Hari Selasa di tahun 2017, saya kirim pesan via WhatsApp (WA) ke Gus Mus, piyantun sepuh yang romantis itu. Menanyakan perihal kapan beliau ada di ndalem Leteh. Beliau menanggapi, “saya di rumah hari Jumat”.

Dengan cara komunikasi via WA tersebut, Jangan dianggap saya sudah begitu dekat dengan beliau, saya butuh waktu sekian hari untuk menghimpun keberanian melepas pesan singkat itu. Saya perlu mendirikan evaluasi apakah secara tata krama sudah patut bila nge-wa penyair cum Musytasyar PBNU ini.

Untuk menggeser sudut pandang tata krama, saya kemudian melakukan pendekatan dari sisi kepenyairan, meski bayang-bayang sebagai ulama, kiai, juga Musytasyar PBNU inheren dengan Gus Mus. Melalui jalur kepenyairan itulah akhirnya saya mempunyai nyali untuk nge-wa beliau. Namun, meski demikian, saya tetap masih dirundung dilema.

Satu sisi saya bangga dekat dengan Gus Mus. Di sisi lain saya khawatir karena boleh jadi kedekatan itu bisa mereduksi ketakziman saya terhadap beliau. Mungkin saja, kan, mentang-mentang sudah merasa dekat lalu bersikap semena-mena, dan ngomongnya tidak tertakar dan terukur. Dan bila sudah begitu, wah.. bisa gawat. Saya bisa kehilangan rasa hormat terhadap beliau.

Repot memang bila hendak memandang Gus Mus sebagai apa. Semua profesi tampaknya wangun disandang oleh beliau. Dari mulai Gus, beranjak ke Kiai, lalu menukik ke seniman—mencakup antara lain penulis, penyair, pelukis, dan merekah sebagai Musytasyar PBNU.

Pantas saja saya merasa dekat dengan Gus Mus karena saya sudah bisa kontak dengan beliau via Facebook sebelum ketemu, terus dilanjut ketika sowan beliau bilang terhadap khalayak tamu kalau saya disebut penyair masa depan Indonesia, atau beliau beberapa kali titip salam untuk saya lewat teman yang sedang sowan, atau karena beliau pernah kirim kopi untuk saya, atau karena sudah bisa wa-an dengan beliau. heuheuheu..

Tapi, diam-diam saya kok jadi curiga jangan-jangan kedekatanku dengan Gus Mus yang saya maksud itu cuma perasaan sepihak saja, paling itu juga timbul berdasarkan gede rumongso. Boleh jadi begitu lantaran saya meyakini Gus Mus akan berbuat baik terhadap siapa pun, toh tidak hanya saya yang akan diperlakukan demikian. Tapi siapa saja yang pernah sowan akan menemukan perintah Nabi—Falyukrim Dhoifahu, sedang berlangsung dalam diri Gus Mus.

Dengan niat silaturrahim, ditambah niat hendak mencari penawar hati, seperti halnya yang disampaikan oleh Ibrahim al-Khowwash—Mujalasatu Shoolihiin, duduk bersama orang yang saleh—tak lain merupakan obat hati, akhirnya saya berangkat atas nama manusia.

Di ndalem Leteh, Kang ndalem menyuguhiku dua jenis kopi. Kok bisa langsung tahu ya kalau saya ngopi? Padahal, tamu lainnya disuguhi teh. Belakangan saya baru tahu kalau di dalam ada CCTV. Mungkinkah Gus Mus memantau siapa saja yang sedang bertamu dan begitu tahu ada saya, langsung menurunkan instruksi kepada Kang Ndalem untuk menyajikan kopi? Ya, mbuuh.

Begitu keluar dengan menyibak tirai hijau, Gus Mus dawuh:

“Mana bukunya?”

Sambil duduk—setelah beberapa saat menerima buku, Gus Mus dawuh lagi.

“Penyair yang menulis puisi cinta, biasanya jomblonya lama”

Mendengar itu, seketika hatiku berdebar. Kudengar tawa di seantero ruang ndalem Leteh signifikan dan bergema secara intimidatif. Sudah dua kali piyantun sepuh yang romantis itu menyematkan label jomblo kepada saya dengan tingkat akurasi yang tampaknya terstruktur. Saya merasa reputasiku sebagai jomblo telah dilegalisir oleh beliau. Seolah-olah, bila kalimat tersebut diperagakan dengan komponen teatrikal, Gus Mus sedang mengenakanku Jubah Kebesaran Jomblo.

“Ini bukunya harus sampean tandatangani dulu biar tidak dituduh beli di Gramedia”. Dawuh beliau ini menjadikan semesta kembali terguncang secara masif dan linier.

Saya termasuk yang menyandang kepercayaan bahwa puncak kearifan ialah mempunyai selera humor yang tinggi, dan humor yang tinggi hanya dimiliki oleh hati yang bersih dari kebencian. Itulah mengapa saya tidak merasa tersinggung ketika Gus Mus mendakwaku jomblo. Bahkan saya merasa bangga. Aneh juga, umumnya bila digasaki itu sebal atau minimal malu, tapi saya malah merasa gembira. Ya, saya patut bangga dan gembira karena yang nggasaki itu Gus Mus. Heuheuheu..

Malam itu, setelah sowan, saya berupaya membuka dialog dengan diriku sendiri. Apakah Gus Mus meluncurkan kalimat itu dengan misi supaya saya lekas menikah? Kalau iya, artinya di balik kalimat tersebut ada doa yang disenandungkan Gus Mus bagi jiwaku. Wah..

Ataukah itu insinuasi dari Gus Mus? Bila ingin lekas bisa menikah, maka jangan melulu menulis puisi cinta? Rasa-rasanya kok jauh panggang dari api.

Di antara dua kemungkinan tersebut, saya lebih sreg untuk memilih yang pertama sebagai bagian dari upayaku untuk khusnu dzon terhadap Gus Mus. Sebab pada gilirannya, lantaran berkahnya khusnu dzon itulah akhirnya tak lebih dari sebulan semenjak Gus Mus menyebutku Jomblo, saya bertemu dengan perempuan yang ketika saya merampungkan tulisan ini, sudah siap untuk menikah dengan saya.

Salam.

11 September 2019
Kairo

Usman Arrumy, penyair.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.