Setelah dilantik sebagai presiden RI Tahun 2019-2024, Presiden Jokowi menyampaikan dan mengusulkan penerbitan 2 (dua) Undang-Undang (UU) besar dalam pidato pertamanya. UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui skema Omnibus Law.
Pemerintah merasa perlu melakukan upaya perampingan, pemangkasan serta penghapusan puluhan regulasi selevel UU yang dianggap tumpang tindih dan menghambat kemudahan dalam berinvestasi melalui mekanisme Omnibus Law tersebut.
Sebagian pembaca mungkin belum cukup populer mendengar istilah Omnibus Law ini. Di beberapa negara seperti Kanada, Turki, Selandia Baru, Australia, Filipina dan Vietnam sudah banyak diterapkan Omnibus Law. Tujuannya untuk memodifikasi UU agar sesuai dengan perjanjian internasional. Seperti yang terjadi di Kanada, penyesuaian dalam 23 UU dilakukan agar mampu tunduk pada perjanjian World Trade Organization (WTO).
Di Turki, amandemen penting seperti penambahan perbedaan mata uang berbasis PPN, menentukan kenaikan harga leasing berdasarkan rasio harga konsumen, serta adanya pembebasan pajak dalam pembayaran gaji personil swasta sebesar 70% adalah bentuk pengimplementasian Omnibus Law.
Di Indonesia sendiri, dalam UU skala kecil sudah pernah menerapkan konsep Omnibus Law, seperti UU No 9 tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU yang mencabut beberapa pasal dalam beberapa UU yang berkaitan dengan keuangan, perbankan, dan UU lainnya yang relevan.
Pemerintah menganggap adanya masalah tumpang tindih peraturan antar-sektor, sistem perizinan usaha yang cenderung rumit dan gemuk, serta terkendalanya pelaku ekonomi dalam berinvestasi adalah penyebab turunnya peringkat kompetitif dan rendahnya tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia.
Sehingga, melalui Omnibus Law penyederhanaan regulasi dilakukan untuk mendorong kemudahan berbisnis dan berinvestasi di Indonesia. Jika formulasi kebijakan dalam skema Omnibus Law tidak segera di lakukan, Pemerintah khawatir terjadi perpindahan lapangan pekerjaan ke negara lain yang lebih kompetitif. Kebijakan ini akan menyebabkan jumlah pengangguran bertambah dan Indonesia terjebak lebih lama dalam kondisi negara yang berpendapatan menengah (middle income trap).
Meski publik kesulitan untuk mendapatkan draft Naskah Akademis maupun draft RUU Omnibus Law dari pihak Pemerintah sejak awal ide itu digulirkan. Hasil penyusunan RUU Omnibus Law pada akhirnya tetap diumumkan oleh Pemerintah. RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN), RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian adalah 4 (empat) susunan RUU Omnibus Law yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020.
Sebagai inisiator RUU Omnibus Law sekaligus penyelenggara eksekutif, Pemerintah cenderung tertutup dan tidak memberikan akses kepada publik untuk memperoleh informasi dari dokumen Omnibus Law, bahkan sampai pada tahap penyusunan sebelum RUU disampikan ke DPR.
Ketertutupan Pemerintah menimbulkan prasangka dan pertanyaan di kalangan publik. Sebab, jika memang tujuan dari adanya RUU Omnibus Law adalah untuk kemaslahatan masyarakat, mengapa dalam perancangannya sarat akan keterbukaan dan partisipasi publik. Padahal, partisipasi publik bukan sekedar berbicara tentang keterlibatan para pelaku ekonomi/industri dan komponen instansi/badan di Pemerintahan, melainkan juga masyarakat yang akan menerima dampak dari perubahan regulasi tersebut.
Prasangka publik semakin diperkuat ketika Ombudsman RI menerima laporan aduan dari individu (Anggota Tim Satgas Penyusunan RUU Cipta Kerja) yang diminta agar merahasiakan draf RUU dengan menandatangani surat pernyataan di atas materai (Kompas, 31/01/2020).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada i’tikad baik dari Pemerintah dalam penyusunan regulasi bagi kemaslahatan rakyat. Selain itu, Pemerintah seharusnya memikirkan langkah untuk melakukan pencegahan risiko dampak dengan parameter penilaian yang jelas, mendalam dan partisipatif agar tidak muncul bias dan konflik kepentingan semata.
Konflik kepentingan dan bias kebijakan ini semakin jelas ketika penunjukan ketua tim konsultasi publik jatuh kepada KADIN (Kamar Dagang dan Industri) tanpa adanya kesempatan yang luas bagi para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi sebagai wujud assessment atas dampak regulasi (regulatory impact assesment) yang seharusnya dikedepankan dalam proses pembuatan kebijakan.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terutama Pasal 89 dan 96 telah mengatur kewajiban Pemerintah untuk memberikan akses secara mudah bagi segala rancangan peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk masyarakat. Sayangnya, masukan dari publik sejauh ini masih dianggap tidak cukup memiliki power. Bahkan, permintaan informasi yang diajukan oleh lembaga negara seperti Ombudsman RI pun tidak dipenuhi oleh Kemenko Bidang Perekonomian.
Jika kita amati, dampak Omnibus Law terhadap UU sektoral sebagian besar memandatkan pada pembentukan peraturan lebih lanjut di bawah UU untuk dilakukan pengaturan lebih detail, baik itu melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), ataupun peraturan turunan lebih lanjut di bawahnya. Bahkan, dalam pelaksanaan kegiatan investasi dan perizinan yang mengandung konflik atau dispute di kemudian hari, dalam penyelesaiannya cukup melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Namun, polemik RUU kemudian semakin jelas muncul dalam Pasal 170 Ayat (1) yang berbunyi “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini”.
Ayat (1) tersebut memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk mengubah UU melalui Peraturan Pemerintah. Dan semakin di pertegas pada Ayat (2) dalam Pasal yang sama bahwa perubahan ketentuan dalam UU tersebut diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Selain bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 (dan perubahannya) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal tersebut juga berpotensi melanggar Konstitusi UUD 1945. Sebab, kedudukan PP bukan untuk menggantikan UU melainkan untuk melaksanakan UU pada era dimandatkan.
Pembelaan Menkopolhukan dan Menteri Hukum dan HAM dalam beberapa media yang dimuat dengan argument ‘salah ketik’ atas pasal 170 merupakan preseden paling buruk dalam proses penyusunan peraturan perundangan yang berakibat menimbulkan kesimpangsiuran dan menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Situasi semacam itu seharusnya tidak lagi terulang seperti ketika penyusunan revisi UU mengenai KPK, lebih khusus terkait umur komisioner KPK. Namun demikian, beberapa PP dalam perjalanannya ditengarai memiliki potensi untuk melanggar UU, seperti misalnya di sektor ESDM terdapat PP yang memberikan kelonggaran (relaksasi) atas kewajiban larangan ekspor dan pembangunan fasilitas hilirisasi bagi pertambangan Minerba. Peraturan Pemerintah tersebut tidak selaras dan dianggap bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Hal di atas menganjurkan bahwa dalam pendelegasian mandat UU kepada PP harus dilakukan dengan tepat dan kehati-hatian. Perlu adanya pemilahan dan kajian mendalam terhadap aspek-aspek dan ketentuan apa saja yang seharusnya diatur oleh UU dan apa saja yang seharusnya diatur oleh PP.
Langkah tersebut penting dilakukan untuk memastikan kualitas pembangunan, pendelegasian mandat kelembagaan, serta menciptakan kemudahan dan keberlanjutan kegiatan ekonomi agar dapat memberikan kepastian hukum bagi perekonomian dan kehidupan bertata negara.
S. Fitriatul Maratul Ulya
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Program Beasiswa Kemenpora.