Mulai dari Madinah, kami sudah berpakaian serba putih, yang tak berjahit dan tanpa penutup kepala. Kira-kira baru beberapa menit, kami berhenti di sebuah masjid.

“Ini Bir Ali,” kata guruku, Kiai Abdul Manaf Syair.

“Seseorang yang hendak melaksanakan ibadah Umroh dari Madinah, tempat berniat ihramnya ya di sini,” lanjut beliau.

Bir Ali adalah salah satu dari lima tempat miqot. Rasulullah menyebutnya dengan nama Dzul Hulaifah.

Lalu kami melanjutkan perjalanan. Bayanganku, kami akan melewati padang pasir. Dari pada disebut padang pasir, sepertinya lebih pas disebut padang batu: gersang kala siang, dingin di waktu malam.

“Bagaimana dulu Kanjeng Nabi dan sahabat Abu Bakar melewatinya, saat hijrah dari Makkah ke Madinah?,” pikirku.

Di tengah perjalanan, waktu malam tiba, bus pun berhenti di sebuah tempat, yang bagiku asing. Bangunan-bangunannya terlihat lusuh. Mungkin karena terletak di tengah gurun, sehingga gampang terkena debu. Di sekelilingnya yang terlihat hanya pekat, sepi dan angin yang lumayan bertiup kencang.

“Ini namanya Lembah Qudaid,” Kiai Manaf menjelaskan.

Kami beristirahat, menunaikan hajat dan lalu menyruput kopi sambil menunggu yang lain kembali dari kamar mandi.

Aku berkeliling, ada beberapa bangunan terlihat, seperti masjid, warung, mini market dan kamar mandi.

“Ini bibimu di antar ke kamar mandi,” perintah Kiai Manaf, yang juga merupakan paman saya.

Di saat menunggu bibiku, di depan komplek kamar mandi puteri, terlihat anak kecil yang sedang melempar-lempar kerikil ke sekeliling yang tampak hitam pekat itu.

“Dari mana saudaraku,” tanya si kecil yang tiba-tiba mendekat.

“Aku dari Indonesia dan kamu?,” tanyaku balik.

Ia mengaku dari Yaman, namun sekarang tinggal di Jeddah bersama keluarganya.

“Aku Harun, umurku dua belas tahun,” katanya.

Ia sama denganku: menunggu. Hanya saja ia menunggu ibunya.

Ia bercerita baru ziarah dari Madinah, dan sedang perjalanan pulang.

Ia ceria. Tak tampak rasa takut di raut wajahnya.

“Adakah kamu tak takut? Padahal sekeliling kita tampak sepi dan hanya terlihat hitam pekat,” tanyaku

“Takut kenapa dan pada apa? Bukankah Allah bersama kita?,” jawabnya.

Jawabannya mengingatkanku pada suatu kisah:

Dulu, saat Nabi Muhammad dan Abu Bakar bersembunyi di goa Tsur, Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang-orang kafir yang mengejar mengetahui.

“Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita,” kata Kanjeng Nabi menenangkan sahabatnya, sebagaimana terekam dalam al-Quran.

Zaim Ahya, Lembah Qudaid 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.