K.H. Chamim Djazuli atau terkenal dengan panggilan Gus Miek merupakan kiai nyentrik asal Kediri, Jawa Timur. Beliau merupakan putra K.H. Djazuli Ustman, pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri. Di antara saudara-saudaranya, Gus Miek sejak kecil memang sudah dikenal menempuh lakon khariqul ‘adah (keluar dari adat kebiasaan masyarakat). Lakon itu beliau jalani hingga beliau dewasa, misalnya Gus Miek sering kedapatan keluar masuk diskotek untuk berdakwah.

Kebiasaan dakwah di diskotek ini tidak bisa ditiru sembarang kiai. Dalam suatu momen bahkan K.H. Hamid Abdillah Pasuruan mengakui tidak berani meniru gaya dakwah Gus Miek karena merasa belum maqomnya. Selain dikenal dengan dakwahnya yang nyeleneh, Gus Miek merupakan penggagas majelis sima’an Alquran mantab (berasal dari kalimat bahasa Arab man taaba) dan peramu wirid dzikrul ghofilin. Sebuah majelis dengan format pembacaan Alquran sehari semalam yang dibaca huffadzil qur’an dan ditutup dengan bacaan wirid dzikrul ghofilin.

Gemblengan Sabar dari Gus Miek

Menurut hemat penulis, salah satu alasan mengapa majelis sima’an mantab dan dzikrul ghofilin bisa berkembang pesat dan tersebar luas karena gus Miek mempunyai pengikut-santri-karib kiai-kiai ternama di daerah–daerah yang dengan ikhlas lahir batin siap mengembangkan majelis ini.

Salah satu “tangan kanan” Gus Miek adalah K.H. Hasyim Sholeh. Masyarakat sekitar kerap memanggil Mbah Hasyim Mayak (Mayak, merujuk pada nama dukuh) Pendiri Pondok Pesantren Darul Huda, Ponorogo yang hingga kini dibuat ngangsu kaweruh ribuan santri. Kesiapan lahir batin tersebut salah satunya bisa disimpulkan dari cerita berikut:

Kisah ini penulis dapat ketika masih nyantri di Pondok Pesantren Darul Huda, Ponorogo, pada suatu forum mengaji yang diampu oleh Gus Sami’ (putra K.H. Hasyim Sholeh). Beliau bercerita dengan intonasi yang lembut nan khas.

Di saat majelis sima’an Alquran dan dzikrul ghofilin masih terpusat di daerah Kediri, banyak jemaah dari luar kota yang berbondong–bondong menghadiri majelis tersebut, tak terkecuali rombongan dari Ponorogo yang dipimpin K.H. Hasyim Sholeh. Pada suatu momen sima’an, gus Miek melihat rombongan Ponorogo kian bertambah banyak. Gus Miek menilai sudah saatnya Ponorogo mendirikan majelis sendiri. Dipanggillah Mbah Hasyim menghadap.

“Kiai, njenengan saya amanahi merintis sima’an di Ponorogo ya?,” pinta gus Miek.

“iya, kiai,” jawab Mbah Hasyim dengan penuh ta’dzim.

“Njenengan cari waktu yang sesuai, nanti saya sendiri yang akan meresmikan,”

“Iya, kiai,” timpal Mbah Hasyim sekali lagi.

Waktu yang direncanakan pun telah tiba. Bertempat di depan kediaman mbah Hasyim, para jemaah berkumpul membentuk lingkaran dengan sebuah tumpeng di tengahnya. Majelis hanya tinggal menunggu kedatangan gus Miek. Waktu terus berjalan namun gus Miek tak kunjung datang. Jemaah pun mulai resah termasuk mbah Hasyim selaku shohibul hajat. Setelah dirasa gus Miek tidak datang, jemaah pun satu persatu pamit pulang dengan memendam rasa kecewa, tak terkecuali mbah Hasyim sendiri.

Di kesempatan sima’an selanjutnya, mbah Hasyim tetap berangkat. Kekecewaan lantaran tidak hadirnya Gus Miek dalam rencana peresmian majelis tempo hari tak membuatnya patah hati. Setelah majelis selesai, Gus Miek memanggil mbah Hasyim yang berada di tengah rombongan Ponorogo.

“Mohon maaf kiai, kemarin berhalangan hadir, njenengan cari waktu lagi ya? Oh iya, sekalian siapkan pengeras suara yang bagus,” pinta gus Miek dengan nada mantap dan lugas.

“ Iya, kiai,” jawab mbah Hasyim sembari berharap semoga kali ini benar–benar bisa datang.

Waktu peresmian telah tiba. Seperti biasanya, jemaah melingkar dan sebuah tumpeng berada di tengah lingkaran. Kali ini terdapat pengeras suara yang lebih besar dari sebelumnya. Semua sudah siap, tinggal menunngu sang mursyid tunggal dzkirul ghofilin. Namun sang guru belum juga tiba. Mbah Hasyim berharap cemas dan tak ingin kembali mengecewakan para jemaah.

Tapi kenyataan berkata lain. Mbah Hasyim kembali kecewa karena ternyata sang guru tidak hadir hingga majelis bubar. Di tengah malam yang sunyi, mbah Hasyim keluar rumah dan berjalan menyusuri pinggiran jalan raya sambil sesekali meneteskan air mata.

“Apa sebenarnya diinginkan Gus Miek? Apakah aku melakukan kesalahan hingga membuat beliau tidak mau hadir? Ataukah Tuhan belum menghendaki majelis ini berdiri di Ponorogo?,” batinnya terus bergejolak.

Di tengah gejolak hatinya, sebuah mobil lewat dari arah belakang mbah Hasyim. Mobil ber-plat N1CA itu tak lain dan tak bukan mobil Gus Miek. Mobil itu berjalan pelan sendirian di tengah jalan. Seakan ingin menunjukan bahwa sebenarnya Gus Miek di Ponorogo dan sengaja tidak menghadiri kegiatan peresmian.

Pada kesempatan sima’an selanjutnya, Mbah Hasyim memantapkan hatinya untuk berangkat ke Kediri, seakan hatinya tegas berkata “ada atau tidak adanya majelis sima’an di Ponorogo tak akan menyurutkan semangatku untuk istiqomah hadir di majelis sima’an”. Pasca majelis selesai, seperti biasa mbah Hasyim dipanggil gus Miek.

“Mohon maaf kiai, kemarin tidak bisa hadir. Njenengan kumpulkan lagi jemaah yang banyak, kali ini hukumnya wajib saya hadir,” pinta Gus miek dengan senyum ramah seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

“Iya, kiai,” timpal mbah Hasyim lirih. Kali ini dibenaknya hanya pasrah, ini semua diniati semata mencari berkah sang guru.

Waktu yang ditunggu telah tiba. Kali ini selain tumpeng yang lebih besar, jemaah pun lebih banyak sesuai permintaan gus Miek. Semua yakin dan mantab kali ini gus Miek benar-benar bisa hadir. Namun harapan itu ternyata sirna. Gus Miek benar-benar tidak hadir untuk ketiga kalinya. Jemaah pun bubar. Tak ada peresmian malam itu. Tengah malam, mbah Hasyim berjalan menyusuri jalan, untuk sekadar meluapkan kesedihannya. Air matanya menetes. Dalam hatinya bermunajat, “Ya Allah, berikan hamba kekuatan untuk menghadapi cobaan-Mu, semua yang hamba jalani semata hanya untuk meraih ridha-Mu”.

Di tengah kegalauannya, di jalan yang sama seperti yang lalu, mbah Hasyim melihat ada mobil lewat di sampingnya. Mobil sang guru berjalan pelan dan berhenti. Kaca depan mobil itu terbuka dan wajah sang guru keluar di balik kaca mobil sembari melontarkan satu kalimat.

“Gimana, kiai? Enak to?,” dawuh gus Miek dengan tersenyum tipis.

Setelah itu, mobil melaju kencang. Mbah Hasyim menunduk dan mengelus dada dengan perasaan campur aduk antara sedih, kecewa, dan pasrah. Konon di pertemuan selanjutnya Gus Miek berbicara empat mata dengan mbah Hasyim yang intinya serangkaian kejadian kemarin hanya sebuah ujian kecil dari sang guru.

“Kalau mau marah tidak perlu belajar, kecuali sabar, itu butuh belajar,” begitu pesan gus Miek. Singkat cerita sima’an mantab akhirnya diresmikan langsung oleh gus Miek.

Meskipun terdapat berbagai hambatan di awal berdirinya, namun berkat bekal ujian kesabaran dari sang guru, dan kegigihan sang murid serta atas ridha–Nya, seperti yang kita ketahui majelis sima’an mantab Alquran dan dzikrul ghofilin semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Majelis ini ibarat oase di tengah keringnya aspek spiritual di kalangan masyarakat. Al-faatihah untuk kedua guru kita.

Fathan Zainur Rosyid, Pegiat di Minerva.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.