Saya mondok di Djagalan tak seberapa lama untuk ukuran santri serius, hanya 10 tahun secara akumulasi, sebab ada era di mana saya sempat mbalelo tidak berangkat mondok dan hanya main-main saja di rumah. Saya tak termasuk golongan santri yang dalam kehidupannya di pesantren upyek terhadap kitab melulu, saya lebih sering cangkrukan di warung kopi. Kalau tidak di warungnya Bang Jhon, ya di Mbah Satir. Kalau pas tanggal tua, dan kebetulan anggaran sedang defisit, ya cuma tenguk-tenguk di kamar saja.

Tiap Jumat Kliwon, ketika istighosah saya hampir tak pernah ikut zikiran, kalau pun ikut mulut saya hanya umik-umik. Tidak sempurna pelafalannya. Hal itu karena saya lebih sering jadi satpam di pinggir jalan, ikut membantu pak polisi mengatur lalu lintas. Atau di belakang ndalem nyuci piring. Bisa dihitung jari saya ikut istighosah secara khusyuk.

Saya jadi teringat, ketika bapak saya mengantarkanku ke pondok Djagalan untuk pertama kalinya—setelah setahun mangkrak di rumah, beliau hanya berpesan;

“Kamu aku antarkan di pondok sini, terserah mau ngapain. Ngaji atau tidak itu urusanmu. Aku cuma bertanggung-jawab memberi uang saku. Tapi satu yang harus kamu pegang dan harus kamu jalani, yaitu jangan sampai su’u dzon terhadap putra-putrinya Mbah Dim, apalagi kepada Mbah Dim sendiri. Jangan sampai, jangan sampai, jangan sampai. Kalau sampai kamu berprasangka buruk terhadap keluarga ndalem, aku tidak ridho sampai akhirat”

Begitulah pesan satu-satunya bapak ketika mengantarkanku mondok di Djagalan. Sebagai bocah berusia 12 tahun, saya kira itu bukan sebuah pesan yang sakral. Saya anggap pesan itu hanyalah gema yang sayup menguap. Namun, bertahun kemudian saya baru merasa kalau pesan bapak tersebut cukup berarti bagi keberlangsungan saya selama di pondok. Hari demi hari saya melalui kehidupan di pondok dengan perasaan aneh. Saya menghadapi persoalan yang cukup pelik.

Saya pernah mbatin; “Ini Kiai, tapi kok mobilnya sak arat-arat—BMW, Alphard, Jeep Wrangler, Ford Ranger, dan mbuh merek apa lagi.’’ Saya ngelus dada karena mendadak saya menyadari saya telah melanggar perintah bapak saya. Astaghfirullah.. Lebih gawat dari itu ialah saya telah membangun sebuah jurang untuk saya terjuni sendiri.

Hingga suatu hari saya tercengang ketika mobil BMW yang tiap hari terparkir di depan ndalem tersebut digunakan hanya untuk mengangkut gabah. Dan mobil Ford Ranger hanya digunakan untuk mengangkut ikan bandeng. Saya tersentak oleh sesuatu yang dulu saya unen-uneni. Saya dinasehati tidak dalam bentuk kata-kata atau bahkan fatwa sekalipun, namun saya dinasehati oleh kejadian. Seolah-olah Mbah Dim tahu benak saya sehingga harus memberi edukasi dengan cara memperlihatkan bahwa semua dunia yang tampak ini hanya ada di telapak tangan, tidak berada di dalam hati.

Pesan bapak satu-satunya itu tiba-tiba terngiang. Dan lutut saya gemetar. Saya sering merenung di aula Mushola tingkat dua—yang bangunannya bersebelahan dengan komplek A, hanya untuk mengamati suasana ndalem. Saya merasa tentram tiap melihat ndalem sepuh. Bangunan kuno dengan cat hijau tua. Di situlah Abah dan keluarga tinggal.

Rasa-rasanya, tirakatku waktu di pondok dulu tidak poso mutih atau ngaji atau bahkan ngerowot atau apa lagi ndawud (karena memang Abah melarang untuk itu), namun tirakat saya adalah berjihad untuk tidak berprasangka buruk terhadap keluarga ndalem. Saya tak terlalu yakin kalau poso atau tiap sesuatu yang saya lakoni selama di pondok itu bisa diterima pahalanya. Oleh karenanya, harapan saya sebagai santri hanya agar tirakatku dalam menolak su’u dzon kepada keluarga ndalem, terutama kepada Abah, bisa diterima pahalanya.

Belakangan saya kepikiran, mengapa bapak lebih memprioritaskan untuk menolak su’u dzon dan tidak menyuruh saya agar berusaha untuk selalu husnu dzon? Mengapa barang misalnya bapak tidak memberiku pesan, kamu harus husnu dzon terhadap keluarga ndalem? Memang sudah menjadi watak manusia, bahwa larangan selalu lebih menggoda untuk dilanggar ketimbang harus menunaikan perintah.

Tiga tahun lebih saya memikirkan itu, hingga suatu ketika saya mendapatkan argumentasinya berdasarkan kaidah fikih. Dar’ul mafasid muqoddimi ala jalbil masolih. Menolak keburukan lebih diutamakan dari mengambil kebaikan.

Bapak saya mungkin sudah mengetahui perangaiku yang selalu melibatkan rasionalitas terhadap setiap hal– saya sejak kecil orang yang suka ngeyel soalnya, itu sebabnya bapak berpesan begitu teguh terhadap saya seperti itu.

Saya kini merasa gembira memperoleh pemahaman seperti itu. Saya merasa harus berterimakasih kepada Tuhan untuk sudah diberi kenikmatan menjadi santrinya Mbah Dim.

2

Tahun 2011, kelas tiga Aliyah, hari pertama masuk sekolah, hari senin, ada pelajaran ilmu Falak—astronomi, yang mengajar Pak Ahmad. Saya tidur di kelas lantaran semalaman begadang, Pak Mad membangunkan dan menyuruh saya berdiri dengan satu kaki selama tiga jam. Rupa-rupanya hanya saya yang disuruh berdiri. Saya menerima takziran itu di atas intimidasi dari teman-teman sekelas yang menahan tawa, beberapa lainnya melirik sambil mengacungkan jempol. Bila saya kenang sekarang, suasana waktu itu sungguh destruktif bagi pertahanan psikis saya.

Kejadian tersebut seperti menyodorkan rasa trauma untuk saya tanggung, sehingga setiap hari senin tiba saya selalu mencari celah agar terhindar dari risiko ‘berdiri dengan satu kaki’. Pasalnya. malamnya saya nyaris selalu begadang, sehingga saya tahu persis bagaimana Pak Mad nanti akan menjatuhkan vonis terhadap saya.

Kalau saya di kamar saja, nanti akan ketahuan pengurus, dan itu pula sebabnya saya mengincar zona teraman yaitu depan ndalem: sowan. Maka tiap hari senin saya semacam punya rutinitas duduk-duduk di depan ndalem, karena para pengurus akan mengira saya sedang sowan sehingga beliau-beliau tidak berani ngoyaki.

Ketika hari senin bagi mereka di luar sana, dibuat untuk upacara. Maka saya menjadikan hari senin semacam ritus mencari berkah dan sekaligus menghindar dari ‘berdiri dengan satu kaki’. Dan tiap kali Mbah Dim miyos dan bertanya ada keperluan apa, saya selalu Cuma menjawab ingin salim. Kegiatan salim itu berlangsung selama setahun tiap hari senin.

Belakangan saya mendapatkan pemahaman dari Habib Umar Mutohar—barangsiapa yang pernah bersalaman dengan orang yang bersalaman dan bersalaman dengan orang yang salaman hingga Rasulullah, maka ia seperti bersalaman kepada Kanjeng Nabi.

من صافحنى او صافح من صافحنى الى يوم القيامة دخل الجنة

Barangsiapa yang berjabat tangan kepadaku atau berjabat tangan kepada yang pernah berjabat tangan denganku hingga hari kiamat maka masuk surga.

22 Oktober 2018, Kairo
Usman Arrumy, Santri Alfadllu, Penyair tinggal di Kairo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.