Masyarakat industri merupakan salah satu elemen penting bagi perusahaan yang ada di Semarang. Mereka banyak yang berasal dari pedesaan yang ada di sekitar Semarang seperti Demak, Kendal, Temanggung dan lainnya. Pekerjaan yang kurang cocok di pedesaan atau bahkan berkurangnya kesempatan kerja di desa akibat murahnya upah menyebabkan banyaknya arus urbanisasi ke Semarang. Bahkan pekerjaan yang lebih menjanjikan, elit dan lebih terjamin di kota daripada di desa juga menjadi penyebab arus perpindahan tersebut. Para keluarga muda, keluarga baru bahkan pemuda yang belum berkeluarga banyak berdatangan dan mukim di Semarang.
Para pendatang banyak yang tinggal dengan cara kontrak/sewa rumah, tinggal di kos hingga di perumahan. Bagi yang tinggal perumahan, biasanya mereka membeli rumah dengan cara kredit. Penghasilan yang diperoleh melalui industri cukup untuk mengajukan kredit perumahan. Dengan gaji yang sesuai dengan upah minimum regional (UMR), ditambah dengan beberapa pekerjaan lembur adalah faktor utama yang menyebabkan mereka berani untuk mengajukan kredit perumahan tersebut. Tipe perumahan yang mereka tinggali pun sederhana, cukup ditempati dan jauh dari pusat kota. Harga yang terjangkau dan kebutuhan akan tempat tinggal permanen menjadi pilihan mereka untuk mengajukan kredit perumahan.
Dengan latar belakang pedesaan yang kental dengan tradisi dan budaya keagamaan ala Nahdatul Ulama, mereka tetap melanjutkan dan melestarikannya. Namun pelestarian tradisi dan budaya tersebut mengalami perubahan yang dinamis dan kreatif. Pasalnya, jam kerja di industri yang terkadang dibagi menjadi dua bagian (siang dan malam), libur di hari Ahad dan aktivitas keluarga, sosial serta mudik di akhir pekan menyebabkan perubahan tersebut. Walaupun secara bentuk, waktu dan tata cara pelaksanaannya berbeda, namun secara substansi tidak berubah.
Meski mengalami perubahan dan dinamika, ada beberapa tradisi yang masih tetap berlangsung. Misalnya tradisi wiridan setelah shalat lima waktu, pujian setelah adzan, sekolah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), tahlilan setelah shalat Maghrib pada malam Jum’at, membangunkan orang untuk sahur melalui pengeras suara masjid, shalat Idul Fitri dan Idul Adha serta memakai kata sayyidina adalah bagian yang masih tetap ada dan tidak berubah.
Tradisi yang berubah adalah tradisi shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, Lailatul Ijtima’, membaca maulid Diba’ atau Barzanji pada malam Senin atau malam Jum’at, pengajian tiap peringatan hari besar Islam seperti Maulid Rasulullah SAW, Nishfu Sya’ban dan Nuzulul Qur’an. Perubahan ini terkait dengan waktu kerja di pabrik dan industri yang mereka tekuni. Jika saja mereka masuk pada bagian kerja malam atau melakukan lembur, maka kegiatan malam utamanya di bulan Ramadhan tidak bisa dilakukan.
Kegiatan mingguan seperti Lailatul Ijtima’, membaca maulid Diba’ atau Barzanji pada malam Senin atau malam Jum’at, pengajian tiap peringatan hari besar Islam sulit untuk dilakukan. Pasalnya, jika pun kerja masuk bagian pagi, maka pada sore harinya mereka lelah dan harus istirahat. Belum lagi harus berbagi waktu bersama keluarga dan tetangga sekitar seperti bermain dengan anak, jagongan di pinggir jalan dengan tetangga dan lainnya.
Tradisi yang Terus Berlangsung Sekaligus Berubah
Menjelang bulan Ramadhan, ada kegiatan yang tetap berlangsung sekaligus berubah, yaitu tradisi kirim Arwah yaitu membaca surat-surat Al-Qur’an dan menghadiahkannya kepada anggota keluarga yang sudah meninggal dunia dan takhtiman Al-Qur’an. Kegiatan ini disebut terus berlangsung karena tetap ada dan tidak berubah bentuk dan waktunya, yang dilaksanakan tiap akhir bulan Ruwah atau Sya’ban. Yang berubah adalah para pembacanya. Kalau di pedesaan yang membaca adalah kiai, tokoh masyarakat, takmir masjid/musholla dan beberapa warga, maka di perumahan masyarakat industri diganti dengan santri atau kiai yang didatangkan dari luar daerah atau lingkungan sekitar.
Ada juga tradisi tahlilan atau haul keluarga yang bentuknya tidak berubah. Pemimpin tahlil dan doa pun dari warga sekitar. Namun kalau di pedesaan waktunya setelah Maghrib atau pagi, tahlilan di perumahan dilakukan pada hari libur dan biasanya setelah shalat Dhuhur atau Ashar.
Adzan dan jama’ah shalat juga mengalami hal serupa. Adzan shalat, utamanya shalat Maghrib, dilakukan beberapa belas menit setelah waktu shalat tiba. Pasalnya, banyak yang baru pulang dari kerja pada sore hari atau bahkan ketika matahari hampir terbenam. Macetnya akses jalan di Semarang, istirahat setelah kerja, bercengkerama bersama keluarga menjadi salah satu sebab adzan Maghrib dan adzan lainnya dimundurkan beberapa menit. Sama halnya dengan adzan sawah di pedesaan, yang menunggu para petani dan pekerja ladang kembali ke rumah untuk beristirahat dan beribadah.
Bertahan di Tengah Perubahan dan Keberlangsungan Tradisi
Kondisi, waktu dan syarat kerja di industri menyebabkan berubahnya tradisi keagamaan para pekerja. Walaupun begitu, mereka tetap berusaha mempertahan dan mempraktekkannya. Perubahan bentuk, waktu bahkan sampai meninggalkan beberapa tradisi harus dilakukan guna menyesuaikan dengan lingkungan industri dan kerja. Beberapa tahun mendatang, kemungkinan anak-anak mereka yang sudah besar mungkin hanya mengenal tradisi keagamaan yang sudah dilakukan di lingkungan perumahan. Namun yang tidak dilakukan misalnya seperti membaca Maulid Diba’ atau Barzanji atau peringatan hari besar Islam akan tidak tersimpan dalam memori penerus mereka.
Walaupun begitu, mereka tetap berusaha bagaimana agar tradisi dan budaya keagamaan yang sudah melekat dalam diri mereka bisa diwariskan kepada anak cucunya. Salah satunya adalah memperkenalkan Maulid Diba’ atau Barzanji dan berbagai tradisi yang belum dilakukan di lingkungan perumahan. Caranya dengan mengirimkan anak mereka belajar di desa atau kampung sekitar perumahan untuk belajar tradisi keagamaan, atau bahkan ke kampung halaman tiap akhir pekan. Pedesaan adalah lumbung tradisi dan kebudayaan, tempat melestarikan kedua hal tersebut dan mewariskannya kepada anak cucu mereka.
Dalam kasus tradisi keagamaan di perumahan kota Semarang, dapat dilihat bahwa masyarakat pekerja dan industri tidak hanya sekedar menjadi obyek industri yang pasif dan kapitalis, yang harus menyingkirkan agama dan tradisinya. Mereka mempunyai peran aktif dan kreatif dalam melestarikan dan mempraktekkan tradisi agama. Penyesuaian bentuk, waktu dan tata cara dengan mempertahankan substansi tradisi keagamaan adalah proses dinamis yang akan terus berjalan sepanjang waktu.
Muhammad Akmaluddin, anggota Lajnah Ta’lif wa Nasyr PWNU Jawa Tengah, visiting scholars and researcher di Instituto de Lenguas y Culturas del Mediterráneo y Oriente Próximo, Departamento de Estudios Judíos e Islámicos, Centro de Ciencias Humanas y Sociales (CCHS) — Consejo Superior de Investigaciones Científicas (CSIC), Madrid, Spanyol