Bersama Bagas, Elisa dan Erik, aku mengikuti kegiatan penelusuran wilayah pesisir Semarang dan Demak pada zona dalam area rencana Tol Tanggul Laut Semarang Demak. Zona dalam area TTLSD itu meliputi Kelurahan Terboyo Wetan, Terboyo Kulon dan Tirtomulyo (Kota Semarang) dan Desa Sriwulan (Kab. Demak).
Kami mengawali penelusuran wilayah pesisir dengan masuk area kawasan industri di sekitar Terminal Terboyo. Dahulu kawasan terminal dan kawasan industri ini sangat ramai dengan aktivitas transportasi dan industri. Aktivitas di kawasan industri dan terminal Terboyo berangsur sepi karena rob air laut yang sering kali datang serta ditambah pemindahan Terminal utama ke Terminal Mangkang.
Kami memasuki setiap jalan-jalan yang menghubungkan masing-masing blok dari kawasan industri Terboyo. Jalan-jalan tersebut kondisinya rusak parah dan tidak beraspal lagi karena sudah ditinggikan beberapa kali dengan tanah dan pasir. Kawasan industri yang masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Terboyo Wetan tersebut sudah sangat lengang dan tidak tampak aktivitas produksi. Kami melihat sebagian dari bangunan sudah kosong dan tidak terawat karena ditinggalkan.
Di sebelah utara dan timur ada perkampungan yang terdiri dari rumah-rumah kecil berderet dekat sungai kecil. Rumah-rumah tersebut tampak kurang rapi karena telah ditinggikan beberapa kali akibat rob air laut. Beberapa rumah terlihat hanya menyisakan 1,5 meter daun pintunya dari tinggi pintu sebelumnya. Beberapa anak terlihat bermain di halaman rumah sekaligus jalan di kawasan industri Terboyo.
Kami kemudian terus menyusuri jalan kecil hingga sampai di Dukuh Nyangkringan. Ternyata dukuh Nyangkringan ini telah masuk wilayah Desa Sriwulan Kabupaten Demak. Menurut seorang ibu pemilik warung yang kami tanyai, jembatan di atas sungai yang kami lewati sebelumnya adalah batas antara Kelurahan Tirtomulyo dan Desa Sriwulan sekaligus batas antara Kota Semarang dengan Kabupaten Demak.
Kondisi di Dukuh Nyangkringan Sriwulan lebih memprihatinkan dibanding kampung-kampung yang kami lewati sebelumnya. Kami melihat bangunan Taman Pendidikan Quran (TPQ) yang rusak akibat rob air laut. Jalan di seluruh kampung ini juga hanya bersisa tanah uruk yang ketika rob air laut melanda akan digenangi air setinggi 20-40 cm. Di Kampung ini kami menemukan banyak orang memancing di kiri kanan rumah warga yang sudah menjadi semacam tambak ikan alamiah.
Kondisi rumah di kampung ini sudah jauh berubah dari kondisi rumah sebelumnya. Bahkan menurut penuturan seorang warga, beberapa rumah dibangun di atas rumah sebelumnya. Alasannya tentu karena mereka lelah meninggikan rumah berkali-kali dengan biaya yang tidak sedikit. Rata-rata warga di dukuh ini telah meninggikan rumah sebanyak 3 kali semenjak rob mulai melanda sekitar akhir tahun 90an.
Hal yang cukup menarik perhatian adalah ketika rumah dibuat dengan model panggung. Rumah dibangun di atas pilar yang terbuat dari beton dengan susunan drum sebagai wadah beton tersebut. Sebagian warga yang “jenuh” dan tidak mampu meninggikan rumah memilih pindah ke rumah anak atau saudaranya di daerah lain dan rumahnya ditinggalkan begitu saja.
Kami berhenti di sebuah warung dan menitipkan sepeda motor di depannya sembari kemudian berjalan kaki mengelilingi kampung Nyangkringan ini. Setelah cukup puas berkeliling, kami kembali ke warung dan membeli air minum. Kami meminta izin kepada ibu pemilik warung untuk wawancara dan beliau menyarankan untuk wawancara dengan suaminya.
Bagas mengambil giliran pertama wawancara sedangkan aku, Elisa, dan Erik ikut mendengarkan sembari sesekali menimpali apa yang disampaikan Bapak tadi. Setelah merasa cukup, kami berpamitan dan bermaksud melanjutkan penelusuran. Elisa dan Erik akan menuju perkampungan paling ujung dukuh Nyangkringan, sedangkan aku dan Bagas menuju Perumahan Pondok Raden Patah.
Perumahan Pondok Raden Patah yang kami datangi masih masuk wilayah Desa Sriwulan Kabupaten Demak. Permukiman ini terdiri dari tiga bagian yang terpisah berdasar periode pembangunannya yakni tahap I dekat jalan raya Semarang – Demak, sedangkan tahap II dan tahap III masuk ke utara menuju laut Jawa.
Dua tahun lalu aku sempat berkunjung ke Perumahan Pondok Raden Patah saat menghadiri pernikahan seorang sahabat. Kondisi jalan sudah berubah cukup signifikan karena sudah ditinggikan alhasil rob air laut tidak menggenangi jalan. Kami cukup beruntung karena datang saat bulan Agustus dimana rob air laut terhitung cukup rendah. Kami hanya melihat air menggenang di lahan kosong tanpa pernah tampak surut meskipun di musim kemarau.
Kami berhenti ujung jalan Pondok Raden Patah III tahap III sembari mengambil beberapa foto. Dekat jalan tersebut terdapat 5-6 bangunan rumah yang langsung berbatasan dengan air laut. Ada satu rumah yang tinggal puing-puing, kami menduga rumah tersebut hancur akibat diterjang ombak laut.
Kami kemudian mampir di sebuah rumah milik Bapak Suwarno untuk melakukan wawancara. Bapak Suwarno merupakan tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama di RT 3 RW 8 Komplek Pondok Raden Patah tahap III. Bapak Suwarno dan keluarga merupakan penghuni generasi awal dari perumahan tahap III yang dibangun pada tahun 1994-1995. Keluarga Bapak Suwarno pindah ke perumahan pada tahun 1998 ketika baru ada belasan Rumah Tangga yang menghuni. Rata-rata penghuni perumahan ini merupakan keluarga pegawai negeri sipil, pekerja swasta dan buruh. Mata pencaharian mereka berbeda dengan penduduk Sriwulan non-perumahan yang dahulunya bekerja di sektor pertanian dan kelautan (nelayan, petambak).
Lahan tempat perumahan Pondok Raden Patah tahap I sampai III merupakan bekas lahan subur persawahan dan lahan tambak budidaya ikan yang diuruk oleh pengembang perumahan. Dahulu lahan tersebut milik Endang Setyaningdyah yang pernah menjabat Bupati Demak periode 2001-2006. Lahan milik Endang tersebut dikelola bekerjasama dengan Bank Tabungan Negara (BTN) untuk dibangun perumahan Pondok Raden Patah mulai Komplek tahap I sampai III. Belakangan pada tahun 2014, Endang Setyaningdyah dipenjara karena kasus korupsi dana bantuan desa. Sedangkan pengembang perumahan mengalami kebangkrutan karena kredit macet akibat gagal bayar. Gagal bayar ini lantaran rob air laut yang berlangsung terus menerus sehingga sebagian hunian rusak dan penghuni memilih pindah tanpa melanjutkan pembayaran cicilannya.
Menurut penuturan Bapak Suwarno, abrasi wilayah pesisir Sriwulan telah berlangsung mulai akhir tahun 90an (1998-19990 karena disebabkan pengurukan (reklamasi) di wilayah Tanah Mas, Marina, Tanjung Mas dan Terboyo. Akibatnya arus laut bergeser ke timur dan sedikit demi sedikit menggerus wilayah pesisir utara Demak termasuk Sriwulan. Menurutnya, abrasi telah mengakibatkan wilayah daratan dekat perumahan Pondok Raden Patah hilang atau berubah menjadi wilayah laut sepanjang 2-5 kilometer dari wilayah daratan sebelumnya. Tetangga desa Sriwulan yakni Bedono dan Morosari menerima dampak paling parah akibat abrasi dan rob air laut sehingga Pemerintah Kabupaten Demak melakukan pemindahan pemukiman ke Tambaksari Baru pada tahun 2004.
Abrasi dan rob air laut yang melanda pesisir utara Demak telah mendorong perubahan mata pencaharian warga dari petani menjadi nelayan dan petambak, dari nelayan dan petambak menjadi buruh pabrik. Abrasi dan rob air laut yang parah tidak hanya menyebabkan hilangnya daratan beserta permukiman dan fasilitas umum, tetapi juga telah mengganggu kehidupan keseharian dari warga pesisir Kecamatan Sayung Demak. Menurut pengakuan Bapak Suwarno, rob air laut sangat mengganggu aktivitas sekolah anak, terganggunya aktivitas bekerja karena putusnya jalan baik sementara maupun permanen.
Sekitar tahun 2007, jalan Kabupaten yang menghubungkan Genuk Semarang dengan Bedono Demak terputus dan hanya menyisakan jembatan beserta jalan di bagian wilayah Bedono. Daratan wilayah Bedono yang masih selamat dari rob air laut kini menjadi pulau tempat dimana terdapat makam ulama’ bernama Mbah Mudzakir. Di komplek makam tersebut masih terdapat 3-5 Rumah yang bertahan dan harus menggunakan perahu untuk menuju daratan.
Warga Sriwulan yang telah bergelut dengan abrasi dan rob air laut selama 20 tahun lebih mencoba beradaptasi dan membangun kesiapsiagaan bencana dalam skala kampung. Di pemukiman Pak Suwarno RT 3 RW 8 telah dibagikan jadwal pasang surut air laut kepada seluruh warga. Jadwal pasang surut air laut ini didapatkan dari Syahbandar Pelabuhan Tanjung Mas yang berlaku untuk wilayah pesisir Semarang dan Demak.
Dari jadwal pasang surut air laut inilah warga mengidentifikasi ketinggian air rob dan kemudian dapat menyesuaikan dengan aktivitasnya. Dari jadwal tersebut, kami melihat ada tabel berisi kolom bulan, tanggal, jam serta ketinggian. Menurut Bapak Suwarno, ketinggian rob air laut dianggap berbahaya jika berada pada ketinggian > 0.8 meter. Ada tanda khusus (*) untuk rob air laut dengan tinggi di atas 1 meter yang disertai ombak keras.
Dari jadwal pasang surut air laut tersebut warga mendapatkan kesimpulan jika bulan Desember-Mei merupakan bulan dengan pasang air laut tinggi. Sedangkan bulan Juni-November merupakan bulan dengan pasar air laut cukup hingga sedang. Siklus pasang air laut juga bisa diperkirakan dengan berdasarkan rotasi bulan. Lima hari mendekati purnama, saat purnama, dan lima hari pasca purnama adalah titik pasang tertinggi karena besarnya gravitasi bulan. Dari pengalaman hidup bersama rob air laut warga kemudian belajar siklus pasang air laut sembari juga memasang sirene yang akan berbunyi saat rob air laut tinggi datang.
Di perumahan Pondok Raden Patah tahap III, air laut sudah masuk persis di belakang deretan rumah paling utara. Sesekali ombak terdengar cukup keras hingga terdengar di rumah Bapak Suwarno yang berada 3-4 gang dari batas laut dan permukiman. Selain masalah abrasi dan rob air laut, warga juga menghadapi masalah menurunnya permukaan tanah yang setiap tahun diperkirakan mencapai 5-10 cm per tahun. Penurunan permukaan tanah telah berlangsung semenjak tahun 2000an sehingga rata-rata sudah 2-3 kali warga meninggikan rumah. Bapak Suwarno sendiri telah meninggikan rumah sebanyak 3 kali dengan ketinggian 1 meter setiap kali pengurukan dilakukan. Biaya menguruk dan renovasi rumah cukup menguras tabungan warga karena perlu membeli tanah urukan, pasir, bata dan material lain. Untuk membeli urukan tanah saja diperlukan biaya 550 ribu rupiah setiap truk dengan volume 5 meter kubik. Tanah uruk tersebut didapatkan dari tambang galian C di Kelurahan Rowosari Tembalang Kota Semarang.
Selama ini warga Perumahan Pondok Raden Patah Sriwulan bergelut dengan abrasi, rob air laut dan amblesan tanah tanpa bantuan dari Pemerintah. Mereka sangat berharap ada solusi secara nyata dari pemerintah agar permukiman tidak tenggelam. Belum lama ini Bapak Suwarno mengikuti sosialisasi proyek Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) di Kantor Kelurahan Sriwulan. Sosialisasi tersebut menghadirkan perwakilan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Adhi Karya. Dalam acara tersebut, warga mendapat penjelasan teknis akan adanya rencana proyek besar untuk mengatasi abrasi dan rob air laut.
Menyikapi adanya Tol Tanggul Laut Semarang Demak, Bapak Suwarno setuju jika memang adanya proyek itu bisa mengatasi masalah abrasi dan rob air laut yang menimpa mereka selama 20 tahun belakangan ini. Dia menambahkan kalau TTLSD akan mulai konstruksi pada awal tahun 2020 setelah mengalami penundaan beberapa kali. Bulan lalu bahkan Kades Sriwulan bersama perwakilan pemerintah dan Adhi Karya sudah mulai melakukan pematokan area yang akan dibangun konstruksi TTLSD. Lokasi pematokan berada di tas laut yang dahulunya adalah daratan. Pemerintah meminta warga untuk tidak menjual tanah karena menjanjikan genangan air abadi di sekitar permukiman akan surut jika proyek ini selesai. Menurut Bapak Suwarno, akan ada pompa besar dan polder (kolam retensi) yang akan memindahkan genangan air ke laut. Wilayah Sriwulan dijanjikan akan berada di rest area tol, sehingga warga diimingi janji untuk terlibat dalam kegiatan usaha.
Sebagian besar warga perumahan Pondok raden Patah setuju dengan proyek ini karena dinilai akan memecahkan masalah mereka. Meskipun ada sedikit kekhawatiran jika wilayah area luar TTLSD seperti Bedono dan desa lain akan semakin terkena dampak abrasi dan rob air laut akibat bergesernya arus laut. Menurut Bapak Suwarno pemerintah telah membeli sebagian lahan di luar area TTLSD yang kemungkinan akan terkena dampak pergeseran air laut. Baginya ganti rugi dengan harga layak memungkinkan warga terkena dampak untuk berpindah ke tempat lain seperti yang pernah dilakukan oleh warga Bedono dan Morosasi ke Tambaksari Baru.
Abdul Ghofar, 25 Agustus 2019