Di luar tanah Mekah dan Madinah, di manakah umat Islam pertama kali menegakkan “rumah Allah” di hamparan bumi ini? Jawabannya, bukan di tanah Irak, Suriah, ataupun negara berkebangsaan Arab lainnya. Masjid yang pertama kali berdiri di luar tanah Mekah dan Madinah, justru berada sejauh 5.763 KM sebelah timur tanah Arab. Tepatnya di Kota Guangzhou, China.

Bersama dengan Masjid al-Haram (tanpa angka tahun), Masjid Quba (622 M), Masjid Nabawi (622 M), dan Masjid Masjid Qiblatain (623 M), Masjid Huáishèng atau Huáishèngsì (怀圣寺) termasuk dalam lima masjid tertua di dunia. Masjid Huáishèng didirikan pada masa Dinasti Tang pada tahun 627 Masehi.

Setelah 14 abad berlalu, masjid dengan nama lain The Light House Mosque atau The Great Mosque of Canton masih kokoh berdiri. Lantunan doa dan ayat suci al-Quran masih bergema sepanjang waktu.

Persebaran Islam di daratan China dapat dilacak melalui catatan seorang muslim China bernama Lui Tschih. Ia mencatat bahwa pada tahun 30 Hijriyah, tepatnya pada 651 Masehi, Sa’ad ibn Abi Waqqash datang ke daratan China bersama tiga sahabat lainnya. Mereka datang dari arah al-Habsha Abyssinia (Ethiopia).

Abi Waqqash dan tiga Sahabat lainnya menyelamatkan diri dari konflik antarsuku di Mekah menuju Ethiopia hingga tibalah mereka di daratan China. Setelah menetap selama beberapa waktu, empat orang Sahabat Nabi tersebut memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Mekah al-Mukarromah.

Setelah 21 tahun berlalu, Khalifah Utsman bin Affan mengutus Sa’ad ibn Abi Waqqash untuk kembali ke daratan China. Abi Waqqash membawa serta sebuah mushaf al-Qur’an yang menjadi simbol baginya untuk memperkenalkan dan mengajarkan ajaran Islam di daratan China.

Kaisar Yung Wei, penguasa Dinasti Tang kala itu menyambut kedatangan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Sebagai misi diplomasi pertama, Abi Waqqash menyampaikan maksud kedatangannya secara terbuka kepada Kaisar Yung Wei. Dengan penuh hormat, Abi Waqqash menyampaikan bahwa ia membawa misi untuk memperkenalkan ajaran Islam.

Kaisar Yung Wei tidak serta merta menerima maksud dan tujuan Abi Waqqash begitu saja. Sang kaisar mawas diri terhadap ajaran Islam yang kala itu dinilai masih asing. Terlebih juga mayoritas masyarakat China sudah sangat kental dengan ajaran Konfusius. Perlu waktu dan upaya keras untuk meyakinkan Kaisar Yung Wei agar ia lebih terbuka terhadap ajaran Islam.

Seiring berjalannya waktu, Kaisar Yung Wei mulai mengerti bahwa ajaran Islam memiliki kemiripan dengan ajaran Konfusius. Dua kemiripan di antaranya ialah mengenai konsep perdamaian dan toleransi. Hati Kaisar Yung Wei pun luluh. Ia memperbolehkan Sa’ad ibn Abi Waqqash mendakwahkan ajaran Islam. Bersama itu pula, Abi Waqqash mendapatkan izin untuk membangun sebuah masjid Kota Guangzhou, Provinsi Guangdong. Masjid itu bernama Huáishèng yang sampai sekarang masih berdiri kokoh.

Tonggak Peradaban Islam di China

Tidak mudah bagi Masjid Huáishèng untuk bertahan di tengah gejolak zaman. The Light House Mosque tercatat telah sekian kali direnovasi. Dalam catatan sejarah China, masjid ini pertama kali direnovasi pada masa Dinasti Yuan (1350 M) di bawah pemerintahan Kaisar Zhizheng.

Bahkan masjid bersejarah ini pernah mengalami rekonstruksi pada masa Dinasti Qing (1695) di bawah pemerintahan Kaisar Kangzi. The Light House Mosque terpaksa dibangun ulang karena mengalami kebakaran dahsyat.

Meski mengalami sekian kali renovasi, umat Islam China lintas generasi masih mempertahankan desain khasnya. Perpaduan apik antara ornamen China dan Arab. Bangunan bersejarah yang menjadi tonggak peradaban Islam di tanah Tiongkok.

Setelah 14 abad berlalu, lantas seperti apakah rupa The Light House Mosque di abad ke-21 ini? Saat ini Masjid Huáishèng berdiri di area seluas 5 hektare. Area seluas itu cukup untuk menampung umat muslim di Provinsi Guangzhou yang mencapai 10 ribu jiwa.

Sebagai tonggak peradaban Islam di China, pembangunan Masjid Huáishèng juga dibarengi dengan sejumlah pembangunan bangunan penting lainnya. Di antaranya tempat tinggal imam masjid (Ahong), paviliun tablet untuk menyimpan ratusan manuskrip klasik dan kaligrafi, tempat wudhu, hingga sebuah menara yang menjulang setinggi 35 meter.

Menara yang dibangun sekitar tahun 650 M – 700 M ini menjadi menara tertinggi di Guangzhou hingga saat ini. Keberadaan menara ini pula yang menjadi sebab Masjid Huáishèng disebut sebagai The Light House Mosque. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai menara cahaya masjid (Huáishèng Light Tower).

Satu hal lagi yang menjadikan Masjid Huáishèng sebagai tonggak peradaban Islam di Tiongkok. Sang diplomator sekaligus pembawa ajaran Islam di China, Sa’ad ibn Abi Waqqash dimakamkan di area masjid Huáishèng. Meskipun ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa Abi Waqqash meninggal dan dimakamkan di tanah Arab.

Terlepas dari kebenaran keberadaan makam Sa’ad bin Abi Waqqash, selama 14 abad Masjid Huáishèng telah menjadi menara cahaya di daratan China. Tertarikkah Anda untuk melihat pancaran menara cahaya di daratan China?

Oleh: Erlina Anggraini (Mahasiswa Developmental and Educational Psychology di Northeast Normal University Tiongkok)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.