Ketika saya ke Cirebon tahun 2012, saya antara lain ketemu sama Ubay Baequni, sastrawan setempat yang sempat meraih rekor MURI kategori pembacaan puisi terlama. Di ujung pertemuan, dia bilang ke saya harus ke Babakan, Ciwaringin, Cirebon.
“Kamu harus sowan ke Nyai Masriyah. Kalau tidak bisa waktu dekat ini, suatu saat kamu harus ke sana”.
Mendengar kalimat Ubay yang mengandung perintah tersebut saya lumayan kaget. Saya mendengar nama tersebut baru kali itu. Apa urgensinya saya harus sowan? Masriyah Amva merupakan figur penting dalam dunia sastra terutama di kalangan Cirebon dan perempuan satu-satunya yang fokus dan peduli terhadap sastra. Kata Ubay kemudian.
Ubay membuat saya penasaran. Saya belum pernah melihat wajahnya bahkan di dalam poto. Hanya sekelumit info tentang Masriyah Amva yang disuguhkan Ubay kepada saya. Selebihnya ia tak bercerita apa-apa tentang nama itu, ia hanya menyuruh saya ke Kebon Jambu, titik.
Empat tahun kemudian, di tahun 2016, Kiai Husein Muhammad mengirimkan pesan singkat kepada saya. Nada pesannya nyaris sama dengan Ubay Baequni. “Ada Nyai Masriyah, penyair lagi di Mesir. Temui”. Kata beliau singkat.
Membaca pesan tersebut saya ingat perintah Ubay yang belum terlaksana. Saya kembali penasaran, seperti apa istimewanya Nyai Masriyah bagi saya sehingga dua tokoh penting sastrawan itu sampai memberikan perintah untuk lekas sowan. Kiai Husein, seperti halnya Ubay, sama sekali tidak bercerita panjang lebar. Namun justru itulah yang menjadikan saya tidak memiliki kepentingan apapun selain untuk menunaikan tugas sowan –nyadong berkah.
Mulailah saya mencari informasi di mana beliau menginap. Setelah satu hari mencari, ndilalah ada seorang teman yang kebetulan bercerita kalau ia baru membaca buku dengan penulis Masriyah Amva, di KSW. Ia juga bilang kalau di papan tamu ada nama tersebut. Kok ndilalah teman saya itu baca dan hafal. Saya menyebutnya isyarat yang direncanakanNya. Saya mencari seharian, tapi begitu saya berhenti mencari ujuk-ujuk ada yang memberitahu. Saya bersyukur.
Maka pagi itu, pukul 9 waktu Kairo. Saya meluncur ke KSW, Hayyu Ashir. Tempat dimana beliau mukim selama di Mesir. Percakapan pertama, saya langsung menyampaikan pesan dari Kiai Husein. Beliau seketika tertawa.
Berikut adalah bagian-bagian yang masih saya hafal dari dawuh-dawuh beliau. Kerja dokumentasi saya agak lemah, jadi ini hanya sebagian kecilnya saja. Dan berikut saya pilih secara acak, juga memakai bahasa yang saya olah ulang. Di samping saya tidak hafal persis redaksinya, beliau juga memakai Bahasa, yang kadang-kadang cirebonan. Tapi tidak akan mengurangi maknanya— insya Allah.
“Yang menjadikan saya dikenal begini ini ya Kiai Husein.” Kata Nyai Masriyah memulai. “Ketika suami saya meninggal, hatiku sedih sekali. Setiap hari menangis. Kemudian suatu saat Kiai Husein datang ke rumah, memaksa saya untuk menulis. Padahal saya tidak pernah membaca dan apalagi belajar menulis.” Lanjut beliau dengan mata berkaca-kaca.
Belakangan saya mencari info kalau Nyai Masriyah ternyata produktif memproduksi karya tulisnya. Di sela tangung jawabnya yang demikian padat— mengasuh seribuan santri, dan tuju putra-putrinya, beliau masih sempat menulis lebih dari lima buku. Tebal-tebal. Saya tersindir.
“Orang-orang itu aneh. Ketika saya menulis tentang perempuan, saya langsung dicap Tokoh Gender. Padahal sebenarnya itu saya memperjuangkan diriku sendiri. Ketika saya menulis tentang kedamaian, keindahan beragama, saya langsung dicap Tokoh Pluralis. Padahal sebenarnya itu saya juga memperjuangkan hati nurani saya.” Kata beliau dengan nada layaknya demonstran. Sangat bersemangat.
Kalau menurut Nyai, FPI itu bagaimana? Tanya saya.
“FPI harus ada. Enggak cuma FPI, tapi yang mirip-mirip FPI harus ada. Itu bagian dari keseimbangan. Kalau tidak ada organisasi semacam itu, NU enggak ada kerjaan.” Kata beliau sambil diiringi tawa.
“Sebenarnya semua benar. Orang kalau mau ke Jakarta lewat Pantura, tidak bisa menyalahkan orang lain yang lewat jalur berbeda. Kamu ke Jakarta naik pesawat, tidak masuk akal kalau menyalahkan temanmu yang memilih naik mobil. Tujuannya sama, ke Jakarta. Yang penting kan sampai tujuan. Jalurnya lewat mana saja ya itu urusan orang masing-masing. Yang sulit itu memilih jalur yang aman untuk sampai tujuan, untuk itu diperlukan penunjuk jalan. Guru.”
Sampai sini kepala saya menunduk, saya memulai berupaya menyerap kalimat tersebut menjadi satu pemahaman dalam konteks lain. Tentu saja yang dimaksud beliau tersebut tidak hanya dalam pemahaman luarnya saja. Boleh jadi dapat ditarik ke dalam agama. Banyak jalan menuju Roma. Bila kita di Indonesia, dan pakai sepeda menuju Roma tentu akan melelahkan dan sampai sana mungkin kiamat kurang dua hari. Tapi kalau kebetulan ada di Italia, boleh jadi kita cuma jalan kaki menuju Roma.
Begitu pula banyak jalan menuju Tuhan. Dalam konteks Islam, ada empat madzhab. Kita boleh memilih salah satunya. Dalam konteks Syafi’i, ada sekian pendapat—arjah, rojih, ashoh, sohih dan lainnya. Dalam konteks golongan, ada banyak organisasi—NU, Muhammadiyah, dan lainnya. Dalam konteks pendidikan, ada banyak jenis pesantren yang menawarkan sistem pembelajaran. Dalam konteks kiai, ada banyak macam yang bisa kita ikuti.
Orang Jawa Tengah bisa memilih kendaraan untuk menuju Monas—kereta, mobil, pesawat sepeda motor. Tergantung pribadi dan kebutuhannya. Orang Jakarta sendiri cukup jalan kaki. seorang Kiai memberikan ijazah kepada muridnya juga tergantung orang dan kebutuhannya. Kalau pejabat tidak mungkin dikasih amalan I’tikaf sepanjang hari. Kalau pekerjaannya ojek, tidak mungkin dikasih amalan baca tasbih tiga ribu kali tiap habis salat. Orang miskin tidak mungkin dikasih ajaran keutamaan haji mabrur. Boro-boro haji, makan saja susah. Orang yang lagi sakit tidak mungkin dikasih tahu keutamaan puasa.
Sehingga dengan pemahaman seperti itu, tidak ada ruang di dalam diri kita untuk mencela orang lain yang kedudukan dan kebutuhannya juga lain. Kalimat yang diluncurkan Nyai Masriyah tersebut membuka pemahaman baru untuk saya olah ulang. Saya berutang rasa terhadap beliau.
“Saya ini seniman, saya penyair, saya metal. Saya tidak bisa memakai pakaian seperti Bu Nyai kebanyakan. Saya tidak bisa menutup-nutupi jati diri saya dengan berpura-pura begitu”.
Saya tersenyum mendengar dawuh beliau yang membuat bulu kuduk saya bergidik. Saya kini tahu mengapa Ubay dan Kiai Husein sampai mewajibkan saya untuk sowan beliau.
“Saya pernah diajak Ken Zuraida, istrinya Rendra itu, untuk main teater di TIM (Taman Ismail Marzuki). Ternyata untuk membaca puisi saja di dalam teater, Rendra mengajarkan untuk melakukan tirakat lebih dulu. 11 hari puasa mutih. Waktu itu mengadakan Teater Barzanji dengan Ken Zuraida. Latihannya sampai enam bulan” Cerita beliau.
“Saya melihat orang-orang Budha itu tirakatnya luar biasa. Jam dua malam sampai subuh hanya duduk, dan membaca wirid versi mereka. Dan itu dilakukan setiap malam. Harusnya kita juga bisa melakukannya. Saya yakin Fir’aun bisa sampai begitu itu dulu tirakatnya pasti luar biasa. Tirakat itu tidak di Islam saja, lebih-lebih di Pesantren. Di semua agama ada, tapi tujuannya yang mungkin berbeda.”
“Ketika saya baru menerbitkan buku Bangkit dari Terpuruk, Pak Nazarudin Umar bilang sama ajudannya ingin ketemu saya. Setelah baca buku itu. Maka ketika saya bertemu beliau, kita banyak diam. Kata-kata seolah tidak berguna. Seolah-olah kita dialog lewat batin.”
Saya membayangkan pertemuan tersebut pasti sangat sublim. Semua sudah dijelaskan melalui gerak naluri masing-masing.
“Kiai Zawawi Imron, penyair dari Madura itu juga sering main ke rumah saya.”
Sudah dua jam lebih kami hanya diam saja kecuali beberapa saja menimpali, akhirnya Nyai Masriyah membaca puisi yang sudah dihafalnya. (Mohon nanti dikoreksi kalau ada yang keliru teksnya.)
“Aku mencintaimu
Tapi tidak sudi menyebut namamu
Aku lebih suka menyebut nama Tuhan
Sebab namamu sudah ada di dalam nama Tuhan
Jika kamu merindukan surat-surat yang aku tulis
Bacalah surat-surat Tuhan. Surat-suratku tersimpan di dalamnya.
Jika kamu rindu bertemu denganku
Temui saja Tuhan melalui tahajudmu
Aku ada di sana”
Ketika Nyai Masriyah membacakan puisi-puisinya, saya merasakan ada sesuatu yang tergetar di jantung ini. Mungkin beliau tidak mahir deklamasi, tapi bagaimana caraku untuk tidak tergetar bila apa yang diucapkan Nyai Masriyah terbit dari cinta yang senantiasa berdebar? Beliau banyak sekali membacakan puisi dengan menghafal. Tapi saya hanya ingat itu. Setelah berpuisi cukup lama, kemudian beliau dawuh lagi.
“Kamu kalau mencintai perempuan, jangan sampai mengandalkan kekuatanmu untuk memilikinya. Mintalah sama Yang Memiliki perempuan itu, dengan cara menaatiNya, dengan cara berdoa. Kalau kamu sudah disenangi sama Dia, pasti apa pun akan diberikan, lebih-lebih hanya perempuan. Surga saja diberikan. Di sinilah fungsinya puisi. Kan tidak ada to, puisi yang tidak romantis? Doa harus romantis. Orang minta sesuatu ke pacar saja merayu kok, dengan kata-kata yang romantis. Masa’ mau minta sesuatu dengan kata-kata kasar?”
“Puisimu bagus. Saya suka. Tapi mulailah belajar untuk tidak mengandalkan olah otak. Kamu harus sabar menunggu sesuatu dari langit jatuh ke hatimu dulu. Menunggunya ya dengan cara berbuat kebaikan. Kamu tidak harus melulu baca dan menulis. Kamu harus juga memancing— kalau Nabi istilahnya Wahyu, kalau orang biasa ‘inspirasi’ tersebut juga dengan beramal kebaikan.” Kata beliau sambil membuka-buka buku Mantra Asmara.
Sampai ketika saya menulis ini, saya akhirnya menemukan alasannya mengapa dulu Ubay sampai mengharuskan saya untuk sowan ke beliau. Dan kini saya mengerti mengapa Kiai Husein juga sampai menurunkan perintah untuk sowan, dan itu sekaligus mempertegas interest saya selama bertahun-tahun untuk bisa sowan. Dan selama tiga jam itu saya banyak diam. Saya hanya ingin diam saja agar saya bisa merekam setiap kalimat yang diucapkan oleh Nyai yang tergolong Perempuan Langit ini. Bu Nyai yang penyair, yang seniman, yang metal, yang romantis, yang sufi.
Sekian.
Kairo, Juni 2016.
Usman Arrumy, penyair.