Tepat pukul 13:00, ponselku berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Dari ibu. Bergegas aku mengangkatnya. Sayup terdengar suara yang sudah akrab di telingaku.

Assalamu’alaikum, halo, halo!”

Waalaikum salam. Pripun, bu?” Bergegas kujawab salam beliau, penasaran ada kabar apa gerangan.

Nok, siap-siap ya? Nanti sore berangkat mondok ke Bogor.” Suara ibu menimpali dari seberang.

Dheg! Jelas-jelas ibu memintaku untuk bersiap. Ke Bogor? Kenapa mendadak sekali?

“Kok mendadak sekali, bu?” Tanyaku. Tak sabar mendengar penjelasan ibu.

“Iya nok, barusan teman bapak telepon. Beliau kiai dari Bogor, tanya kalau-kalau sinok jadi mondok ke sana, mau diajak sekalian naik pesawat ke Bogor.” Jelas ibu.

“Naik pesawat, bu?” tanyaku, memperjelas.

“Iya nok. Kamu siap-siap ya sekarang, jangan lupa kirim foto KTP ke ibu, biar dipesankan tiket dulu. Ya sudah nok, wassalamu’alaikum.”

“I…iya bu, waalaikumsalam.” Lalu panggilan berakhir. Aku berusaha mencerna percakapan aku dan ibu barusan. Baiklah, jadi hari ini juga, aku harus ke Bogor. Bergegas aku menyiapkan apa-apa yang harus kubawa serta ke Bogor.

Memang, aku berencana untuk mondok dan melanjutkan pendidikan. Maka aku putuskan untuk menerima tawaran ibu untuk ke Bogor ikut teman bapak yang seorang Kiai di sana. Di sana aku akan belajar al-Qur’an dan menghafalnya.

***

Namaku Min Amrina Rosada. Teman-teman biasa memanggilku Arin. Aku seorang gadis desa yang punya cita-cita tinggi. Baru saja aku menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Tafsir Hadis.

Menurutku, pendidikan S1 saja belum cukup, maka dari itu, aku berencana melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan berburu beasiswa. Aku ingin seperti kakakku yang bisa melanjutkan kuliah S2-nya tanpa membebani orang tua.

Aku ingat betul pesan bapak, “Bapak dan ibu hanya bisa membekalimu ilmu, tak bisa membekalimu harta atau kekayaan lainnya. Makanya, carilah ilmu setinggi-tingginya, karena dengan ilmu, hidupmu akan mulia.” Kata-kata itulah yang membekas di ingatanku sejak aku duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah.

Bukan menyombongkan diri, tapi nasihat bapak itulah yang memotivasiku untuk sungguh-sungguh belajar, sehingga aku sering juara kelas, bahkan aku mendapat nilai terbaik saat kelulusan SMA.

***

“Sudah siap?” Tanya ibu. Beliau baru saja pulang dari pasar, menjajakan dagangannya seperti biasa.

“Insya allah sampun siap, bu.”

“Kalau begitu, kita langsung saja berangkat. Pak Kiai sudah menunggu di Mangkang.” Balas ibu setengah berteriak dari dalam kamarnya.

Akhirnya kami pun berangkat. Aku dibonceng kakakku yang baru saja pulang dari Taiwan, dia melanjutkan studi di sana dua tahun lalu. Sekarang sudah harus jauh lagi dengan adiknya. Sedangkan ibuku menyusul dengan bapak di belakang.

Sesampainya di Mangkang, kami mencari alamat yang dikirim Pak Kiai lewat pesan WhatsApp. Beliau singgah dulu ke rumah karibnya untuk berbekam. Selesai berbekam, kami berbincang-bincang dengan beliau dan tidak lupa bapak memasrahkanku kepada beliau. Waktu menunjukkan pukul 17:20, sudah waktunya bergegas ke bandara Ahmad Yani untuk mengejar penerbangan kami jam pukul 20:00 nanti.

Di tengah-tengah keramaian bandara sore itu, aku berpamitan dengan bapak, ibu, dan kakakku. Tidak lama mereka kembali menuju mobil milik teman Pak Kyai yang memberi kami tumpangan ke bandara.

Mataku sedikit berair, sore ini perasaanku sedikit campur aduk. Belum pernah aku berpisah jauh dengan orang tuaku, apalagi ini bukan perpisahan untuk sehari-dua hari saja. Baru ditinggal sebentar saja rasanya aku sudah merindukan mereka, orang tua yang selalu menyayangi dan mendukung hal-hal baik yang kulakukan.

“Ayo Rin!” Suara berat Pak Kiai menyadarkan lamunanku.

“E…enggih, Kiai.” Sahutku sambil berjalan mengikuti langkah beliau menuju pintu penerbangan.

Dalam hati aku masih membatin, sebentar lagi aku akan tinggal di tempat yang baru. Sebuah pesantren yang terpaut jarak ratusan kilometer dari rumahku. Pesantren yang pengasuhnya adalah teman bapakku sendiri.

Meski Pak Kiai adalah teman seperjuangan Bapak semasa muda dulu, namun aku belum begitu mengenal beliau. Hanya sedikit yang kutahu, itu pun dari cerita-cerita Bapak dahulu. Sebenarnya Pak Kiai pernah sesekali berkunjung ke rumah dengan istri dan ke-lima anak beliau. Namun, itu sudah lama sekali.

“Kamu namanya Arin siapa?” Tanya Pak Kyai mengagetkanku.

“Eh, Min… Min Amrina Rosada, Pak Kyai.” Jawabku dengan sedikit tergagap.

“Kamu sudah pernah naik pesawat atau belum?” Tanya beliau lagi.

“Hmm, belum pernah, Pak Kyai.” Jawabku dengan polos.

“Bapak shalat Isya dulu ya. Nanti gantian saja.” Kata beliau sambil meninggalkanku menuju tempat shalat.

***

KH. Masyhuri, itulah nama Pak Kiaiku. Beliau adalah teman bapak semasa nyantri di Bandung. Beliau dan bapakku sama-sama lahir di Kaliwungu, Kendal. Untuk mendapatkan ilmu, mereka hijrah ke Bandung dan menjadi teman sepengabdian di pesantren yang diasuh Pak Kiai Uyeh Balu Kiyasakir.

Walaupun sama abdi dalem, namun tugas mereka berbeda. Kiai Masyhuri membantu dalam bidang pembangunan dan pengembangan pesantren, sedangkan Bapakku berdakwah ke kampung-kampung. Oh iya, ada satu lagi teman beliau yang bertugas membersihkan ndalem yang sekarang menjadi kiai juga di Bandung dan memiliki Madrasah Ibtidaiyah di sana.

Setelah nyantri di Bandung, Bapak memutuskan untuk kembali ke Jawa Tengah dan nyantri lagi di Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang yang didirikan oleh KH. Chudlori bin H. Ichsan di Desa Krajan. Setelah dari API baru bapak pulang ke kampung halaman dan menikah dengan Ibu.

Sedangkan KH. Masyhuri masih berkelana di Bogor. Beliau nyantri di Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PPIQ) dan turut andil dalam pengembangan pondok pesantren tersebut serta mengabdi kepada KH. Jusup Junaedi Ash-Shomadi, pendiri PPIQ. KH. Jusup Junaedi juga berasal dari Kaliwungu, Kendal.

Beliau mondok di Ngebel, Secang, Magelang kemudian berguru ke Karangjongkeng, Brebes, dan menetap di Desa Laladon, Ciomas, Bogor, pada tahun 1951 dan mendirikan Pondok Pesantren Aula Al-Qur’an (PPAQ) yang kini menjadi PPIQ. KH. Jusup ini sangat menyukai KH. Masyhuri muda dan menikahkannya dengan putri kelima beliau, yaitu Ibu Nyai Maryam Muqnuti dan saat ini dipercaya untuk mengasuh Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PPIQ) ini.

***

“Perhatian, perhatian. Dimohon kepada para penumpang untuk mempersiapkan diri dan segera memasuki pesawat tujuan Bandara Soekarno Hatta.”

Pak Kiai dan aku bergegas mengangkat barang bawaan dan berjalan menuju pintu masuk pesawat Citilink. Kami terbang selama satu jam dan sampai ke Bandara Soekarno Hatta pukul 21.00 WIB. Kemudian Pak Kyai memesan Grabcar menuju Bogor.

Dalam perjalanan, kenanganku menderas dan penuh syukur, aku selalu berada di antara orang-orang baik dan bertemu dengan orang-orang baik yang lain. Aku bertanya-tanya, skenario macam apa yang Allah SWT rencanakan untukku?

Layla Lutfia
Santriwati Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur’an
PPIQ Ciomas, Bogor.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.