Joker sempat menjadi bagian dari “ketololan sosial”, sebelum ia menunjukkan buku ‘Joker’s Joke Book‘ miliknya itu kepada psikolognya.

Di sana ternyata tertulis; “Aku harap bisa mati yang lebih rasional daripada hidupku”.

Setelah mengetahui kalimat itu, diketahuilah pula sebuah kejelasan; terjadi proses “kesadaran” atas sebuah “tragedi” yang selama ini dilematis dan menghantui kota Gotham. Kota sarat tragedi.

Di latar tahun 80-an itu, faktanya, Joker tidaklah seorang yang hidup sendirian di zona “ketololan sosial”. Terbukti, setelah sosok yang bernama asli Arthur Fleck itu membunuh tiga orang kaya tapi berandalan, lahirlah Joker lain yang memakai simbol berupa topeng a la Joker.

Tragedi yang ada di Gotham itu tidaklah dapat dilepaskan dari ayah Batman (Thomas Wayne). Ia sering muncul di media dan televisi dengan pidato elitnya, seakan-akan Gotham yang sebenarnya telah dan sedang gelisah karena kacaunya kondisi sosial tetap dapat dikontrol olehnya.

Hingga setelah Joker membunuh tiga orang kaya berandalan karena menganiayanya, Wayne dengan gagah dan yakin berpidato bahwa tiga orang tadi adalah orang baik dan Joker harus segera diburu. Namun di sisi yang lain, realita Wayne tersebut berbeda dengan fakta di lapangan. Penembakan yang di lakukan Joker dianggap benar oleh masyarakat. Di sini, Joker-joker lain justru mendapatkan momen untuk berkata jujur melalui medium topeng badut layaknya make up Arthur.

Gotham memang sebuah ‘tragedi’. Kesenjangan, sulitnya mencari pekerjaan, kriminalitas, dan tragedi-tragedi lainnya, yang meskipun demikian, dialektika dan proses sosial change jalan ditempat. Tokoh layaknya Wayne yang diharapkan hanya sibuk berpidato memberi kalimat-kalimat mutiara di media dan membungkus kesakitan serta sisa-sisa harapan untuk perbaikan sosial menjadi hal wajar saja.

Joker memulainya. Melalui wajah badutnya, menggerakkan kesadaran dari kondisi ketololan sosial yang dibentuk para plutokrat. Di sini, “give them mask, they will tell the truth” kata V (topeng Guy Fawkes) pun nyata adanya.

Arthur dan Dialektika Hidup

“Art” teman sepekerjaannya biasa memanggilnya. “Happy” julukan kecil dari ibunya hingga ia dewasa.

Dua simbol di mana kita bisa membaca “Art” adalah tentang seni/sasta/merdeka, dan “Happy” adalah tentang hidup ideal yang ada di dalam Joker (seorang warga Ghotam) adalah suatu kepalsuan dan tragedi. Joker tidak pernah bahagia meski satu menit saja.

“Sepanjang hidupku, aku tidak tahu apakah aku benar-benar ada.”

“Aku pikir hidupku ini tragedi. Namun kini aku sadar ternyata hidupku hanyalah komedi.”

Cita-citanya menjadi seorang komedian untuk membahagiakan orang lain tak pernah terjadi. Sebab nyatanya “komedi” di Gotham adalah juga bentukan dari ketololan sosial industrial. Lelucon Arthur yang diperspektifkan tidak lucu menjadi bahan Murray, sang penyiar TV, untuk jadi komedi versi media massa.

Arthur tidak sendirian. Demonstrasi di Ghotam semakin meningkat dan memanas.

Ibunya, satu-satunya orang yang menganggapnya ada pun terpaksa harus ia bunuh setelah membaca dokumen kalau ia bukanlah seorang anak hasil dari hubungan Wayne dan ibunya, melainkan anak asuh dari perempuan psikopat.

Sebagai penonton, apakah kita langsung percaya begitu saja bahwa dokumen itu benar? Sedang di sisi lain, melihat Wayne ayah Batman yang demikian, memandang kota Ghotam yang sedemikian ironis.

Joker, Ghotam, dan Dialektika Sosial

Kehidupan dan wajah Joker menjadi simbol wajah Ghotam yang sebelumnya “tolol” alias “tidak adanya lingkungan kritis”, kemudian menjadi sebuah “gerakan pembebasan” dari cengkeraman kepalsuan yang berwujud “mitos dan sistem yang sistemik” di sebuah kondisi dan lingkungan sosial.

Tentang ketololan, ada beberapa akar yang membuatnya ada. Pertama, ketololan berakar pada keengganan untuk belajar. Kedua, ketololan berakar pada rasa takut. Terutama takut akan perbedaan. Tiga, ketololan juga berakar pada ketakutan akan perubahan.

Sebuah eksistensi, barulah dianggap ada ketika ia seirama dengan pola yang sudah dibentuk. Dan pola nyatanya adalah dari mereka yang materialistik dan kapitalistik bukan humanistik dan etik. Siapa yang berbeda tidaklah diberi ruang bersuara bahkan harus dilabeli “psikopat”. Meskipun katanya setiap orang sudah merdeka.

Joker dan dialektika kota Ghotam memang sebuah imaji namun juga sangat dapat pula untuk menjadi representasi. Terkadang memang kita dapat menjadi “tahu” tentang apa yang disebut “benar dan kenyataan”, yang bukan hanya “lihat” saja, setelah mendapati proses “krisis”.

Namun untuk menjadi tahu, bahkan bisa menjadi sebuah keniscayaan yang entah sampai kapan masanya, meski kenyamanan yang diamini itu ternyata tragedi dan ironi. [k]

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.