Daerah al-Andalus, yang meliputi Spanyol, Portugal dan sebagian selatan Perancis sekarang, mempunyai banyak sejarah keemasan, baik dalam bidang pengetahuan, kesenian, infrastruktur, kebudayaan dan keagamaan. Surga dunia di Semenanjung Iberia itu menjadi jembatan bagi pengetahuan di Arab dan Eropa. Sayangnya, sejarah keemasan tersebut hanya berlangsung selama delapan abad. Beberapa memori masih banyak yang ada di sana, dilestarikan, dikaji dan diabadikan oleh masing-masing negara yang menguasainya.

Misalnya ada La Mezquita de Córdoba, Madina Azahara, Alhambra, dan situs arkeologis lainnya seperti jembatan, monumen, manuskrip, alat musik, menara, benteng, arsitektur perkotaan dan sebagainya. Kajian keislaman juga masih banyak dikaji di sana. Tipe diskursus oriental di Spanyol dan Portugal banyak berbeda dengan negara Eropa lainnya. Para cendekiawan di sana mengkaji Islam dengan perspektif deskriptif, bukan revisionis atau positivis seperti di Jerman, Perancis dan Belanda.

Kajian Islam di Spanyol hanya dideskripsikan, dikompilasikan, disistemasiskan dan disajikan apa adanya. Misalnya ada kumpulan kajian Estudios Onomásticos Biográficos de al-Andalus, Prosopografía Ulemas de al-Andalus dan Historia de Autores y Transmisores de al-Andalus yang berisi kajian ulama, genealogi, murid, guru, karangan, profesi, makam dan lainnya.

Perihal makam, hanya sedikit kajian yang dilakukan, utamanya terkait dengan arsitektur perkotaan di al-Andalus. Misalnya di Córdoba, ada kompleks pemakaman Ummu Salamah dimana di dalamnya terdapat makam para ulama al-Andalus seperti Yahya bin Yahya al-Laitsi, periwayat terbesar dan paling utama kitab Muwaththa’ Malik dunia Islam, serta ulama besar dan pejabat dinasti Umayyah pada zamannya.

Pada awal November 2018, saya dengan istri mempunyai kesempatan untuk pergi ke Madrid, Toledo dan Córdoba. Beberapa minggu kami di sana guna melakukan penelitian untuk tugas disertasi saya tentang hadis di al-Andalus, khususnya di perpustakaan Tomás Navarro Tomás yang berada di Centro de Ciencias Humanas y Sociales (CCHS) Consejo Superior de Investigaciones Científicas (CSIC), Madrid.

Setelah beberapa hari di Madrid, kami menuju La Mezquita de Córdoba, masjid yang sebagian dalamnya menjadi katedral dan kapel. Menara masjid ini juga berubah menjadi menara lonceng. Masjid ini menghadap ke Wadi al-Kabir atau Guadalquivir, sungai yang membentang di depan mihrabnya. Di dalam peta klasik, Maqbarah Ummu Salamah harusnya berada di sekitar masjid. Namun ternyata semua sudah menjadi taman, hotel, rumah, jalan dan berbagai toko dan restoran.

Sebagai penganut tradisi ngalap berkah di pasarean atau makam ulama, kami pun berusaha memburunya. Namun, kami tak menemukan makam ulama di al-Andalus yang dapat diziarahi dan disowani. Setelah kembali ke Madrid, kami bertanya perihal makam di al-Andalus pada supervisor yang membimbing di CSIC, Prof. Maribel Fierro, ahli kajian al-Andalus dan Timur Dekat. Dalam kasus Ibnu Hazm misalnya, ia menjelaskan bahwa makamnya ada di Walbah atau Huelva, suatu kota di sebelah barat Córdoba.

Di dalam Google Map yang dicetak olehnya, Prof. Maribel mengatakan bahwa makam Ibnu Hazm sudah tidak ada. Area makam Ibnu Hazm sudah menjadi bangunan hotel dan rumah-rumah. Saya kemudian berfikir bahwa kasus ini juga terjadi di Maqbarah Ummu Salamah dan juga berbagai makam ulama lainnya. Pun makam Khalifah Abdurrahman al-Nashir, yang mana Dinasti Umayyah mencapai masa keemasan di bawah kekuasaannya, juga tidak ada di Madina Azahara.

Hilangnya makam ulama di al-Andalus kemungkinan disebabkan adanya peristiwa Reconquista atau penaklukan kembali al-Andalus oleh kaum Kristiani. Kesuksesan kaum Kristiani ditandai dengan jatuhnya Granada pada 1492. Atau bisa jadi hilangnya makam para ulama ketika perebutan terjadi pada masa Muluk al-Thawa’if I dan II, bahkan sebelumnya, dimana perang dan penindasan kepada sesama muslim terjadi atas nama agama. Sama seperti makam para ulama di Irak, Suriah, Libya dan lainnya yang dirusak oleh mereka yang mengatasnamakan Allah untuk tujuan politik dan kekuasaan.

Muhammad Akmaluddin, mahasiswa program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, visiting scholars and researcher di Instituto de Lenguas y Culturas del Mediterráneo y Oriente Próximo, Departamento de Estudios Judíos e Islámicos, Centro de Ciencias Humanas y Sociales (CCHS) — Consejo Superior de Investigaciones Científicas (CSIC), Madrid

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.