Kota Semarang merupakan kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Kota Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Kota Semarang memiliki wilayah seluas 373 km2 dengan jumlah penduduk 1, 7 juta jiwa (BPS Kota Semarang, 2017). Area metropolis Semarang disebut sebagai area Kedungsapur yang terdiri dari Kendal, Ungaran (Kab. Semarang), Demak, Salatiga, dan Purwodadi (Kab. Grobogan). Area Metropolitan Semarang menempati peringkat 4 setelah area Jabodetabek (Jakarta Raya), Gerbangkertasusila (Surabaya), dan Bandung Raya. Dengan kondisi Kota yang sebesar itu, Kota Semarang memiliki sederet persoalan khas kota metropolitan seperti banjir, pencemaran, dan sampah.
Kota Yang Dibangun Pemerintah Kolonial
Dari aspek kesejarahannya, pembentukan Kota Semarang di masa dahulu dilakukan oleh pemerintahan Kolonial. Pada awal mula terbentuknya, Kota Semarang menjadi ajang percobaan dalam ide dan perencanaan perkotaan dan arsitekturnya (L.M.F Purwanto, 2005). Belanda pertama kali mendirikan pemukiman di muara Kali Semarang, Komunitas Tionghoa bermukim di Simongan, dan Mayoritas orang Jawa bermukim di sepanjang Kali Semarang. Pada tahun 1690, Belanda membangun Benteng di Pusat Kota Semarang sebagai basis pertahanan dan pusat perdagangan agar aman dari potensi konflik dengan rakyat setempat. Selanjutnya pada abad 18 pemerintah Kolonial mulai membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti jalan, kanal, gereja, dan pertokoan. Kanal difungsikan sebagai sarana transportasi dan pencegahan banjir, sedangkan jalan difungsikan sebagai sarana penghubung antar pemukiman dan pusat ekonomi (L.M.F Purwanto, 2005).
Permulaan abad 20 tepatnya tahun 1906 Semarang disebut sebagai “Staadsgementee Van Semarang” atau menjadi Kota Besar dengan pemerintahan tersendiri. Permasalahan Kota Semarang semakin kompleks seiring dengan perluasan kota. Pelabuhan Tanjung Mas dan Bandara Kalibanteng dibangun mulai tahun 1931 hingga tahun 1933, bersamaan dengan pembangunan banjir kanal barat dan banjir kanal timur (Jessup H. 1985). Pada tahun 1930, seorang insinyur Belanda bernama Herman Thomas Karsten mengajukan konsep rencana masterplan pengembangan Kota Semarang. Karsten ini merupakan sosok yang berjasa dalam pembangunan pasar induk Johar Semarang (Muljadinata, 1993).
Permasalahan Khas Kota Semarang
Pasca Kemerdekaan, Kota Semarang mulai berkembang semakin besar dengan hadirnya kawasan industri, perluasan bandara, perluasan Pelabuhan, dan penambahan jalan-jalan utama. Pesatnya perkembangan kota berbanding lurus dengan semakin meningkatnya permasalah perkotaan. Berdasarkan data dari INRIX Global Traffic Record (Koran Sindo, 19/3/19), rata-rata tingkat kemacetan Kota Semarang mencapai 37 jam dalam setahun. Presentase waktu berkendara meningkat 19 % sampai 21 % di luar jam sibuk. Pertumbuhan kendaraan Kota Semarang 12 % per tahun, sedangkan rata-rata pertumbuhan jalan hanya 0,9 % per tahun (Dishub Kota Semarang, 2018). Permasalah sampah di Kota Semarang juga cukup parah, setiap harinya sebanyak 1400 ton sampah dihasilkan Kota Semarang dan baru sekitar 72 % sampah yang dikelola di TPA(DLH Kota Semarang, 2018).
Permasalahan lain yang melanda Kota Semarang adalah tingginya angka kejadian bencana alam, pada tahun 2018 terjadi sebanyak 268 kejadian bencana dengan banjir dan tanah longsor menjadi kejadian bencana paling dominan (Laporan Tahunan BPDB Kota Semarang, 2018). Permasalahan bencana, sampah, dan kemacetan merupakan salah satu contoh bagaimana Kota Semarang termasuk wilayah metropolitan yang rentan terhadap bencana ekologis.
Pembangunan Kota Berkelanjutan Ala Kota Curitiba
Dalam membangun tata Kota yang berkelanjutan, Kota Semarang seharusnya bisa meniru Kota Curitiba di Brazil. Curitiba merupakan Ibu Kota dari Provinsi Parana Brazil yang dikenal sebagai Kota ekologis dengan perencanaan kota hijau terbaik di Dunia. Curitiba mendapatkan sederet penghargaan di bidang lingkungan dan perencanaan kota. Penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup dari UNEP (United Nation Environment Programmee) pada tahun 1990 (Fazzano & Weiss, 2004). Mendapatkan penghargaan sebagai “The most Innovative City in the World” pada tahun 1996 menurut Majalah “Grist” dan pada tahun 2010 menerima penghargaan “The Globe Suistainable City Award”.
Sebetulnya Curitiba juga mengalami masalah yang sama dengan Kota-kota metropolitan dunia lain seperti soal pemukiman kumuh, sampah, dan pencemaran hingga banjir. Pada tahun 1970 Curitiba dikategorikan sebagai kota terkumuh dan termacet di Brazil. Perubahan tata kota Curtiba dimulai ketika Jaime Lerner terpilih sebagai Walikota Curitiba. Jaime Lerner merupakan seorang arsitek visioner yang perlahan mengubah “wajah Curitiba. Pembenahan dilakukan dengan mengedepankan 4 hal yaitu; Pengutamaan Transportasi Umum Massal, Bekerjasama Dengan Alam, Memanfaatkan Teknologi Tepat Guna, dan Melakukan Inovasi Dengan Partisipasi Warga.
Pertama, Curitiba membenahi total transportasi Kota yang pada tahun 1970 didominasi kendaraan pribadi sehingga menimbulkan kemacetan di pusat Kota. Pemerintah kemudian membuat 5 jalur utama menuju pusat kota untuk akses masyarakat. Setiap jalur tersebut terdiri dari 3 jalur dengan 2 jalur untuk kendaraan dari dua arah, dan jalur utama (tengah) khusus untuk bis terpadu Kota. Revolusi transportasi massal berbiaya murah dengan dukungan fasilitas memadai menjadikan perlahan masyakarat beralih menggunakan transportasi masal. Kemacetan Curitiba berhasil di tekan, bahkan di pusat kota masyarakat hanya perlu berjalan kaki tanpa perlu terganggung. Konektifitas wilayah peripheral dengan wilayah pusat sudah sedemikian baik.
Kedua, Curitiba mendesain kotanya sesuai dengan kondisi alam “Design with Nature”. Perubahan besar-besaran Curitiba dilakukan dengan menambah luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) melalui pembangunan Hutan Kota dan taman. RTH memiliki fungsi estetis sebagai sarana rekreasi, juga memiliki fungsi ekologis sebagai usaha pengendalian banjir. Kawasan sempadan sungai dihijaukan, lubang bekas tambang dijadikan sebagai danau kota. Pemerintah Curitiba juga bersedia membuka lapangan pekerjaan khusus untuk proyek penambahan RTH dan kebersihan Kota.
Ketiga, Pemerintah Kota Curitiba mendorong penggunaan teknologi tepat guna seperti dalam proses pemilahan sampah mulai dari pemukiman sampai ke tempat pembuangan akhir. Pemerintah Curitiba memiliki pekerja terampil khusus untuk melakukan pemilahan sampah. Curitiba bahkan memiliki Museum berisi koleksi barang-barang bekas dari hasil pemilahan yang memiliki nilai seni. Taman Kota didesain dengan teknologi sehingga tidak hanya estetis tapi punya nilai manfaat. Halte-halte juga memiliki konstruksi yang ramah pada penyandang disabilitas. Keempat, Pemerintah Curitiba dalam proses perencanaan Kota selalu melibatkan partisipasi warga. 1,5 juta pohon berhasil ditanam dan dirawat dari hasil partisipasi warga kota. Kolaborasi antara political will dan partisipasi warga menjadi kunci dari perubahan progresif dan inovatif Kota Curitiba. Tidak ketinggalan, pemerintah juga mencanangkan pendidikan peduli lingkungan bernama “the free open university for environment”.
Membawa Konsep Sustainable City ala Curitiba ke Semarang
Kisah sukses Curitiba merubah Kota yang semula penuh dengan masalah perkotaan (banjir, macet, kumuh) dapat juga diimitasi Kota Semarang. Empat kunci perubahan yang berhasil dilakukan Curitiba bisa dilakukan juga di Semarang dengan penyesuaian seperlunya. Kota Semarang telah mengawali usaha perubahan dengan bergabung dalam 100 Kota Tangguh dunia “Resilient City” (Goodnewsfromindonesia.id, 2016). Konsep Kota Tangguh tersebut meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi dan kesiapan menghadapi perubahan iklim. Selain itu Semarang juga termasuk dalam Smart City yang menjadi percontoh dalam layanan inovasi dan teknologi bagi kota lain (Media Indonesia, 11/1/18). Dari hal tersebut, rasanya kita patut optimistis Kota Semarang dapat membawa konsep Suitainable City ala Curitiba ke Semarang. Adapun dalam praksisnya sebagai berikut:
Pertama, Kota Semarang telah memiliki role model transportasi masal dan bentuk BRT (Bus Rapid Transit) bernama Trans Semarang. BRT Trans Semarang mulai beroperasi 2 Mei 2009 dan sekarang telah memiliki 8 Koridor (rute layanan) (Wikipedia.org, 2019). Konsep Trans Semarang diteruskan oleh Pemerintah Jawa Tengah dengan mengoperasikan Trans Jateng yang baru melayani rute sampai terminal bawen Kab. Semarang. Sayangnya setelah hampir 10 tahun Trans Semarang beroperasi, terdapat beberapa kendala diantaranya trans Semarang belum memiliki jalur tersendiri seperti di Curitiba atau di Jakarta. Kemudian minat masyarakat untuk beralih ke trans Semarang masih minim, meskipun tarif yang ditetapkan cukup murah. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan halte masih sangat minimalis, kualitas pelayanan, hingga efektifitas mobilitas penumpang yang masih kalah dengan jenis transportasi lain. Pada jenis transportasi masal kereta, PT KAI sebetulnya pernah meluncurkan kereta Komuter dengan Rute Metropolitan Semarang Kedungsepur. Akan tetapi kereta tersebut kurang diminati karena tidak terintegrasinya moda transportasi dengan wilayah perkantoran, industri, dan niaga. Perlu ada pembenahan untuk mewujudkan transportasi masal yang terintegrasi dengan dukungan infrastruktur memadai.
Kedua, berdasarkan dokumen RTRW kota Semarang 2011-2031, Pemerintah Kota Semarang telah merencanakan pembangunan yang cukup baik secara normatif. Misalnya perencanaan normalisasi Banjir Kanal Timur, Penambahan RTH publik menjadi sebesar 30 % sesuai mandat UU penataan Ruang dan perlindungan kawasan lindung air bagi wilayah Semarang bagian atas. Sayangnya, capaian RTH publik Semarang sampai pada tahun 2018 masih berkisar 9-10 % saja (. Padahal alih fungsi lahan yang terjadi di Kota Semarang menjadi kawasan industri dan permukiman cukup massif. Belum lagi perubahan peruntukan kawasan lindung tangkapan air seperti di Mijen, Ngaliyan dan Gunung Pati menjadi permukiman menjadikan Kota Semarang semakin rentan terhadap bencana. Kawasan Semarang Bawah terancam banjir dan rob air laut sedangkan kawasan Semarang atas terancam banjir bandang dan tanah longsor. Perlu ada pembenahan serius untuk membangun kota yang selaras dengan “design with nature”, kawasan Semarang atas yang menjadi Hulu beberapa sungai di Semarang harus dipulihkan, wilayah DAS sungai perlu dihijaukan dan wilayah hilir sungai dan pesisir perlu dibenahi.
Ketiga, Sebagai Kota yang mendaku diri Kota cerdas, Semarang perlu membuktikannya dengan penggunaan teknologi tepat guna. Selama ini pengembangan teknologi di Kota Semarang masih berkutat pada teknologi canggih dengan biaya mahal tapi fungsinya tidak maksimal. Misalnya saja ada rencana pembangunan travelator di sepanjang jalan pemuda dari paragon hingga kawasan lawang sewu. Biaya yang dikeluarkan sangat besar sedangkan nilai kemanfaatan sangat minim. Inovasi seharusnya tidak dimaknai sebagai sarana pencitraan demi penghargaan-perhargaan semu, tetapi sesungguhnya inovasi yang dibutuhkan kota Semarang adalah yang memiliki nilai manfaat pada masyarakat.
Keempat, Skema partisipasi ala Pemerintah Kota Semarang diwujudkan dalam bentuk partisipasi warga kota dalam perencanaan mulai dari level Kelurahan, Kecamatan, hingga kota lewat Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan). Hasil Musrenbang mulai level Kelurahan hingga Kota masih didominasi usulan pembangunan fisik yang orientasinya proyek dan tidak berwawasan lingkungan. Visi Misi Pemerintah Kota yang diwujudkan dalam RPJMD, RDTR, dan RKP harus sudah berwawasan lingkungan dan sifatnya berkelanjutan. Kehendak Politik untuk mewujudkan Sustainable City yang didukung partisipasi warga kota akan mempermudah proses perubahan. Jika partisipasi masih sebatas dimaknai adanya perwakilan warga kota dalam rapat yang berisi sosialisasi dengan model satu arah, maka kebijakan yang lahir adalah kebijakan politisi dan birokrasi. Barangkali kebijakan yang selama ini muncul memang bukan dari aspirasi warga kota, tetapi murni dari politisi dan birokrasi.
Pada akhirnya optimisme agar Kota Semarang dapat juga meniru apa yang dilakukan Kota Curitiba perlu dilakukan. Meski proses tersebut sangat sulit dan memerlukan kerja bersama antara warga kota dan pemerintah. Akan tetapi jika pemerintah kota punya visi pembangunan berkelanjutan dan masyarakat memiliki kepedulian pada lingkungan, maka tidak mustahil Semarang sedikit demi sedikit akan berubah. Siklus pergantian kepala daerah setiap lima tahun sekali adalah persoalan besar dalam perencanaan pengembangan kota berwawasan lingkungan dan sudah saatnya permasalahan itu dipecahkan. Harapan besar seluruh warga adalah pemimpin boleh berganti, tetapi visi lingkungan harus dilanjutkan siapapun yang memimpin. Itu sudah dilakukan oleh Curitiba dan berhasil, kita akan memulainya kapan?
Abdul Ghofar, Mahasiswa Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang