Tahukah Anda berapa jumlah khalifah yang pernah duduk di pucuk pemerintahan Dinasti Abbasiyyah? Selama lebih dari lima abad eksistensinya, Dinasti Abbasiyyah telah 37 kali berganti khalifah. Semuanya meninggalkan jejak berdarah.

Konflik antara keluarga kerajaan dan elite pemerintahan bahkan melibatkan rakyat selalu terjadi untuk mencapai kekuasaan tertinggi. Selama lebih dari 500 tahun, genangan darah 37 khalifah bersama para pengikut dan lawannya, telah menjadi bagian yang mau-tidak mau ikut menyangga kegemilangan peradaban Islam di masa itu.

Perjalanan tersirat Malaikat Izrail menjemput kematian 37 khalifah Dinasti Abbasiyyah tergambar apik dalam buku “Islam Yes! Khalifah No! Jilid 2”, karya Nadirsyah Hosen. Tanpa adanya keinginan untuk menurunkan martabat para khalifah, Nadirsyah Hosen nampak ingin memaparkan fakta sejarah. Bahwa Islam yang digadang sebagai agama rahmatan lil alamin, juga pernah mengalami masa-masa kelam tragedi kemanusian. Bahkan ketika umat Islam berada pada rentan golden age sekalipun.

Saling tikam untuk dapat duduk di kursi kekuasaan sudah terjadi di masa awal berdirinya Dinasti Abbasiyyah. Waktu itu, perintis sekaligus khalifah pertama Dinasti Abbasiyyah, Abu Abbas menghasut rakyat untuk memberontak kepada Dinasti Umayah sebagai pemerintah yang sah.

Abu Abbas menyitir berbagai kezaliman dan kesewenang-wenangan dinasti Umayyah dengan mengutip beberapa Ayat Al Quran. Di antaranya Q.S. al-Ahzab ayat 33 dan Q.S. asy-Syuro ayat 23. Selain itu, Abu Abbas juga menggunakan hadis Nabi Muhammad untuk melegitimasi tindakannya. Terutama hadis riwayat Imam Tirmidzi tentang keutamaan keturunan Abbas. Dalam hadis itu diriwayatkan Nabi Muhammad pernah mendoakan agar Allah mengampuni keturunan Abbas.

Pertumpahan darah pertama yang turut menyangga pondasi Dinasti Abbasiyyah terjadi ketika Bani Umayah mengundang Bani Abbasiyyah untuk menikmati jamuan makan. Di momen itu, Abu Abbas membantai 90 tamu undangan yang hadir dengan tangannya sendiri.

Darah yang berceceran dimana-mana. 90 tubuh tamu undangan jamuan makan bergelimpangan tak lagi bernyawa. Tanpa merasa bersalah, Abu Abbas menutupi hasil kekejiannya itu dengan selembar permadani. Abu Abbas duduk di atasnya, melanjutkan santapan makan dengan lahapnya. Mengerikan, bukan? Setelah peristiwa itu, melekat gelar “as-Saffah” di belakang nama Abu Abbas. Secara harfiah berarti “Abu Abbas Sang Penumpah Darah”.

Pertumpahan darah selanjutnya dilakukan oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Sebenarnya Khalifah Khalifah Ja’far tergolong sebagai sosok yang terpandang, kharismatik, pemberani, sempurna ahlaknya, aktif dalam ilmu, dan beradab mulia. Namun kesalahan dalam memaknai kekuasaan membuatnya gelap mata.

Abu Ja’far menjadi khalifah yang sangat anti kritik. Ia tak segan menyiksa siapapun yang tidak sependapat dengan pemikirannya. Imam Suyuthi memberikan kesaksian bahwa Abu Ja’far menjatuhkan hukuman cambuk kepada beberapa gubernur yang berseberangan pemikiran dengan sang khalifah.

Atas nama khalifah dan khilafah yang merepresentasikan pemeritahan islam, tidak menutup kemungkinan sang khalifah melakukan tindakan terlarang. Seperti yang dilakukan oleh khalifah Dinasti Abbasiyyah selanjutnya; Khalifah Musa. Alih-alih penguasa tertinggi pemerintahan Islam, Khalifah Musa justru gemar mabuk-mabukan, bermain, dan menunggangi keledai.

Pengawal bertubuh tegap dan bermuka garang, selama 24 jam berada di sampingnya. Selalu siap menghunuskan pedang kepada siapa saja yang berani melawan kehendak sang khalifah. Bahkan Khalifah Musa berani meracuni ibunya sendiri karena perbedaan persepsi tentang harta dan tahta.

Tinta Emas atau Tinta Darah?

Pertumpahan darah selama kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, memberikan gambaran akan sisi lain pembangunan peradaban Islam. Masa yang diagungkan sebagai Golden Age of Islam, tidak bisa dipungkiri mencatatkan pula rentetan sejarah kelam.

Di satu sisi, Dinasti Abbasiyyah telah menorehkan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Di sisi lain, dinasti ini pula telah menggoreskan tinta darah. Sebuah catatan tentang manusia yang kalap akan kekuasaan yang mengatasnamakan Islam sebagai legitimasinya.

Bahkan khalifah paling terkenal, Khalifah Harun al-Rasyid, turut menyumbangkan goresan tinta darahnya dalam sejarah Dinasti Abbasiyyah. Di masa awal pemerintahannya sebagai khalifah, Harun al-Rasyid tidak mau memasuki Ibukota Baghdad dan salat zuhur di masjid kecuali di sampingnya terdapat kepala Abu Ishmah yang sudah dipenggal. Sikap ini menjadi simbol atas kekuatan militer yang dimiliki seorang khalifah baru.

Goresan tinta darah tak pelak juga pernah menimpa torehan tinta emas pada masa Dinasti Abbasiyyah. Salah satu khalifah pernah membunuh ulama terkenal, Ahmad Ibn Nashr al-Khuza’i. Rasa ingin tahu Sang Khalifah tentang persoalan melihat Allah di akhirat tak terpuaskan oleh al-Khuza’i.

Sang Khalifah mengayunkan pedangnya. Memisahkan kepala al-Khuza’i dari tubuhnya. Puaskah Khalifah dengan tindakannya? Ternyata belum. Sang Khalifah mengirimkan kepala al-Khuza’i ke Baghdad. Sementara tubuhnya digantung di gerbang kota Samaraa selama 6 tahun. Tubuh al-Khuza’i baru diturunkan setelah sang khalifah wafat.

Torehan tinta emas Dinasti Abbasiyah juga ternodai oleh para khalifah yang mata keranjang. Khalifah al-Mutawakkil, salah satunya. Dalam kitab “Tarikh Khulafa” karya Imam Suyuthi, menceritakan bahwa khalifah al-Mutawakkil memiliki sebanyak empat ribu budak wanita. Seluruhnya pernah digauli oleh khalifah al-Mutawakkil.

Ada juga Khalifah al-Mu’tadhid yang gila cinta. Ia rela membangun gedung mewah seharga 60 ribu dinar di kota Buhairah demi seorang budak wanita bernama Darirah yang sangat ia cintai. Saking cintanya, sang khalifah menjadi gila ketika Darirah meninggal dunia.

Dalam buku ini, Nadirsyah Hosen banyak menampilka sisi gelap kehidupan khalifah. Selain beberapa khalifah terkenal di atas, ada pula sisi kelam kehidupan Khalifah al-Qahir yang sangat intensif memusnahkan peredaran minuman keras. Namun anehnya, sang khalifah justru ialah seorang pecandu minuman keras. Pada masa Khalifah al-Qahir pula, mimbar masjid menjadi politis. Tempat paling nyaman bagi al-Qahir untuk mencaci lawan politiknya.

Mengenai persoalan ini, Nadirsyah Hosen berkelakar. “Kalau di Indonesia khilafah belum berdiri saja mimbar masjid sudah diapaki untuk bicara politik praktis, pantas kalau kita turut berucap naudzubillah min hadzihil akhlaq,” tulisnya.

Masihkah Mendamba Khilafah?

Sistem pemerintahan khilafah pada masa Dinasti Abbasiyyah memang mengerikan. Darah akan dibalas dengan darah, kepala dibalas dengan kepala. Semua tindakan keji untuk mencapai kekuasaan selalu berlindung atas nama islam.

Ayat al-Quran dan hadis disulap menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang. Menjadi perangkat yang lebih provokatif dibandingkan genderang perang. Seperti itukah gambaran khilafah yang didambakan sebagian orang yang hingga saat ini masih mengimpikannya?

Benih-benih pemahaman yang salah-kaprah terhadap nilai-nilai ajaran Islam nampak menguat belakangan ini. Termasuk wacana untuk mengubah ideologi Pancasila menjadi Khilafah. Jika diamati, pola pergerakannya pun mirip dengan apa yang terjadi pada masa Bani Abbasiyah. Menjadikan al-Quran dan hadis sebagai legitimasi hukum atas tindakan yang merugikan orang lain.

Ada baiknya, para pendukung khilafah membaca kembali sejarah kelam kekhilafahan Dinasti Abbasiyyah. Seandainya khilafah benar-benar bisa kembali ditegakkan, tidak ada jaminan pertumpahan darah yang lebih parah bisa dihindari.

Saya sebagai bagian dari umat Islam yang mempercayai agama ini sebagai rahmatan lil alamin pun berada pada satu barisan bersama Nadirsyah Hosen. Barisan yang lantang menyuarakan, “Islam Yes! Khilafah No!”.

Iliya Emiliya, Mahasiswi Biologi UIN Walisongo dan Pecinta Buku dan Eks Pengurus Keluarga Mahasiswa Batang Semarang (KMBS)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.