Bukan hanya menghadapi masalah kaum santri dan anak Nahdlatul Ulama (NU) kesulitan membaca naskah-naskah Islam Nusantara, mereka juga harus berhadapan dengan murid-murid para orientalis kenamaan di kampus yang sudah mematok perumusan mematikan dalam membaca teks-teks Islam Nusantara.

Profesor Zoetmulder S.J. misalnya yang memahami secara awam teks-teks suluk pesantren, serta manancapkan “perumusan yang mematikan”. Seperti yang ia tulis dalam bukunya, Panteisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Ketika masuk ke dalam teks-teks sufi seperti naskah LOr 1796, ia memahaminya secara tekstual, seperti cara orang awam. Padahal Zoetmulder adalah pakar sastra Jawa! Tapi kepakarannya tidak dipakai untuk memahami secara pasemon teks-teks tasawuf itu.

Bahkan lebih dari itu. Sambil membaca teks-teks suluk Jawa warisan para Wali, Zoetmulder menulis bahwa orang-orang Jawa itu tidak sepenuhnya beragama Islam: “Deze houding van bewust afwijzen van alles, wat de orthodoxe Islam leert, … het hoogtepunt der volmaaktheid juist in het ongeloovige-, het ketter-zijn (koepoer kapir) bestaat” (sikap ini, ialah dengan sadar menolak apa saja yang diajarkan oleh Islam orthodoks … puncak kesempurnaan justru terdapat dalam orang-orang yang tidak percaya, yang menyimpang dari ajaran benar (kupur kapir); “kaoela-goesti-mystiek, tokid en makrifat, het is alles te verwerpen als strijdig met de volmaakte eenheidsleer” (mistik kawula-Gusti, ajaran tauhid dan makrifat, ini semua hendaknya ditolak, karena bertentangan dengan ajaran kesempurnaan yang sempurna); “die zich aan den orthodoxen Islam houdt, is een ongeloovige en ketter” (orang yang mengikuti agama Islam yang benar, sebetulnya seorang yang tidak percaya dan tersesat); lalu, “Hier geen schijn meer van een compromis met den rechtzinnigen Islam, geen vrees of aarzeling om er zich bewust tegenover te stellen en hem als minderwaardig te verwerpen. Het is een Javaansch monisme in zijn uiterste consequenties” (Di sini sama sekali tidak ada usaha untuk mencapai kompromis dengan Islam othodoks, sekalipun hanya dalam semu. Tak ada rasa takut atau bimbang untuk dengan sadar langsung berkonfrontasi dengan Islam serta menolaknya sebagai suatu ajaran yang tak bernilai. Inilah monisme ala Jawa sampai konsekuensinya yang paling ekstrem). Lihat P.J. Zoetmulder, SJ, Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek Litteratuur (Nijmegen: J.J. Berkhout, 1935), hal. 255, 259, 260, 272.

Kesimpulan Zoetmulder ini betul-betul awam ketika memahami teks sufi seperti ini: “yen tan wruh durung islam; maksih islam ngindanas kukume iku; selame pan seselaman; maksih kapir jatineki”. Seandainya Zoetmulder nyantri dulu di pesantren, saya kira ia akan lebih bijak memahami kata-kata pasemon ini, yang sebelumnya dilontarkan oleh Wali Songo dalam satu teks musawaratan para wali, seperti nanti ditunjukkan dalam buku PESANTREN STUDIES 2B.
Masalah terbesar Zoetmulder adalah dia tidak beragama Islam, sehingga gampang dan tak ada beban untuk menarik konklusi seperti di atas.

Coba kalau konklusi-konklusinya itu kita pakai — semacam writing-back — untuk konteks agama yang dianut Zoetmulder sendiri, misal dalam kasus ada orang Jawa menerapkan monisme-pantheisme ke jantung doktrin Gereja Katolik: “die zich aan den Roomsche Kercke houdt, is een ongeloovige en ketter”, “kaoela-goesti-mystiek, Roomsche Kercke, het is alles te verwerpen als strijdig met de volmaakte eenheidsleer”, “Hier geen schijn meer van een compromis met den Rooms-Katholieke Kerk, geen vrees of aarzeling om er zich bewust tegenover te stellen en hem als minderwaardig te verwerpen. Het is een Javaansch monisme in zijn uiterste consequenties?” Apakah mau ia terima kalimat-kalimat seperti itu?

Ideologi kolonial Zoetmulder ini kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, M.C. Ricklefs, yang menerjemahkan buku gurunya itu ke dalam bahasa Inggris dengan judul Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature: Islamic and Indian Mysticism in an Indonesian Setting (terbit 1995). Buku gurunya itu juga bergema kuat dalam beberapa karyanya tentang nasib Islam di Jawa.

Yang lebih parah: para pengkaji puritan reformis Wahabi di kampus-kampus negeri maupun swasta dapat amunisi pamungkas dari Zoetmulder dan Ricklefs untuk menyebut warisan ilmu tasawuf para Wali Songo itu bukan Islam murni. Islam Jawa itu Islam sinkretik. Islamnya para Wali masih belum sempurna dan naskah-naskah Islam Nusantara penuh khurafat dan takahyul, yang tidak sesuai dengan Alquran dan Hadi.

Kiai Ahmad Baso, Penulis buku Islam Nusantara dan Pesantren Studies

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.