuduh atas itu. Menurutnya, terdapat kebingungan yang bisa dipahami yang terjadi pada awal epidemi. Jadi, katanya, “kita perlu berhati-hati untuk melabeli kesalahpahaman versus salah informasi; ada perbedaan. Orang bisa salah paham dan bereaksi berlebihan.” begitu.

Terlihat masih belum ada kesadaran atau kesiap-siagaan dini dari WHO tentang penyebaran virus ini akan mewabah dan membunuh ratusan ribu manusia seperti sekarang. Bertepatan dengan itu, Tahun Baru Cina sedang dirayakan. Yang mana, jutaan orang bepergian untuk mengunjungi keluarga dan teman-temannya. Jutaan orang Wuhan masih tidak sadar dan mereka melakukan perjalanan ke seluruh China dan bahkan sanak saudaranya, di seluruh dunia.

Meskipun sudah banyak video-video yang tersebar di dunia maya, bahwa telah terjadi kematian yang semakin meningkat di dataran Wuhan, namun pemerintah China tetap ngotot untuk menutup akses informasi tentang yang terjadi di sana, bersama legacy atau dukungan dari pihak WHO yang telah didapatkannya.

Penulis tak hendak membahas tentang isu atau geger konspirasi virus Corona (dokumen hak paten) yang didapatkan Amerika dan Eropa di tahun 2019, -yang kemudian- dikaitkan dengan corona virus yang menyebar dan belum terselesaikan hingga hari ini. Silahkan bertanya pada para aktivis dan hacker di sekitar anda. Namun yang pasti, akar kecerobohan atau bahkan kebohongan yang dilakukan China dan WHO pada Januari itu dapat menjadi gambaran sebab virus Corona ini begitu diremehkan, dan menjadikannya sebagai martir.

Hingga hari ini pun, justru dunia internasional masih aneh. Pihak Amerika menyebut itu murni kesalahan China dengan sebutan “Chinesse Virus” sedangkan sebaliknya, China tidak mau disalahkan. Mereka melakukan counter attack bahwa virus ini diberi nama “US Virus”. Karena menurut mereka, yang menularkan virus itu pertama kali adalah orang Amerika yang datang ke China. Yang data itu sampai hari ini masih belum jelas.

Negara-negara besar seperti China dan Amerika justru kini telah sedang mendapati ranking tertinggi kematian akibat virus Corona, bersama negara-negara lain seperti Italia dan Spanyol. Meski demikian, mereka juga tak henti untuk jumawa bahwa mereka terus mengklaim diri telah berhasil menemukan vaksin. Ya, meski kematian terus meningkat berlipat-lipat. Ironis.

Faktor-faktor

Wabah semakin tak terkendali. Hingga bulan April ini (14/4), Italia dan Spanyol terus menawarkan peringatan suram tentang masa depan. Infeksi dan jumlah kematian yang mengerikan. Rumah sakit yang tidak memiliki ruangan, menipisnya persediaan alat dan obat, serta staf yang sangat kewalahan.

Menurut beberapa data, kematian di negara-negara latin ini selain karena infrastuktur kesehatan yang buruk, tingginya angka kematian juga dikarenakan jumlah Lansia yang sangat tinggi, yakni kisaran 37% dari populasi negara tersebut.

Selain China, Spanyol, dan Italia, justru Amerika yang meningkat drastis sejak satu bulan setengah setelah penyebaran di negara itu, atau di bulan Maret. AS menduduki peringkat tertinggi angka kematian. Hingga diperkirakan semua ranjang rumah sakit akan penuh pada akhir April. Ada sebuah perkiraan di AS, virus ini akan membunuh 2,2 juta orang di musim panas.

Beberapa pemberitaan mengatakan bahwa angka kematian tinggi di Amerika karena adanya rasialisme. Mereka warga Amerika berkulit hitam (African-American), mengalami kesulitan memperoleh akses kesehatan. lihat: https://bit.ly/2Vwj1N9, https://bit.ly/2XzA1F6, https://bbc.in/2K6b2RQ, https://bit.ly/2VwZhZN. Banyak pihak menilai, rasialisme yang ada di negara Paman Syam itulah yang menjadi alasan utama kematian di negara tersebut, selain adanya faktor lain yakni membludaknya pasien Corona dan faktor sejenisnya seperti Italia dan Spanyol.

Jika ditinjau, Indonesia dan negara berkembang lainnya di Asia yang tentu lebih berbahaya jika dilihat dari kecanggihat alat, infrastruktur, sumber daya, dan lainnya. Dibandingkan negara-negara di Eropa di atas tersebut. Namun apakah Indonesia akan menemui nasib yang sama di puncak pandemi? Belum tentu juga. Semoga saja tidak. Kita hanya diuntungkan berada di negara tropis, di mana Corona virus sulit untuk sampai mampu bertahan layaknya di eropa, meskipun kita masih serba kekurangan. Namun, kita juga melihat langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia, khususnya dalam pencarian alternatif seperti gerak cepat dalam pembuatan rumah sakit dan kelengkapan keamanan kesehatan yang terus dilengkapi.

Kita hanya masih terjebak dalam narasi media yang terus berada di jurang ambigu tentang pengetahuan Corona dan beberapa faktor lain seperti politik di tengah pandemi. Masayarakat dibuat carut marut dalam menyikapi pandemi. Mau bagaimana lagi, karena inilah yang terjadi. Jadi jangan kaget jika nanti ada lonjakan karena beberapa faktor tersebut.

Melihat dari jumlah populasi, Corona akan menyerang populasi Indonesia yang masuk dalam lima terbesar di dunia. Tentu kita bisa melihat India yang lima kali lipat dibandingkan Indonesia, hingga hari ini, masih belum terlihat lonjakan secara drastis penyebaran pandemi ini.

Indonesia juga bisa melihat bagaimana statistik Jerman di masa pandemi ini. Atau barangkali untuk kedepannya. Secara statistik, infeksi di Jerman kejar-kejaran dengan negara-negara yang memakan puluhan ribu korban. Namun Jerman masih cukup mampu mengendalikan serangan virus ini dengan angka di bawah lima ribu. Hal tersebut terjadi karena kesiapan Jerman dalam penanggulangan resiko serangan di kesehatan melalui riset dan pengembangan dalam pengetahuan biomedis dan teknologi terbarukan.

Lahirnya Generasi C

Sejarah terkini memberi tahu kita bahwa orang-orang dalam wabah Corona serta yang terkena dampaknya, hanya dapat melihat atau akan mengingat setelah Corona usai, bahwa karir mereka tergelincir, keuangan hancur, dan kehidupan sosial menjadi kacau. Beberapa media luar negeri menyebut generasi terwabah Corona ini sebagai generasi C, karena berubahnya jalan kehidupan yang secara tiba-tiba dan tidak terprediksi akibat wabah Corona. Generasi yang tumbuh dalam segala macam ketidakpastian.

Sebuah model generasi yang krisis akan sosial karena pembatasan, generasi yang terblokir kreativitasnya, generasi yang berbulan-bulan dipaksa rebahan. Entah sampai kapan, atau bisakah kembali menjadi normal karena sudah membudayanya pola kehidupan “yang meraba-raba” melalui layar gadgetnya. Satu hal lagi, yakni generasi yang tak punya pilihan karena terjebak dalam labirin pandemi.

Maksudnya adalah generasi atau orang-orang yang baru memulai, dan yang akan memulai kehidupan dewasa (nyata), kini, atau setelah mereka hidup di tahun-tahun pandemi, akan diminta untuk menjalani kesulitan keuangan tanpa latihan, dan untuk sebagian besar, tanpa jaring pengaman kehidupan. Pasalnya, khususnya mereka, generasi milenial atau generasi Z yang memiliki dan akrab dengan dunia dengan kemajuan teknologi informasi yang diharapkan dapat memberikan perubahan perubahan secara nyata hanyalah menjadi mimpi. Sebab kini, dinamika generasi berlangsung pasif. Tentu, semua karena pandemi Corona.

Kita, kini sangat sadar karena telah ditampar. Memprediksi masa depan adalah tugas orang bodoh. Bahkan ketika dunia luar terutama Eropa telah lantangnya bicara kemajuan ini itu, namun mereka yang demikian terlihat gagal setelah melewati bencana yang sebelumnya telah dipelajari dan dapat ditentukan problem solvingnya. Bahwa mereka yang mengunggulkan kemajuan-kemajuan yang dilakukan negerinya kini kelimpungan melawan pandemi.

Sampai di sini, hanya ada pertanyaan; Apa yang akan terjadi dengan Generasi C?

Dari Generasi C ke Pembahasan Ilusi Kemajuan

Perang kita (manusia modern) survive di pandemi Corona ini, terutama mereka yang berada di negara yang mengklaim dirinya maju seperti Amerika, China, dan beberapa negara Eropa lain, kini semua dapat berbicara bahwa kemajuan tak henti digaungkan, tak lain hanya layaknya sebuah ilusi.

Kemajuan teknologi dan informasi yang ditawarkan negara-negara besar, atau yang mengeklaim dirinya maju tersebut ternyata tak selamanya benar. China hingga hari ini masih terus bertambah, yang meski di sisi lain, ia terus mengklaim dirinya bisa melawan pandemi ini.

Jika melihat pidato Bill Gates 5 tahun lalu di TED, ia sudah berani memperingatkan bahwa dunia internasional masih belum siap menghadapi epidemi atau pandemi yang lain, selain SARS, MERS, Ebola, dan virus pembunuh lainnya.

Memang, masyarakat modern kita ini cepat sekali melupakan sejarah yang seharusnya bisa menjadi pembelajaran untuk hari depan. Virus SARS, MERS, Ebola dan sejenisnya yang sudah membuat trauma, khususnya warga Prancis, dalam beberapa minggu dan bulan begitu mudah melupakan pelajaran berharga yang sudah menjadi bagian dari sejarah manusia. Hingga hari ini, terjadi lagi problem yang sama.

Frank Snowden, dalam Epidemi dan Masyarakat mengatakan, “penyakit epidemi bukanlah peristiwa acak yang menimpa masyarakat secara acak dan tanpa peringatan,” tulisnya.

Kita cenderung lupa diri setiap merasa sudah memperoleh kebebasan dari belenggu ketakutan. Kemajuan yang diyakini berupa teknologi informasi menjadi mitos belaka. Karena kita masih harus terus akan berjibaku dengan virus-virus lainnya jika tidak segera mengambil kesiapsiagaan secara nasional maupun internasional, terutama dalam bidang riset dan problem solving dalam ironi dan dilema pandemi ini.

Khayalan tidaklah sama dengan kebodohan. Ini adalah kesalahan dari mereka yang lalai dalam banyak hal. Terutama ilmuwan dunia yang selama ini merasa maju, wartawan yang memproduksi informasi menyesatkan, serta para liberalis yang melakukan tindakan kolektif namun menolak upaya-upaya kolektif.

Kembali ke pertanyaan awal: Kapan ini akan berakhir? jawabannya adalah kapan kita sadar bahwa akan ada hal yang lebih besar lagi jika masih hidup sama dengan ratusan tahun lalu?.

Albert Camus menulis, “apa yang benar dari semua kejahatan di dunia juga berlaku untuk wabah,” begitu tulisnya. [*]

Panji Bumiputera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.