Di antara Walisongo yang mengajarkan agama Islam lewat suluk adalah Sunan Bonang. Kelebihan Sunan Bonang dari wali yang lain adalah perhatiannya terhadap seni tulis menulis atau seni sastra, Tidak kurang dari 20 Suluk diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang.

Salah satu suluk karya Sunan Bonang adalah Suluk Wujil. Suluk Wujil merupakan salah satu karya sastra Jawa Tengahan berisi ajaran mistik Islam Jawa yang masih menggunakan bahasa asli Jawa Tengahan (ha-na-ca-ra-ka). Muncul disekitar abad 16 M, ditulis pada zaman Islam.

Suluk Wujil hampir semasa dengan karya sastra Jawa lainnya seperti karya Sunan Bonang yang telah diedit oleh Schrieke dengan judul: Het Book Van Bonang, Een Javaans Geschrif vit de 16e eeuw karya Dr.W.j.Drewes, dan Serat Nitisastra karya Pangeran Karangajam pada masa kerajaan Pajang dibawah pimpinan Pangeran Sada Krapyak [1534 Caka/1612M] (Prof.Dr.R.M.Ng.Poerbatjaraka, Kepustakaan Djawi).

Naskah asli Suluk Wujil berukuran panjang 23cm dan lebar 16 ½ cm, sebanyak 52 halaman, di tulis di kertas lama buatan dalam negri (duluwang). Halaman pertama kosong, tidak tertulis apapun. Suluk Wujil dimulai pada halaman kedua dan terahir pada halaman 22 bagian atas.

Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut:

Pertama, dalam Suluk Wujil tergambar suasana kehidupan yang kental dengan budaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai dengan runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan dibangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama.

Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V dari perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.

Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastra Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, yakni Mpu Tantular dan Mpu Tanakung yang meninggal dunia pada pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir.

Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938), karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.

Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa.

Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu beliau juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu Aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sansakerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.

Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. Suluk Wujil dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat.

Seperti penyair sufi Arab, Persia dan Melayu, Sunan Bonang – dalam mengungkapkan ajaran tasawuf dan pengalaman keruhanian yang dialaminya di jalan tasawuf – menggunakan simbol (tamsil) yang diambil dari budaya Islam universal maupun dari budaya lokal. Tamsil-tamsil dari budaya Islam yang digunakan ialah burung, cermin, laut, Mekkah (tempat Ka’bah atau rumah Tuhan) berada, sedangkan dari budaya lokal antara lain ialah tamsil wayang, lakon perang Kurawa dan Pandawa (dari kisah Mahabharata) dan bunga teratai. Tamsil-tamsil ini secara berurutan dijadikan sarana oleh Sunan Bonang untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan jiwa manusia dalam upaya mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada akhirnya mencapai makrifat, yaitu mengenal Tuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya.

Fajrina, Penulis dan Penyiar Radio, tinggal di Semarang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.