Mimpi merupakan pemberian Tuhan yang biasa kita dapat saat kita tidur lelap. Beberapa kali kita mendapat mimpi yang buruk, menakutkan, bahkan membuat keringat bercucuran saat terbangun. Tak jarang kita menerima mimpi yang menyenangkan, baik soal keluarga, karier, kerabat, atau tentang pujaan hati. Pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur menurut teori Freud memaknai indra dalam mimpi merupakan penampakan dari hasrat dan emosi yang tersembunyi.

Kita terbiasa menganggap mimpi adalah bunga tidur. Seolah-olah seperti harum wewangian bunga di taman, atau sekadar terlintas dalam pikiran. Padahal, mimpi yang kita alami secara manusiawi, merupakan tanda suatu kenyataan saat kita menginginkan sesuatu. Seperti dalam buku “Rudy, Kisah Masa Muda Sang Visioner” menjelaskan fakta bahwa Bacharuddin Jusuf Habibie sejak kecil tak terlalu suka kata ‘mimpi’ sebagai kata ganti apa yang sangat ia inginkan. Baginya, ‘cita-cita’ adalah kata yang lebih menjejak nyata.

Dilarang Bermimpi

BJ Habibie sejak kecil biasa dipanggil Rudy oleh Papi (Alwi Abdul Jalil Habibie). Rudy memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Setiap ia melihat hal baru, atau saat mendapat ‘cerita’ dari Mami (RA. Tuti Saptomarini), ia lebih senang berpikir lalu bertanya kepada Papi atau Mami. Setiap ia bertanya, dalam benaknya ingin selalu mendapat jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan yang sederhana, namun jika kita baca kebiasaan kecilnya yang kurang suka bermain ini justru mempertanyakan hal-hal mendasar dan filosofis. Kita ingat kisah hidup Socrates yang semasa hidupnya bertanya kepada masyarakat Yunani tentang segala aspek kehidupan yang memberikan arti kebenaran, kita pasti akan mengira Rudy adalah anak yang jenius seperti para filosof.

Jika kita membaca buku-buku tentang biografi Rudy, kita akan mendapat pesan tersirat bahwa Papi dan Mami mendidik anak-anaknya sama tinggi dan sesuai kapasitas masing-masing anak. Mereka mewujudkan makna keluarga adalah penyokong. Oleh karena itu ketika Rudy ingin kuliah di Jerman, Mami dan saudari Rudy berjuang mengumpulkan uang untuk dikirim ke Jerman. Rudy ingin membangun industri pesawat terbang bukan karena bunga tidur saja, melainkan keinginannya yang kuat untuk mengharumkan nama baik bangsanya. Walau berawal dari ketakutan Perang Dunia Kedua dan kesedihannya kehilangan Papi untuk selama-lamanya, namun semangat mewujudkan ‘mimpi’ lebih tinggi karena inspirasi terbesarnya: Indonesia.

“Kamu harus jadi mata air. Kalau kamu baik, semua yang di sekelilingmu juga akan baik. Kalau kamu kotor, semua yang di sekitarmu akan mati. Mata air memberi kebaikan tanpa pilih-pilih” pesan Alwi Habibie sebelum meninggal yang tidak ingin Rudy sekadar bermimpi melindungi Indonesia dan menjalankan amanat penderitaan rakyatnya tanpa bekerja keras dan setia pada tanah airnya.

Menjadi Pemuda Visioner

BJ Habibie adalah Bapak Demokrasi Indonesia. Kita tak meragukan lagi keberhasilan beliau mengadakan pemilu (pemilihan umum) multi partai pada tahun 1999, yang saat itu diikuti oleh 48 partai politik (parpol) dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kemudian, kebebasan pers dibuka selebar-lebarnya sehingga membuka pintu demokrasi di Indonesia. Selain itu, beliau juga dijuluki Bapak Teknologi Indonesia. Industri pesawat terbang yang diimpikan menjadi kenyataan. Adanya bentukan visi besar orang tuanya, pengorbanan keluarganya, dukungan para sahabatnya, dan cinta yang setia dari istrinya, menjadi landasan hidup BJ Habibie membanggakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu prinsip BJ Habibie yang harus kita ‘terbangkan’ yaitu ketekunan yang tak pernah padam. Menurutnya, orang besar tidak serta merta karena dia jenius sejak kecil, melainkan harus dibentuk oleh luka, kegagalan, dan pengorbanan. Beliau menjelaskan bagaimana menjadi manusia visioner adalah memiliki mentalitas sepeda.

Ada seseorang bertanya pada beliau, “Pak Habibie, kenapa tidak pernah tidak bekerja? Mentalitas apa itu?” Lalu beliau menjawab, “Mentalitas sepeda. Kalau saya bersepeda, berhenti mengayuh, saya jatuh. Jadi kalau saya berhenti bekerja, saya mati.” Saat ditanya usianya, beliau menjawab usianya 90 dikurangi 10 tahun tetapi jiwanya masih 17 tahun. Alasan-alasannya karena motivasi, yang penting motivasi!

Semangatnya datang atas keyakinan dan kesadaran bahwa beliau adalah manusia, produk dari masyarakat dimana beliau hidup. Karena menurut beliau dan keluarganya – dulu, sekarang, dan masa depan — adalah bagian terpadu dari masyarakatnya. Kalau masyarakatnya makmur, keluarganya juga makmur. Bukankah ini juga berlaku bagi hidup kita (manusia)?

Nur Zaenab, Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial Berbasis Mahasiswa (LKS-BMh), Anggota KSMW Departemen Filsafat & Keagamaan dan Mahasiswi Akidah dan Filsafat Islam (AFI) angkatan 2016 UIN Walisongo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.